Hari terakhir di Bukhara terasa sangat menyenangkan sekaligus menyedihkan. Sedih rasanya harus meninggalkan kota yang telah mencuri hati saya. Ingin rasanya lebih lama tinggal di sini dan menikmati suasana nya yang nyaman dan bikin betah. Ingin rasanya berjalan kaki di pusat kota dengan latar belakang kubah-kubah tempat berniaga. Di antara masjid-masjid dan madrasah kuno yang cantik, dan menyusuri lorong-lorong sempit di antara rumah-rumah dan sesekali menyapa penduduknya yang ramah dan selalu mengucapkan salam sambil menyilangkan tangan kanan ke dada sebelah kiri.
Tetapi perjalanan kami di Uzbekistan belum selesai. Kami harus kembali mengembara ke ibu kota, sekaligus kota terbesar di negeri di Asia Tengah in, Tashkent. Â Sebuah kota yang namanya telah saya kenal sejak lama. Melalui peta ketika menghafal peta Uni Soviet. Sebuah nama yang berarti kehangatan, karena kota ini walau di musim dingin tetap hangat dibandingkan tempat lain di wilayah Soviet yang luas. Tentu saja apalahi bila dibandingkan dengan di Siberia.
Seperti biasa perjalanan ke Tashkent kembali dimulai dari Stasiun Bukhara atau Buxoro. Â Kami sudah tiba sekitar 1 jam sebelum waktu keberangkatan yaitu sekitar pukul 16 dan akan tiba di Tashkent 6 jam 21 menit kemudian. Â Mas Agus sendiri sudah mengingatkan agar membeli makanan di luar dan dinikmati di kereta nanti karena makanan di kereta selain lebih mahal juga belum tentu cocok dan tidak terlalu banyak pilihan. Â Namun saya sama sekali tidak membeli makanan kecuali makanan kecil dan air mineral. Â Tetapi saya kebetulan membawa beberapa bungkus mie instan yang bisa menjadi penyelamat perut nanti. Â Tinggal mencari air panasnya saja.
Stasiun Bukhara bentuknya mirip dengan stasiun Tashkent dan Samarkand, namun interiornya masih kalah cantik dengan stasiun Samarkand. Suasana bangunan khas arsitektur Uni Soviet sangat dominan dengan tiang-tiang besar dan langit-langit yang tinggi.
Kereta api sudah siap beberapa menit sebelum berangkat, Kali ini, kami tidak naik kereta cepat Afrosiyob seperti dalam perjalanan dari Tashkent ke Samarkand dan Samarkand ke Bukhara, tetapi naik kereta biasa dari zaman Soviet yang disebut Sharq. Â Karena itu jarak sekitar 600 kilometer antara Bukhara dan Tashkent akan ditempuh sekitar 6 jam setengah.Â
Sekilas keretanya tampak angkuh dan gagah dengan gerbong yang jauh lebih lebar dibandingkan kereta api di Indonesia. Â Lebar rel kereta di Indonesia memang sama dengan di Jepang yaitu 1067 mm sementara di Uzbekistan 1,520 mm sehingga memang sekilas lebih lebar dan kokoh. Â Walaupun merupakan warisan zaman Soviet, sebagian gerbong kereta Sharq yang dalam bahasa Uzbek berarti Timur ini sudah diperbarui. Â
Kereta Sharq yang saya tumpangi memiliki 10 gerbong dengan lokomotif yang gagah dan dicat warna biru, putih dengan sedikit sentuhan hijau seperti warna bendera Uzbekistan. Dari 10 gerbong ini satu gerbong untuk First Class, 7 gerbong untuk kelas ekonomi dan 1 gerbong SV atau Spalny Vagon yaitu gerbong yang memiliki kompartment untuk tidur. Â Juga ada 1 gerbong bistro atau restorasi alias kereta makan. Â Kebetulan gerbong saya berbeda dengan rombongan sekitar 3 atau 4 gerbong.
Tempat tutuk di kelas ekonomi dengan konfigurasi dua-dua juga cukup nyaman dengan sandaran yang bisa dimiringkan. Juga ada fasilitas untuk menggantung jaket. Â Ketika kereta mulai berjalan, pramugara mulai berkeliling untuk menawarkan makanan dan minuman. Saya sempat membeli es krim atau morozene dan juga minuman ringan serta makanan ringan.Â