Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen - Dosen , penulis buku travelling dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dari Undian Berhadiah TV Hingga Tawuran Pelajar

26 Juli 2023   21:44 Diperbarui: 26 Juli 2023   22:02 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jakarta merupakan salah satu kota besar di dunia yang saat ini memiliki berbagai macam transportasi publik seperti Trans Jakarta, MRT, LRT, LRT Jabodebek, Mikrolet, dan lain sebagainya.  Terus terang situasi dan kondisi transportasi umum di Jakarta terus membaik dalam beberapa tahun terakhir ini terutama sejak adanya MRT dan LRT dan juga kian bagusnya layanan Trans Jakarta.  Yang saya ingin ceritakan adalah pengalaman naik transportasi umum di Jakarta di masa lalu, ketika naik KRL masih berdesakkan di atap naik bus kota seperti PPD masih bergelantungan di pintu dan serunya naik Kopaja atau metro mini.  

Perkenalan saya pertama kali dengan angkutan umum di Jakarta mungkin di sekitar akhir tahun 1970-an .  Ongkos bus kala itu adalah 15 Rupiah dan kemudian naik menjadi 30 Rupiah. Kalau tidak salah pada tahun 1978 atau tahun 1979.   Uniknya pada saat itu penumpang langsung membayar kepada kondektur dan tentu saja sistem seperti ini menyebabkan pelayanan yang kurang baik kepada penumpang.  Jika pada waktu jam sepi, bus sering menunggu penumpang cukup lama alias ngetem di suatu tempat.

Dan bahkan sesanak bus kadang juga saling mendahului untuk berebut penumpang.  Karena itu ada peringatan yang cukup terkenal kala itu yaitu "Sesama Bus Kota dilarang saling Mendahului.  Selain panas, dan padat di dalam bus juga sering naik para pedagang asongan, pengamen, dan tentu saja sering kali dengan para pencopetnya. Lengkap sudah kehidupan Jakarta yang cukup keras kala naik bus kota atau Metro Mini dan Kopaja.   Kecopetan sangat sering terjadi walau saat itu belum ada penumpang yang membawa hape. 

Uniknya, pada untuk meningkatkan pendapatan perusahaan bus, pernah juga diterapkan sistem karcis, yaitu setiap penumpang akan mendapat karcis setiap kali membayar kepada kondektur.  Namun ternyata banyak kondektur yang nakal tidak memberikan karcis dan penumpang juga malas meminta karcis. 

Sebagai jalan tegah perusahaan bus kemudian mengadakan undian karcis berhadiah yang diundi sebulan sekali dengan hadiah yang menarik seperti TV.  Dengan berfungsinya karcis sebagai kupon undian berhadiah, maka penumpang pun ikut aktif meminta karcis ke kondektur.  Sayangnya sistem ini pun tidak bertahan lama, mungkin hanya beberapa bulan saja dan saya sendiri walau sempat mengumpulkan banyak karcis bus kota, tetapi tidak pernah menang undian. 

Pada saat yang bersamaan, perusahaan bus di Jakarta seperti PPD dan beberapa lainnya mulai memperkenalkan tipe bus yang disebut dengan PATAS alias cepat dan terbatas dengan harga tiket 3 kali lipat, yaitu 150 Rupiah sekali jalan. Pada saat diperkenalkan disebutkan jika bus patas ini diperuntukkan untuk penumpang yang berdasi.  Pada awalnya ide patas alias terbatas adalah jumlah penumpang maksimum sesuai dengan jumlah tempat duduk di dalam busa alias tidak ada yang berdiri.  Namun pada kenyataannya kemudian, bus patas pun mengalami Nasib yang sama seperti bus biasa , yaitu berjejal penumpang.  

Perlu diketahui di masa itu, jumlah bus sepertinya tidak sesuai dengan jumlah penumpang, sehingga di jam-jam sibuk kita sering berdesakan dan bahkan naik bus asal menempel alias pintu bus pun tidak ditutup.  Selain berbahaya, risiko kena copet pun selalu mengintai.   

