Di taman ini pula kita dapat melihat dan menikmati monumen karya seniman dari berbagai negara ASEAN dengan berbagai karya yang cntik dan melambangkan perdamaian, persatuan. Keharmonisan dan juga semangat bangsa-bangsa di Asia Tenggara tersebut. Keberadaan patung-patung tersebut sekaligus menegaskan kembali posisi Jakarta sebagai ibukota ASEAN. Â Yang tidak kalah enarik juga adalah keberadaan sebuah musolah disalah sudut taman. Musolah ini memiliki gaya perpaduan arsitektur Tiongkok dan Betawi dan Bernama Musolah Babah Alun. Â Wah saya jadi ingat akan keberadaan banyak musolah Babah Alun di seantero ibukota. Â Babah Alun merupakan nama julukan seorng pengushaa Tionghoa Muslim yang terkenal yaitu Yusuf Hamka. Â
Dari Taman Suropati kami menyusuri kaki lima Jalan Diponegoro dan menyaksikan rumah dan bangunan tua dengan lahan yang maha luas. Ada ruah yang masih dipertahankan dengan model aslinya, sebagian sudah runtuh dan ditinggalkan. Ada juga yang sudah dibangun kembali dengan rumah gaya modern lengkap dengan pagar tinggi yang angkuh dan penjagaan yang lumayan ketat. Â Sebagian lagi merupakan kedutaan atau tempat tinggal duta besar negara-negara sahabat. Â Ada kedutaan Italia, Belanda, dan juga Belgia di sepanjang jalan ini. Sementara ada juga rumah atau mungkin kantor pejabat penting yang tampak penuh penjagaan. Bahkan ada kendaraan yang keluar dari salah satu rumah dan langsung dikawal untuk melewati jalan yang ramai di Tengah kota Jakarta.Â
Selain itu, di sepanjang Jalan Diponegoro ini juga ada beberapa bangunan yang dijadikan markas partai politik. Saya sempat melihat markas besar Perindo, PDIP dan juga Partai Persatuan Pembangunan. Â Mbak Reta juga sempat bercerita tentang era orde baru yang hanya ada 3 partai yaitu PPP, Golkar dan PDI serta kemelut dalam tubuh PDI yang kemudian melahirkan PDI Perjuangan serta kisah kelam pada Juli 1996 yang sempat memakan korban jiwa. Â Di jalan Diponegoro 57, kami juga melewati rumah Bung Hatta yang kini masih ditempati oleh keturunannya, yaitu Keluarga Meutiah Hatta.
Tempat menarik lainnya yang sempat kami lihat adalah Jalan Surabaya. Â Di sini banyak barang-barang antik yang dijual dan menjadi tempat favorit para wisatawan asing. Â Mbak Retha sempat bercerita tentang Laser Disk, Piringan Hitam dan Kaset yang mungkin kurang dikenal oleh anak-anak generasi sekarang.Â
Kami terus berjalan ke arah timur, melewati kolong jembatan kereta api dan sampai di kompleks Megaria di mana terdapat bioskop Metropole. Bangunan bioskop ini juga masih dipertahankan seperti aslinya dan merupakan salah satu bioskop tertua di Jakarta. Â Juga dijelaskan bahwa di tempat ini ada kuliner legendaris Jakarta yang sudah ada sejak tahun 1970-an, yaitu Es Teler Sari Mulia. Â Kami sempat masuk ke halaman dan kemudian berfoto bersama.
Perjalanan masih belum selesai, namun Taman Proklamasi memang sudah dekat. Â Tidak sampai 5 menit kami mulai memasuki Taman Proklamasi dan disambut oleh Gedung Pola dengan arsitekturnya yang khas. Â Di Taman Proklamasi ini ada beberapa tugu yang cukup penting seperti Tugu Petir dan tentu saja Tugu Proklamasi. Tugu petir ini konon didirikan di tempat Bung Karno membacakan teks Proklamasi. Â Sayangnya Rumah Bung Karno sendiri sudah dirobohkan atas perintah Bung Karno sendiri.
Mbak Reta juga menjelaskan bahwa banyak perlambang yang ada pada tugu proklamasi selain patung Bung Karno dan Bung Hatta. Â Tugu ini terdiri dari 17 pilar vertikal dengan 8 pilar di bagian Tengah yang konon memiliki tinggi 8 meter. Selain itu juga terdapat tonjolan horizontal yang berjumlah 45 buah. Â
Acara Napak tilas kemudian diakhiri dengan berbagai kuis berhadiah coklat dan foto  bersama di Tugu Proklamasi. Para peserta sebelumnya juga semat mendengarkan kembali rekaman suara asli Bung Karno ketika membacakan Teks Proklamasii.