Selepas salat Jumat barulah saya punya waktu sejenak untuk menjelajah Shah- I Zinda. Terpaksa sendiri karena sempat terpisah dengan rombongan tur. Atau saya juga terlalu lama menghabiskan waktu di Masjid Musim Panas sebelum salat Jumat dilaksanakan.Â
Saya mengembara menjelajah bagian demi bagian kompleks makam yang sangat luas dan bertingkat-tingkat ini sementara karpet-karpet baru saja digulung selepas salat Jumat.Â
Saya memasuki satu demi satu mausoleum nan cantik dalam berbagai bentuk dengan ornamen serta warna yang membuat diri merasa diterbangkan ke masa lampau, ketika negeri itu masih disebut Sogdiana, Transoxania ataupun Imperium Timur.
Di sini, di antara hamparan makam, mausoleum, kubah dan ratusan wisatawan saya sempat termenung, betapa batas antara hidup dan mati memang sangat tipis.Â
Bagi sebagian orang, kematian merupakan akhir suatu masa dan setelah itu kita mungkin dilupakan. Namun bagi sebagian orang lain, bahkan setelah kematian, nama kita tetap disebut dan dibaca oleh jutaan orang yang dari generasi masa depan yang datang dengan beribu keinginan.Â
Sebagian untuk berziarah, sebagian untuk berwisata, dan sebagian lagi hanya untuk memenuhi rasa ingin tahu mereka. Itu adalah nasib orang-orang dari berbagai abad yang jasadnya berbaring di Nekropolis, alias kota orang mati ini.
Ini bukan kompleks makam paling luas yang pernah saya kunjungi, tetapi ini adalah kompleks makam yang paling memesona dan menawan yang pernah saya lihat.Â
Deretan bangunan yang mencerminkan hasil karya ratusan atau ribuan seniman yang telah menuangkan hasil karya terbaik mereka agar dapat disaksikan oleh generasi berikut di era puluhan, ratusan bahkan ribuan tahun setelahnya.
Dari masjid saya memulai pengembaraan secara acak dan memasuki mausoleum yang menarik hati saya. Salah satunya adalah Mausoleum Usto Ali Nesefi yang berasal dari abad ke XIV.Â