Setelah beberapa kali menjelajah kawasan Dago, Braga, Asia Afrika, hingga Babakan Siliwangi, jalan kaki di Bandung kali ini menuju ke kawasan di sekitar Cikapundung, sungai yang mengalir dari kawasan Lembang di utara dan kemudian membelah kota Bandung. Â Kalau biasanya saya sering mampir di tepian Cikapundung di dekat Asia Afrika, kali ini saya mampir ke tempat khusus yang Bernama Teras Cikapundung.Â
Dari Jalan Sangkuriang, saya berbelok ke arah kanan menyusuri Jalan Siliwangi dengan kaki lima yang lumayan nyaman walau tidak selebar pedestrian di Dagostraat. Â Â Di sini terlihat kontur geografis kota Bandung dengan lembah dan bukit yang indah walau sekarang tertutup dengan banyak bangunan. Â Di sini ini terdapat dinding bukit yang ditutup dengan mural yang lumayan cantik dan menarik, apa lagi dilengkapi dengan kursi yang cukup nyaman untuk sekedar duduk melepas lelah.
Pagi itu, kebetulan akhir pekan, cukup banyak orang yang berjalan kaki, jogging atau bersepeda di kawasan Jalan Siliwangi ini. Sementara saya berjalan santai dengan kecepatan sekitar 5 kilometer per jam ada juga sekelompok orang yang berjalan lebih cepat dan mendahului saya. Mereka berjalan di kaki lima menuruni tepian jalan hingga ke jembatan atau viaduk. Â
Di seberang jalan di dekat pintu masuk ke parkiran Babakan Siliwangi, ada sebuah spanduk besar bergambar capres 2024. Kalau di Dago kemarin PKS dengan jagoannya Anies Baswedan, Kali ini Golkar dengan Erlangga Hartanto. Di sebelahnya ada spanduk atau baliho besar dengan gambar Ganjar serta tulisan Ganjar untuk Semua. Â Wah pertarungan politik kian memanas, setidaknya melalui spanduk dan baliho besar-besar.Â
Saya terus berjalan dan akhirnya tiba di Teras Cikapundung. Di dekat trotoar ada hiasan berupa tugu bulat berukiran tumbuhan dan kura-kura. Di atasnya juga pot bunga yang ditopang emat ekor kura-kura. Â Sementara di bawah sana di tepi sungai, ada sebuah amfiteater yang kali ini menjadi tempat sekelompok ibu-ibu yang sedang senam pagi mengikuti irama musik yang riang.
Walau bisa langsung melompat pagar menuju lembah, saya memilih menyusuri jalan memutar yang terus menurun menuju ke daerah aliran sungai atau bantaran kali CIkapundung ini. Â Jalan ini pula yang digunakan oleh kendaraan baik rda emat atau roda dua ke temat parkir yang luasnya tidak seberapa. Â Di sini ada peta kawasan, dan juga di dekatnya ada sebuah airmancur yang tidak ada airnya alias sedang tidak beroperasi. Â
"Mohon Tidak Masuk ke Area Air Mancur Menari." Demikian sebuah arangan ada di tengah kawasan air mancur yang dikeliling oleh batu batu bulat berbentuk bola lengkap dengan rantai.Â
Di dinding ada beberapa prasasti tentang peresmian renovasi Tepian Sungai Cikapundung ini yang ditandatangani oleh Walikota Bandung, Kang Emil bersama Dirjen Suberdaya Air kementerian PUPR. Â Â
Saya kemudian berjalan menyeberangi sungai melewati sebuah jembatan merah yang melengkung. Â Air sungai tampak sedikit surut dan tampak sebagian sampah dan bebatuan menghiasi dasar sungai. Â Sayang masih kurang terawat walau banyak tulisan dan peringatan untuk menghargai kebersihan dan merawat sungai. Â Sama seperti di Babakan Siliwangi, kebersihan di kawasan ini memang masih belum maksimal.
Di seberang jembatan, ada sebuah warung Bernama Warung Bambu yang pagi itu lumayan banyak pelanggan. Di sini tersedia minuman hangat dan juga makanan kecil yang lumayan menggoda selera. Di dekatnya ada sebuah gardu keci tempat terapi seperti bekam, pijat refeksi, gurah dan berbagai macam pengobatan tradisional dan alternatif. Â Namun sama sekali kosong dan tidak ada rang yang menjagai. Di pojok juga ada beberapa rongsokan permainan berbagai wahana seperti kora-kora di dunia fantasi dalam ukuran mini.
Saya kemudian berjalan ke arah sebelah kiri. Di sini ada kolam dengan hiasan kura-kura di tepiannya. Saya terus berjalan dan di sudut kola mini ada se kelompok orang yang kelompok walking tour yang sedang mendengarkan penjelasan dari pemandu wisata. Â Uniknya selain wisatawan lokal ada juga wisatawan asing yang ikut. Â Pemandu wisata sedang menjelaskan kisah mengenai Sungai Cikapundung tepat di depan sebuah peta bergambar aliran sungai ini.
"Kata Cikapundung berasal dari dua kata, Ci yang berarti Air atau sungai dan Kapundung daalah sejenis buah dalam bahasa Sunda yang berarti Menteng," demikian sekilas penjelasan yang saya dengar dari sang pemandu wisata. Â Buah Kapundung atau menteng ini merupakan buah khas Asia Tenggara yang bentuknya buat kecil dan umumnya berwarna kuning keemasan. Â
Saya kemudian berjalan kembali menuju ke amfiteater dan kelompok ibu-ibu yang sedang senam bari saja selesai. Sebagian mulai mengelilingi seorang penjual makanan dan minuman kecil di salah satu undakan amfiteater. Â Tulisan besar Teras Cikapundung aada di dekat amfiteater ini seakan memberitahu pengunjung nama tempat ini.
Secara perlahan saya menaiki undak-demi undak amfiteater dan akhirnya sampai kembali di kaki lima jalan Siliwangi untuk melanjutkan jalan-jalan di Bandung. Mau ke mana? Kalau ke kiri ke arah Cieumbeleuit, atau ke kanan kembali ke  arah Dago?  Biarlah kaki yang melangkah, paling tidak dalam perjalanan pagi ini saya sudah tahu bahwa kata Kapundung itu sama dengan Menteng.  Jadi ingat dengan kawasan Menteng di Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H