Pada 17 Februari 2024, bertempat di Perpustakaan Daerah Jakarta Pusat, tepatnya di Jalan Tanah Abang I, diselenggarakan acara Festival Kebhinekaan ke 7 tahun 2024.
Salah satu mata acara dalam festival ini adalah peluncuran buku berjudul Kita dan Mereka yang merupakan buku kelima Agustinus Wibowo yang sebentar lagi akan diterbitkan oleh Mizan.
Sekilas, Agustinus Wibowo menceritakan tentang isi buku yang sarat tentang pencarian identitas untuk menentukan siapakah jati diri kita yang sesungguhnya.
Agus memulai pencarian identitas yang dimulai untuk dirinya sendiri yang ternyata sangat absurd dan jauh dari sederhana. Identitas seseorang terkadang terasa sangat mudah, semudah kita mengisi data pribadi pada formulir identitas seperti nama, kebangsaan, agama, etnis, jenis kelamin dan juga pekerjaan. Namun terkadang menjadi lebih absurd dan abu-abu seperti pengalaman pribadi penulis buku itu sendiri.
Agus menceritakan pengalaman pribadinya sebagai etnis Tionghoa di Indonesia yang besar dan tumbuh di masa orde baru. Ketika dia harus menghadapi pergulatan batin bahkan hanya untuk mencari identitasnya sendiri.
Terkadang, penulis mengidentifikasi diri sebagai Tionghoa, namun dalam banyak hal dipaksa untuk menjadi Indonesia dan sekaligus dalam waktu yang bersamaan sering juga dijadikan Cina. Â
Namun pencarian identitas itu semakin jelas ketika Agus belajar alis kuliah yang tidak tanggung-tanggung, yaitu di negeri Cina atau Tiongkok. Di sana Agus mulai mencari dan kemudian menemukan identitasnya sebagai orang Indonesia.
Kisah Agus semakin menarik ketika dia  menceritakan pengalamannya berpetualang ke negeri-negeri yang eksotis dalam rangka mencari identitas. Mongolia, Tibet, India, Pakistan, Nepal, Afghanistan dan negeri-ngeri eks Soviet di Afghanistan telah dikunjunginya.  Di sana dia belajar budaya , tinggal dan menetap setara juga berbicara bahasa-bahasa yang juga langka dikuasai orang Indonesia seperti Mongol, Farsi, Urdu, Tajik dan Dari. Â
"Bahasa Urdu dan Hindi itu dua bahasa yang sama, di India disebut  Hindi dan di Pakistan disebut Urdu dan ditulis dalam aksara yang berbeda," demikian sekilas penjelasan Agustinus Wibowo.
Namun yang paling menarik sekaligus menyerahkan adalah pengalaman penulis ketika berkunjung ke Papua New Guinea, tepatnya di pedalaman di sekitar perbatasan Indonesia dan PNG yang bentuknya mirip garis lurus dengan sedikit tonjolan sepanjang hampir 800 kilometer.