Dari sini kami terus berjalan di pagi yang sepi di Bukhara. Melewati lorong dan jalan yang sempit. Sesekali, kami bertemu dengan penduduk lokal, baik yang berjalan kaki maupun bersepeda.
Melihat saya memakai tubeika, topi khas Uzbek yang saya beli di Samarkand, banyak juga yang mengucapkan salam sambil meletakkan tangan kanannya di dada sebelah kiri.Â
Saya pun membalas salam dengan melakukan hal yang sama. Rasanya nyaman sekali berada di Bukhara dengan penduduknya yang ramah.
Setelah melewati gang dan lorong-lorong, kami kembali tiba di Ulitsa Mehtar Ambar. Di sebelah kanan saya kembali melihat sebuah madrasah yang lumayan cantik namun dalam keadaan yang kurang terurus. Pintu gerbangnya tertutup rapat namun tetap terlihat agung dan megah dengan deretan hujrah di kedua sisinya.Â
Pintu -pintu hujrah ini pun tertutup rapat. Saya masuk ke dalam iwan dan melihat hiasan berbentuk tiga lengkungan jendela berlantai dua. Di bagian atas berderet tiga lengkungan dengan hiasan muqarnas atau stalaktit yang cantik. Sayangnya semuanya dalam keadaan kurang terawat.
Pada sebuah plakat tertulis nama madrasah aini. Madrasah yang sekarang kosong dan seakan dicampakkan begitu saja. Dumulloh Tursunjon Madrasah dengan angka tahun 1796-1797 dan juga penjelasan bahwa bangunan ini berstatus sebagai cagar budaya dalam lindungan negara.Â
Kini tempat yang dulu ramai dengan santri, terasa sepi dan terbengkalai. Tidak mengherankan bila di aplikasi Google Map tempat ini juga dinamkan The Forgotten Madrasah atau Madrasah yang Terlupakan.
Kami kembali melanjutkan jalan kaki di pagi hari melewati jalan dan lorong-lorong kecil. Saya hanya mengikuti langkah mas Agus yang berjalan sambil sesekali membuat foto dan video.Â