Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen - Dosen , penulis buku travelling dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Menembus Garis Batas 26: Kecantikan Uzbekistan dalam Ragam Wajah

20 Oktober 2023   11:33 Diperbarui: 20 Oktober 2023   11:39 556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Matahari sudah menyemburatkan sisa-sisa sinar lembayung senja ketika kami memasuki iwan Madrasah Nodir Devonbegi yang cantik dab berhiaskan ornamen bergambar sepasang burung merak di bagian atasnya.   Saya juga sempat sejenak mengintip kaligrafi nukilan ayat-ayat Al Quran di kedua sisi gapura itu.  

"Kita harus cepat masuk karena pintu ditutup tepat jam 7.00," demikian ujar Guljan yang kemudian mohon pamit karena tugas dia memandu kami sejak siang hingga sore sudah selesai.  Esok pagi akan dilanjut kembali.

Kami memasuki courtyard atau halaman Tengah madrasah yang sudah disulap menjadi restoran terbuka dengan berbagai meja dan kursi lengkap dengan peralatan makan dan minum. Sebagian meja sudah lengkap dengan makanan, namun juga ada meja yang hanya untuk minuman saja. Rupanya disesuaikan dengan paket yang dipilih pelanggan. Kami duduk di dua meja dan saya kebetulan mendapatkan meja dengan nomor 13. 

Tiga Penari: Dokpri
Tiga Penari: Dokpri

Di bagian depan, sudah ada deretan kursi lengkap dengan alat musik dan para pemainnya yang berseragam baju putih lengan panjang dan celana warna hitam.  Satu, dua, tiga, .....  tujuh, delapan, Sembilan.   Saya menghitung ada Sembilan lelaki dengan rentang usia sekitar 30 hingga 50 tahunan yang sudah siap memainkan beragam alat music baik petik, tiup, gesek, dan perkusi.   Salah satu yang paling popular adalah doira yang merupakan alat music perkusi, juga ada yang memainkan rubab yang mirip dengan rebana, serta dutor dan alat musik  tiup seperti seruling yang saya tidak tahu namanya. 

Makanan di meja 13: Dokpri
Makanan di meja 13: Dokpri

Tidak lama kemudian, musik mulai dimainkan dengan irama tradisional Uzbek yang sekilas mirip alunan musik Timur Tengah dan sesekali mirip juga irama dangdut atau India.   Bersamaan dengan itu, makanan juga mulai dihidangkan berupa nasi Pilov, sashlik , sejenis sup, roti nan, samsa,dan tentu tidak ketinggalan buah semangka serta melon Uzbekistan yang sangat manis.

Tidak lama duduk, suara azan maghrib menggema dari masjid tidak jauh dari madrasah ini, sekelompok orang yang duduk di meja di sebelah kami kemudian dengan tenang meninggalkan meja mereka.  Rupanya mereka menunaikan salat magrib dahulu sebelum kembali lagi ke tempat duduk sekitar 15 menit kemudian. Melihat pakaian dan penampilan mereka, kemungkinan wisatawan dari negara-negara Asia Tengah di sekitar Uzbekistan ini.

Sambil menikmati makanan, mula-mula tampil tiga orang gadis penari yang memakai kostum tradisional Uzbek berupa gaun panjang warna kuning cerah lengkap dengan sejenis rompi warna hitam. Rambutnya yang panjang dikepang dan memakai penutup kepala yang khas.  Gerakan tarinya sangat dinamik dengan banyak mengangkat kedua tangan ke atas dan kemudian memutar-mutar tubuh.  

Selain tiga gadis ini, juga tampil seorang gadis cilik yang memakai kostum tradisional dengan dominasi warna merah dan coklat tua yang dominan.  Karena menari solo, gadis ini tampak lebih bebas mengungkapkan ekspresi dan tampak sangat energik . Basik gerakannya tetap sama dan saya sendiri pernah mendengar tentang tarian tradisional Uzbek yang Bernama Khorezm Lazgi. Mungkin ini adalah tarian tersebut. Namun karena sama sekali tidak ada kata-kata pengantar saya dan penonton lainnya juga kurang mafhum dengan nama-nama tarian yang disajikan.

Tarian: Dokpri
Tarian: Dokpri

Berseling dengan tarian tradisional, muncul juga peragaan busana atau fashion show gadis-gadis Uzbekistan yang terkenal akan kecantikan dan kemolekannya. Berbagai jenis pakaian tradisional Uzbek dengan warna -warna yang cemerlang dan cerah ditampilkan. 

Uniknya penampilan raut wajah-wajah cantik gadis-gadis Uzbek itu juga sekaligus melambangkan keragaman etnis yang ada di negeri eks Soviet di Asia Tengah itu. Sekilas ada gadis yang tampak sangat putih dengan wajahnya yang cantik dan sendu. Lebih mirip gadis Rusia yang cantik. Ada juga gadis yang penampilannya memiliki ciri khas Gadis gadis Turki atau Perisa dengan hidung mancung dan mata yang tajam.  Namun ada juga yang tampil dengan sentuhan dan garis wajah Mongol yang dominan.  Walau beragam, ada satu kata yang sama untuk mereka semua, yaitu macan alias manis dan cantik.

Pragawati: Dokpri
Pragawati: Dokpri

Pada fashion show gelombang pertama , tampil lima gadis yang mengenakan pakaian tradisional dengan warna biru, ungu, coklat tua, hitam dan abu-abu. Semuanya lengkap dengan jubah dan topi atau penutup kepala yang tinggi.  Mereka berjalan sendiri-sendiri dengan lenggang lenggok yang menawan, memutar tubuh dan sesekali tersenyum manis. Terkadang mereka maju mundur dan berbaris membentuk gerakan0gerakan yang indah. Selain mengagumi keindahan pakaian mereka, tentu saja penonton pun terkagum0kahum dengan kecantikan wajah-wajah sang peragawati.

Setelah gelombang pertama Fashion show selesai, kemudian tampil kembali tiga gadis penari dengan kostum yang berbeda walau mirip dengan penampilan pertama. Masih dengan jenis tarian yang walau tidak sama tetapi masih serupa. Dengan Gerakan mengangkat tangan, memutar dengan ritme yang cepat dan riang diiringi music yang mengalir cepat. 

Demikianlah, rentetan tarian dan pagelaran busana muncul silih berganti. Berbagai jenis busana baik gaun tradisional maupun campuran busana tradisional dengan sentuhan modern ditampilkan. Walaupun begitu dapat dilihat bahwa wajah-wajah yang cantik itu tampil berulang kali dengan bungkusan busana yang berbeda. Mereka memang selalu tampak tersenyum walau terkadang senyumnya tampak sudah diatur dan sama dalam setiap kali penampilan. Sangat berbeda dengan senyum keramahan orang-orang Uzbek yang kami jumpai di jalan dan tempat-tempat yang kami kunjungi sebelumnya.

Sekitar satu setengah jam lebih acara makan malam dengan pertunjukan tarian dan pagelaran busana ini berlangsung di halaman Tengah madrasah yang dulunya menjadi tempat belajar agama. Uzbekistan kini sudah banyak berubah. Madrasah-madrasah di Bukhara, Samarkand dan Khiva sebagian besar berubah menjadi museum, toko suvenir, hotel dan juga restoran.

Sekitar pukul 9 malam, kami meninggalkan madrasah dan berjalan santai di kota tua Bukhara.  Selain lebih mengenal berbagai jenis tarian dan alat music tradisional Uzbek, kami juga lebih mengenal wajah-wajah gadis Uzbekistan yang demikian beragam.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun