Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen - Dosen , penulis buku travelling dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Bersama Pame Keliling Kota Tua dan Mendengarkan Kisah Tentang Lonceng Kematian

23 September 2023   09:30 Diperbarui: 23 September 2023   09:33 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pagi baru merekah ketika saya sudah harus berangkat menuju kawasan Kota Tua Jakarta yang kini kembali dinamakan Batavia, sesuai namanya di zaman VOC dan Hindia Beanda.  Dari Bekasi saya menuju Kota Tua dengan kendaraan tercinta yang bebas macet yaitu Kereta Komuter atau KRL.    Karena ingin santai dan dapat tempat duduk, saya naik dari peron 4 yang menuju ke Kampung Bandan via Pasar Senen dan bukan dari peron 5 yang sudah penuh sesak dari Cikarang dan menuju Kampung Bandan via Manggarai.    Sekitar 45 menit kereta saya tiba di Stasiun Kampung Bandan dan kemudian transit atau pindah jalur ke atas di peron 5 menunggu kereta yang dari Tanjung Priok menuju Stasiun Kota.    Total waktu perjalanan sekitar 1 jam lebih sedikit dari Stasiun Bekasi termasuk waktu tunggu sekitar 15 menit di Stasiun Kampung Bandan.  

Dokpri
Dokpri

Pukul 9.00 lewat sedikit  saya sudah mendarat di Stasiun Kota dan dengan santai menuju  Taman Fatahillah, di depan Kantor Pos yang dijadikan Meeting Point, tetapi ketika melewati depan Museum Keramik dan Seni Rupa, sudah banyak peserta yang menunggu di sana sambil bersantai. Bola-bola batu dijadikan tempat duduk dan kebetulan di sini lebih adem dan terlindung dari sengatan sinar matahari pagi yang mulai membakar.  Sambil menunggu teman-teman yang lain, kami mulai bercakap-cakap dan saling menegur satu sama lain.  Bahkan ada yang membawa coklat dan pisang goreng untuk dijadikan sarapan pagi. 

Sekitar pukul 9.30 acara pun langsung dimulai dengan pidato singkat Bang Indra sebagai ketua umum Himpunan Pramuwisata Indonesia DPP DKI Jakarta disusul oleh Mba Ira sebagai yang empunya hajat dari Biro Inovasi dan Pengembangan Kreativitas  HPI Jakarta sekaligus langsung diserahkan kepada Pamelita yang akan menjadi narasumber atau pemandu di acara bagian pertama, yaitu kelilung kota tua. 

Mbak Ira: Dokpri
Mbak Ira: Dokpri

"Selamat Pagi, Buenos Dias,"  demikian Pamela Zaelani atau yang  biasa dipanggil Pame memulai acara.   Pame  adalah pemandu anggota HPI dan juga Wisata Kreatif Jakarta yang sangat fasih berbahas Spanyol dan sudah enam bulan terakhir ini ditugaskan di Kota Tua.   So pagi ini Pame akan sharing pengalaman dan pengetahuannya tentang kota tua kepada seluruh peserta.

Walking tur mengeliling kota tua dimulai dari depan Museum Seni Rupa dan Keramik yang walau hanya dilihat dari jauh tetap dapat dirasakan keindahannya. Gedung Tua yang dibangun pada sekitar tahun 1870-an pada mulanya digunakan sebagai Kantor Raad Van Justisie atau Kantor Dewan Kehakiman dan dalam perjalanan sejarahnya berubah fungsi beberapa kali hingga akhirnya dijadikan Museum Seni Rupa dan Keramik pada 1976. Sebelumnya gedung ini pun pernah menjadi Kantor Walikota Jakarta Barat.  Demikian secara singkat penjelasan Pame pagi itu memulai rangkaian acara mengunjungi berbagai spot bersejarah dan menarik di kawasan kota tua.

Museum Keramik: Dokpri
Museum Keramik: Dokpri

Rombongan walking tour melanjutkan perjalanan di kota tua dengan mampir ke berbagai tempat lain termasuk halaman Museum Sejarah Jakarta yang ada bekas air mancur.  Di sini dijelaskan kalau dulunya merupakan sumber mata air dan juga menjadi asal nama Glodok yang berasal dar kata Grojok untuk bunyi air yang mengalir.  Dari lapangan ini pula Pame menjelaskan Sejarah singkat Gedung Museum Sejarah Jakarta yang dulunya bernama Stadhuis atau Balai Kota Batavia.   Gedung ini pertama kali dibangun di era Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterzoen Coen pada tahu 1627 dan hanya berlantai satu.  Sementara gedung yang sekarang ini berlantai dua dan mulai dibangun pada 1707. 

Lonceng Kematian: Dokpri
Lonceng Kematian: Dokpri

Menurut Pame, gedung ini sangat mirip dengan sebuah gedung di Amsterdam, yaitu Istana Dam, perbedaannya hanya lah warna gedung dan juga jarak antar jendela yang sedikit lebih renggang dibandingkan dengan istana di Negeri Belanda itu.   Salah satu hal menarik tentang gedung ini adalah lonceng yang ada di puncak gedung yang dinamakan Lonceng Kematian. Konon lonceng yang dibuat pada 1742 ini akan dibunyikan sebagai pengumuman bahwa sebentar lagi akan ada acara eksekusi mati di Taman di halaman depan Gedung Balai Kota.   Pada masa itu hanya ada dua cara hukuman mati yaitu dengan hukum gantung atau hukum pancung. Wah seram sekali dan mendengarnya saja kita sudah cukup merinding.  Namun ada juga cara hukuman mati yang lebih seram yaitu ditarik oleh kuda ke empat penjuru sehingga tubuh menjadi tercabik-cabik seperti yang dialami oleh Peter Erberveld yang dikenal sebagai Si Pecah Kulit.

Dokpri
Dokpri

Selain itu Pame juga menunjukkan lokasi peletakan batu pertama gedung Stadhuis ini yang dilakukan oleh putri Gubernur Jenderal putri Gubernur Jenderal Joan van Hoorn yang baru berusia 8 tahun, Petronella Wilhelmina van Hoorn pada tanggal 25 Januari 1707.   Gedung ini dibangun selama tiga tahun dan baru diresmikan pada 1710, dari 313 tahun yang lalu.  

Perjalanan kemudian dilanjut lagi melihat beberapa gedung bersejarah di kawasan kota tua seperti Gedung Kantor Pos,  Meriam Si Jagur yang bersejarah dan juga penuh mistis dan legenda, juga sejenak melihat monumen Trem yang dulu pernah lalu Lalang di Jakarta.   Kami juga mampir ke Gedung Jasindo, melihat sebentar Gedung Dasaad dan kemudian meluncur ke Kali Besar.

Kali besar: Dokpri
Kali besar: Dokpri

Di Kali Besar, kami sejenak melihat dari kejauhan Toko Merah dan sekilas mendengarkan Sejarahnya yang panjang serta kaitannya dengan peristiwa Geger Pecinan pada 1740.  Juga dikisahkan tentang sebuah gedung dua rumah dari Toko Merah, yaitu Rumah Singa Kuning dan dari kejauhan melihat Jembatan Kota Intan.   Di atas Kali Besar ada Jembatan Budaya dan juga Monumen Penurunan Air Tanah yang menjelaskan betapa cepatnya kota Jakarta tenggelam dari tahun ke tahun.

Perjalanan belum selesai, kami kembali melewati sebuah jalan atau Gang yang disebut Gang Virgin atau Gang Perawan yang menurut Pame dulunya ada sebuah tempat none Belanda bersosialisasi sambil memamerkan banyaknya budak yang dimiliki. 

"Simbol kekayaan di zaman dulu, bukanlah banyaknya uang yang disimpan di bank, melainkan berapa banyak budak yang dimiliki," demikian kira-kira ujar Pame sambil tersenyum manis. 

Tugu Penurunan Air Tanah: Dokpri
Tugu Penurunan Air Tanah: Dokpri

Dari Gang Virgin jalan-jalan di Kota tua terus berlanjut mampir ke sebuah Gedung Perkantoran Elite dan juga sempat menjenguk kantor Bank Mandiri dan diakhiri di seberang Stasiun Jakarta Kota yang dulunya Bernama Stasiun BEOS atau Bataviasche Ooster Spoorweg Maatschappij (Maskapai Angkutan Kereta Api Batavia Timur).  Di kala itu memang da beberapa Perusahaan kereta api dan Perusahaan ini melayani rute ke arah timur seperti ke arah Bekasi.

Sekitar pukul 12 siang, walking tur bersama Pame pun selesai.  Acara dilanjutkan dengan makan siang bersama di Cafe New Batavia untuk kemudian menanti bagian kedua Acara Pengayaan atau Sharing Pengalaman HPI di Kota Tua dimana kami akan menjelajah khusus Museum Sejarah Jakarta dengan dipandu langsung oleh Papi Alex. 

Terima kasih sudah membaca.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun