Bulan April 2023 lalu, salah satu maskapai penerbangan Indonesia, Trans Nusa telah mulai mengoperasikan pesawat buatan Tiongkok, AJR 2i-700 dan membuka cakrawala baru dunia penerbangan Indonesia yang selama ini didominasi oleh pesawat buatan Amerika dan Eropa seperti Boeing dan Airbus. Â Walau dalam sejarah, Merpati juga pernah mengoperasikan pesawat buatan Tiongkok MA60 yang dianggap kurang sukses.
Pesawat AJR 21-700 buatan COMAC (Comercial Aircract Corportaion of China) ini memiliki spesifikasi 93 tempat duduk kelas ekonomi dengan konfigurasi 3-2 untuk setiap barisnya dan dianggap cocok untuk sebagian rute domestik di Indonesia.
Tetapi Tiongkok tidak berhenti di sini, akhir Mei 2023 lalu, pesawat COMAC yang lebih besar, yaitu C919, baru saja membuat penerbangan komersial perdana antara Shanghai dan Beijing dan dioperasikan oleh China Eastern Airlines dengan membawa lebih dari 130 penumpang. Â Konfigurasi tempat duduk pesawat anyar ini memiliki 8 kelas bisnis dan 156 kelas ekonomi.
Penerbangan komersial perdana ini sangat istiwewa karena memiliki nomer penerbangan MU9191 dengan pesawat yang memiliki regitrasi B-919A. Penerbangan selama kurang dari 3 jam itu diambut dengan meriah di Capital Airport di Beijing.
Penerbangan perdana C919 ini menandai era baru yang seakan-akan ingin mendobrak dominasi Boeing dan Airbus untuk pesawat narrow body sejenis A 320 dan B737. Â China Eastern sendiri telah memesan 5 pesawat C919 yang akan diserahkan dalam waktu dua tahun ini.Â
Pesawat C919 sendiri mempunyai sejarah yang cukup panjang dan berliku sebelum akhirnya beroperasi penuh secara komersial dan menurut berita telah menerima sekitar 1200 pesanan baik dari dalam negeri Tiongkok maupun luar negeri.Â
Program C919 dimulai pada 2008 dan produksi dimulai sejak 2011 serta pesawat prototipe pertama kali diluncurkan pada 2015dan penerbangan perdana sendiri telah dilakukan pada 2017 di Shanghai. Namun banyak kendala teknis dan  pemasok yang mengakibatkan banyak jadwal harus ditunda sampai akhirnya baru pada Mei 2023 ini pesawat di dioperasikan secara komersial oleh MU (China Eastern).  Selain MU banyak maskapai dalam negeri Tiongkok yang juga sudah memesan C919 seperti Air China, China Express Airlines, Sichuan Airlines, dan Hainan Airlines.
Konon selain maskpai dalam negeri Tiongkok, pesawat yang mempanyai daya jelajah sekitar 4000 hingga 5500 kilomter ini juga sudah dipertimbangkan oleh berbagai maskpai dari Afrika, seperti Nigeria Air. Â Â
Salah satu kendala yang menyebabkan jadwal pengoperasian C919 menjadi mundur adalah karena perang dagang antara Tiongkok dan Amerika Serikat yang menyebabkan banyak suku cadang pesawat yang harus diimpor dari Amerika Serikat menjadi terhambat. Sebagaimana diketahui, lebih dari 60 persen suku cadang dan bagian pesawat C919 ini memang dibuat di Amerika seperti mesin dan juga flight control dan komponen navigasi.Â
Dengan terbosan in, mampukah C919 mendobrak duopoli pesawat sekelas yang didominasi oleh Boeing dan Airbus. Tentunya tergantung kinerja pesawat dan juga harga serta biaya pengoperasian pesawat itu sendiri. Sebagaimana dikutip dari berbagai sumber harga Boeing 737 Max8 adalah sekitar 121 Juta Dollar sementara Airbus 320 Neo sekitar 110 Juta Dollar.Â
Lalu berapa harga C919? Menurut Bloomberg harga pesawat buatan Tiongkok ini dibandrol sekitar 99 Juta Dollar, jadi tidak terlalu berbeda dengan kedua pesawat buatan Amerika dan Eropa.
Selain itu pesawat C919 juga masih banyak memiliki tantangan. Â COMAC sendiri terus berusaha untuk mengurangi ketergantungan suku cadang dan bagian pesawat ini dari pemasok di luar negeri. Pesawat ini memiliki dua mesin CFM-LEAP 1 C yang dibuat oleh General Electric dari Amerika Serikat dan SAFRAN dari Perancis. Â Â
Namun Tiongkok yang memiliki ambisi besar untuk mengurangi ketergantungan dari luar negeri juga sedang mengembangkan engine buatan mereka sendiri. Saat ini ada engine CJ 1000 A yang dibuat oleh AEEC ( Aero Engine Corporation of China) di Shanghai yang diharapkan akan selesai pada 2025 mendatang.
Bukan hanya engine, Tiongkok juga berambisi untuk mengembangkan hampir semua bagian dan suku cadang pesawat C919 ini di dalam negeri sendiri. Â Namun dalam usaha tersebut, Tiongkok sering dituduh melakukan pencurian hak cipta dan teknologi yang dimiliki negara-negara barat.Â
Namun Tiongkok tampaknya tidak memusingkan tuduhan-tuduhan ini. Mereka akan terus mengembangkan teknologi pembuatan pesawat terbang agar tidak lagi terlalu tergantung pada Boeing dan Airbus.Â
Tentunya kita sendiri masih harus menunggu, apakah Tiongkok akan mampu melakukan hal ini mengingat industri aviasi secara historis memang dikuasai oleh negara-negara barat. Â Namun kita juga tidak boleh lupa, bahwa Tiongkok sendiri dalam waktu yang relatif singkat telah mampu mengembang teknologi kereta cepat yang pada awalnya juga dikembangkan dengan mencuri teknologi yang dimiliki Jepang dan negara-negara Eropa.
Kita tentunya tidak pernah lupa bahwa Indonesia sendiri pun pernah melakukan gebrakan untuk hadir dalam industri dirgantara dengan mengembangkan pesawat terbang rancangan dan buatan Indonesia. Kita masih ingat dengan pesawat N250 Gatotkaca. Sayang cita-cita itu terhambat dengan situasi ekonomi dan politik yang kurang mendukung pada masa itu.Â
Yuk kita tunggu apa yang akan terjadi dengan industri dirgantara sekitar tiga puluh tahun dari sekarang. Apakah Tiongkok mampu ikut bermain, ataukah dominasi Amerika dan Eropa akan tetap kokoh tidak tergoyahkan? Â Hanya waktu yang akan menjawab. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H