Namun yang mengasyikkan adalah rute bus menjangkau sebagian besar kota Jakarta dan sistem penomoran bus biasanya menggunakan terminal bus awal seperti semua bus yang berasal dari Blok M menggunakan nomor yang berawalan 1 dan yang dari Grogol atau Kalideres kemudian menggunakan angka 2, 3 Rawa Mangun,  4 , CIlilitan dan 7 Kota. Sehingga salah satu rute bus favorit saya adalah rute 49 Yaitu Cililitan Manggarai atau 700 Cililitan Kota serta 806, Pasar Minggu Pintu Air.     Namun pada saat itu, kalau untuk menuju tujuan kita harus berganti bus, maka ongkos naik bus pun menjadi lebih mahal karena harus selalu membayar setiap naik bus.

Pada sekitar tahun 1983 atau 1984, sejalan dengan besarnya inflasi, harga tiket pun naik menjadi 100 Rupiah sekali jalan.  Wah merupakan kenaikan ongkos bus yang lumayan besar karena dalam beberapa tahun saja sudah naik dari 15 Rupiah ke 30 Rupiah, kemudian menjadi 50 Rupiah dan 100 Rupiah.   

Demikian waktu terus berlalu, bus PATAS kemudian bertambah degan adanya PATAS AC, namun situasi transportasi umum di ibukota Jakarta tidak pernah ada perbaikan. KRL yang padat dengan kereta yang kumuh serta kondisi bus kota yang tetap mengenaskan terus berlangsung hingga pergantian abad.   Karena itu bagi yang mampu tentunya akan lebih suka naik kendaraan pribadi dibandingkan dengan naik transportasi umum.  Jakarta dan sekitarnya pun makin macet dan padat merayap.

Selain itu bus kota juga sering menjadi korban pengrusakan akibat tawuran pelajar yang sangat sering terjadi di Jakarta. Saya sendiri pernah merasakan naik bus kota di kawasan Senin dan tiba-tiba saja busa yang saya naiki mendapat serangan dari sekelompok pelajar yang melemparkan batu-batu ke semua kaca jendela. Akibatnya semua kaca jendela pecah, penumpang berhamburan keluar atau menunduk menghindari batu dan pecahan kaca.   Sebuah pengalaman unik yang sebenarnya cukup menyeramkan juga. Sehabis memecahkan kaca-kaca itu para pelajar tersebut lari berhamburan juga dan tidak jelas lagi dimana pertempuran dan tawuran berlanjut.  Yang jelas fasilitas publik yang menjadi korban. 

Waktu berlalu dengan cepat, tahun berganti tahun, pemimpin dan era pun berganti hingga abad 20 pun berganti ke abad 21. Jaringan jalan tol pun makin banyak di ibukota, tetapi angkutan umum tampaknya makin tidak nyaman di tengah-tengah jalan raya yang makin padat merayap. Jakarta pun makin terkenal sebagai salah satu kota besar paling macet di dunia. 

Suatu lompatan besar untuk transportasi umum dilakukan dengan adanya Trans Jakarta pada 2004. Sistem BRT yang mencontoh Trans Milenio yang ada di Bogota ini diperkenalkan dalam masa pemerintahan Sutiyoso yang dikenal dengan nama Bang Yos. Pada awalnya rute Trans Jakarta hanya ada koridor 1 yaitu Blok M Kota dan masih banyak kendala dengan kurangnya armada dan juga pelayanan yang belum begitu baik.

Seiring dengan berjalannya waktu, layanan dan jaringan TransJakarta pun semakin baik dan berkembang sehingga saat ini Trans Jakarta merupakan sistem BRT dengan rute dan jalur yang sudah mencapai beberapa ratus kilometer dan konon paling besar di dunia.  Uniknya harga tiket TransJakarta yang 3500 Rupiah hingga saat ini eblum pernah disesuaikan hingga 19 tahun berjalan.   Sejak Pak Ignatius Jonan menjadi bis Kereta Api Indonesia, pelayanan KRL menjadi semakin baik dan sejak itu pula saya baru berani naik KRL dan bersamaan dengan itu pula layanan Trans Jakarta juga semakin baik.  

Maka saat ini saya sendiri selalu lebih suka naik transportasi umum dibandingkan dengan naik kendaraan pribadi. Selain ramah lingkungan, juga lebih ramah di kantong.   Yuk kita naik transportasi umum. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun