Sudah hampir 10 tahun saya tidak menjejakkan kaki di Jerman dan bahkan sudah lebih lama lagi tidak mampir ke Frankfurt. Tapi suratan takdir membawa saya kembali ke kota di tepian Sungai Main ini.Â
Siang itu, dengan U Bahn line 6 yang membawa saya dari pusat kota Frankfurt, saya tiba di ujung jalur, yaitu di Stasiun Hausen. Â Lokasinya sudah sedikit di pinggiran kota karena jalur U Bahn juga sudah tidak lagi di bawah tanah, melainkan sudah di permukaan tanah.Â
Saya berjalan sekitar 5 menit di kawasan perumahan sampai akhirnya sampai di depan sebuah masjid yang cukup cantik. Â Abu Bakas Mosechee, demikian nama masjid ini dalam Bahasa Jerman dan tertulis di pagar pintu gerbangnya. Â Di gerbang ini pula ada kutipan Surah Al Hujurat ayat 13 dalam aksara Hijaiah dan terjemahannya dalam bahasa Jerman. Â Ah ayat ini mengingatkan saya akan sebuah masjid di pinggiran kota Boston yang juga memajang ayat ini.Â
"O Ihr Menschen, Wir haben euch ja von einem mannlichen und einemweiblichen Wesen erschafffen, und Wir haben euch zu Volkern und Stammern gemacht, damit ihreinander kennerlernen. Gewiss, der Geehrteste voneuch bei Allah ist der Gottesfurchtigeste von euch." Demikian cuplikan ayat tersebut.
Saya kemudian memasuki halaman masjid yang tidak terlalu luas, dan di halamannya juga ada sebuah tempat wudhu dengan hanya beberapa keran. Kebetulan ada dua lelaki yang sedang berwudhu. Â Saya kemudian menyempatkan mengambil gambar masjid yang di halamannya terdapat tiang-tiang dengan atap yang bisa berkembang mirip dengan yang ada di masjid Nabawi di Madinah.
Sekilas masjid ini memiliki satu kubah dan juga sebuah menara tunggal dengan nuansa warna hijau putih kekuningan. Â Dinding, dan juga menaranya memiliki pola batu bata yang menghias eksteriornya. Puncak menara memiliki arsitektur yang mirip dengan bangunan masjid di Turki serta ada hiasan kaligrafi bertuliskan Allahu Akbar.Â
Kecanggihan teknologi Jerman juga ada di masjid ini yaitu di pintunya yang otomatis terbuka ketika kita masuk. Â Selain tempat wudhu di halaman, kita juga bisa menuju ke ruangan di lantai bawah tanah untuk wudhu dan ke toilet, Selain tangga masjid ini juga dilengkapi dengan lift, baik menuju lantai bawah atau ke lantai atas tempat khusus Jemaah Perempuan.Â
Sebelum masuk ke ruang sholat, ada berjejer tempat meletakan alas kaki dan kemudian hamparan karpet hijau polos dengan hanya berhias penanda saf menyambut saya. Â Di pinggiran dekat dinding terdapat deretan kursi lipat khusus bagi Jemaah lansia. Â Suatu fasilitas yang masih sangat jarang ada di masjid-masjid di tanah air. Â Di sisi sebelah kiri, hanya ada seorang lelaki usia setengah baya yang sedang duduk sementara dua lelaki yang tadi sedang wudhu tampak sedang salat berjamaah.Â
Setelah shalat, saya mulai memperhatikan suasana interior masjid kecil yang sangat cantik ini. Bentuk mimbar, mihrab dan juga hiasan keramik di dindingnya mengingatkan akan keindahan masjid-masjid di Turki. Â Sebuah layar TV elektronik menunjukkan waktu-waktu sholat. Saya juga sempat melihat ke interior di bawah kubah yang tampak cantik dengan ornamen dan hiasan yang menarik serta sebuah lampu gantung kristal. Â Sinar Mentari yang siang itu malu-malu turut menerangi interior masjid.
Hanya ada beberapa pilar yang menopang kubah masjid ada di ruangan dalam, Dengan keramik warna kecokelatan memberikan nuansa mewah yang khas. Singkatnya, masjid ini walau tidak terlalu besar, tetap merupakan masjid yang cantik dan canggih.Â
Selesai sholat, saya sempat mampir ke sebuah restoran yang ada di ruangan bawah di sebelah masjid.  Ketika saya masuk, restoran ini tampak sepi, maklum waktu makan siang mungkin sudah lewat, yaitu sekitar pukul 2 siang.  Seorang lelaki berusia sekitar  50 tahunan lebih  menyambut saya dalam bahasa Jerman.  Saya sempat mengintip ke deretan tempat makanan yang kosong.  Wah mungkin saja tidak ada menu yang disiapkan seperti di restoran di masjid di Lisboa Jumat minggu lalu yang sangat ramai.
Ketika saya bertanya, lelaki tadi menjelaskan bahwa hanya ada makanan yang dipesan untuk dibuat yaitu makanan Mediterania, pilihannya makanan Italia atau Maroko.  Tentu saja saya memili makanan Maroko, apalagi sang lelaki yang juga kebetulan mengaku sebagai chef alias koki menjelaskan bahwa menunya sangat Istimewa, yatu Tajine yang disajikan dalam periku berbentuk kerucut. Isinya potonhan daging lengkap dengan sedikit tulang  dengan sayuran dan bumbu yang khas.
Saya kemudian memesan air mineral untuk minum dan dia mempersilahkan saya untuk duduk. Serta memberikan sebotol air mineral yang kemudian dihidangkan dalam sebuah gelas. Â Dia kemudian menghilang ke dapur dalam waktu sekitar 10-15 menit sebelum akhirnya muncul dengan hidangan Istimewa ala Maroko, yaitu Tajine yang masih hangat dilengkapi dengan roti. Â Dia juga kemudian menanyakan apakah saya ingin sambal yang tentu saja saya jawab dengan anggukan kepala sambil menyerukan beberapa kali ja dalam bahasa Jerman.
Ternyata pilihan saya tidak salah, Tajine merupakan hidangan paling sedap yang saya nikmati dalam perjalanan kali ini di Jerman. Â Rasanya sedap dengan daging yang empuk, kentang yang enak dan juga berbagi sayuran yang pas di lidah. Lagi pula porsinya sangat pas untuk saya, tidak terlalu besar dan juga tidak terlalu sedikit. Belum lagi sambalnya yang ternyata cukup menggoda selera. Â Tidak terasa santapan siang di restoran yang sepi ini ternyata melebih ekspektasi saya.
Selesai makan, lelaki tadi memberikan rechnung atau bon sebesar 16 Euro, yaitu menu Tajine seharga 13,50 Euro dan air mineral 2,50 Euro. Â Saya kemudian memberikan selembar 50 Euro yang kemudian dengan sopan lelaki itu meminta uang pas saja. Â Saya kemudian melihat dompet saya yang hanya ada uang 15 Euro selain beberapa lembar 50 Euro. Â Lelaki itu memberi syarat ok untuk uang 15 Euro, namun saya ingat bahwa saya masih punya cukup banyak uang logam. Â Akhirnya saya membayar dengan lembaran 10 Euro dan beberapa keping uang logam. Lelaki itu sangat berterima kasih karena saya membayar dengan uang pas dan di sini lah percakapan kami dimulai.
Lelaki itu bertanya apakah saya tinggal di Frankfurt atau di Jerman, dan ketika saya menjawab saya berasal dari Indonesia, dia langsung saja menyebutkan nama Abdurahman Wahid. Â Ah nama Gus Dur ternyata sangat terkenal dan lelaki itu kemudian mengaku memang berasal dari Maroko dan berprofesi sebagai koki.
Ketika saya menanyakan namanya, dia memberikan kartu nama. Dia juga menyebutkan usianya yang sudah 60 tahun dan ketika saya menyebutkan usia saya, dia langsung tertawa terbahak-bahak sambil memeluk saya. Â Sebuah persahabatan langsung timbul dalam waktu yang singkat, Kami kemudian langsung berfoto bersama lengkap dengan wadah tajine yang terbuat dari tanah liat.
Karena restoran memang sepi di siang itu, percakapan kami cukup berkembang baik mengenai perjalanan saya di Jerman sebelumnya dan sekilas mengenai kisah hidup lelaki dari Maroko tersebut.
Lebih dari satu jam saya berada di masjid dan restoran, tiba waktunya untuk kembali melanjutkan pengembaraan di Frankfurt. Namun ada kata-kata lelaki Maroko itu yang cukup berkesan yaitu : Die Welt ist eine Kleines Dorf yang artinya kira-kira dunia ini hanyalah sebuah desa kecil karena dia yang berasal dari Maroko dan saya yang berasal dari Indonesia bisa dipertemukan Allah di Jerman ini.
Dengan Langkah perlahan, saya kemudian kembali menyusuri jalan menuju ke sebuah halte bus yang akan membawa saya ke stasiun U Bahn Grosse Neikenstrasse, satu stasiun sebelum Hausen. Â Sebelumnya saya sempat mampir di sebuah mini market untuk membeli dua buah apel seharga hanya 80 sen.Â
Hidup ini memang hanya sebuah perjalanan. Â Penuh dengan kejutan dan hal-hal yang tidak diangka.
Frankfurt, 12 Februari 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H