Dalam peta wisata Indonesia, nama Malioboro tentunya sudah sangat terkenal sebagai nama jalan utama di Yogyakarta. Tetapi ada nama lain yang mirip yaitu Fort atau Benteng Marlborough yang ada di Bengkulu. Â Sayangnya orang mungkin lebih mengenal nama ini sebagai salah satu merek rokok terkenal. Â Bengkulu yang sesungguhnya dekat memang terasa agak jauh karena keterasingannya selama ini. Â Ke sinilah kali ini saya datang dan berwisata untuk mengenal lebih banyak sejarah kisahnya yang menarik.
Hari sudah menjelang senja, sekitar pukul 5 sore ketika kendaraan kami tiba di kawasan sekitar Benteng Marlborough. Â Sebuah pintu gerbang khas Tiongkok dengan tulisan Kampoeng Cina menyambut. Ada ukiran dan patung berbentuk naga di pintu gerbang ini. Tapi tujuan kami tentu saja bukan ke Kampung Cina melainkan ke Benteng Marlborough yang ternyata letaknya bertetangga dengan Kampoeng Cina.
"Fort Marlborough, The Historical Heritage of British Colonization in Bengkulu (1714-1741)," demikian tertulis pada prasasti yang ada di dekat tempat parkir kendaraan roda dua. Di dekatnya juga banyak gerai pedagang kaki lima yang menjajakan makanan dan minuman dan juga buah-buahan.Â
Saya kemudian berjalan menuju ke benteng. Terasa sedikit menanjak dan ada sebuah pohon beringin besar sebelum jembatan yang membentang di atas parit untuk masuk ke benteng. Â Dari atas jembatan, tampak parit yang lumayan dalam namun kering tidak berair dan ditumbuhi rerumputan hijau yang asri. Tampak dinding benteng yang sangat tebal dan angkuh. Â Rupanya seperti kebanyakan benteng pertahanan di Eropa, benteng Marlborough ini memang dikeliling oleh parit dan hanya dapat diakses melalui jembatan yang dulunya bisa diangkat. Â Di salah satu jembatan inilah saya berdiri. Dari sini pula saya bia melihat ke salah satu sudut dinding benteng. Terlihat seorang anak lelaki yang sedang duduk di diinding dan terlihat kecil dibandingkan dengan megahnya dinding ini.
Memasuki  pintu gerbangnya yang atapnya berbentuk lengkung,  tepat di dinding ada beberapa nisan dengan tulisan berbahasa Inggris. Salah satunya bertuliskan ."Here Lies the Body of Henry Stirling, .......," Dijelaskan mengenai jabatan dan juga putra kesembilan dari John Striling dan meninggal pada 1 April 1744 pada usia 25 tahun.  Selain itu juga ada prasasti nisan Richard Watts, George Thomas Shaw, dan Kames Coney.  Menariknya semua meninggal pada paruh pertama abad ke XVIII dalam usia yang relatif masih muda.  Konon para serdadu Inggris yang dikirim ke Asia Tenggara termasuk Bengkulu memang kebanyakan meninggal dalam usia muda karena cuaca yang tidak cocok dan juga wabah penyakit.
Melewati pintu gerbang kita akan sampai ke sebuah halaman dan ternyata disambut lagi oleh tiga buah makam yang terbuat dari batu.  Di dinding ada tulisan nama-nama pemilik makam yaitu Charles Murray yang meninggal pada 7 Januari 1808, Residen Thomas Parr yang meninggal pada  23 Desember 1807 dan Robert Hamilton yang meninggal pada 15 Desember 1793. Â
Ketika memasuki benteng ini, baru saya tahu bahwa Thomas Parr adalah Residen Inggris di Bengkulu yang meninggal karena dibunuh orang tak dikenal pada peristiwa Mount Felix pada 23 Desember 1807. Sementara Charles Murray adalah pengawalnya yang juga turut terluka dan baru meninggal pada Januari 1808. Â Sementara Robert Hamilton adalah prajurit angkatan laut inggris yang juga terbunuh saat konflik dengan masyarakat lokal pada 1793.
Sehabis deretan makam ini adalah parit kedua dan jembatan untuk masuk ke bangunan utama benteng. Di atas pintu yang atapnya juga melengkung tertulis nama benteng yaitu Fort Marlborough. Â Memasuki pusat benteng, terdapat halaman dalam yang luas dan di kelilingi oleh bangunan-bangunan yang dulunya pernah digunakan sebagai perkantoran, Gudang senjata, Gudang rempah-rempah dan juga tahanan.Â
Sekarang sebagian ruangan tersebut dijadikan sebagai museum dimana kita dapat melihat dan mempelajari kembali sekelumit sejarah Bengkulu melalui Benteng ini. Â Menurut sejarah Inggris sendiri sudah masuk ke Bengkulu sejak akhir abad ke 17 yaitu sekitar tahun 1685. Ketika itu di Bengkulu terdapat berbagai kerajaan kecil yang sebagian diklaim sebagai wilayah Banten. Bengkulu sudah terkenal sebagai penghasil rempah-rempah , terutama lada . Â Â
Inggris kemudian mendirikan Benteng York yang ternyata seiring dengan berjalannya waktu tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan kegiatan mereka di Bengkulu dan akhirnya dpada tahun 1712 dimulai pembangunan Fort Malrborough ini. Â Nah di sini kita dapat melihat kilasan sejarah benteng Marlborough yang menjadi pusat administrasi kolonial Inggris sejak 1714 hingga 1824, ketika Bengkulu diserahkan ke Belanda dan ditukar dengan Malaka dan Singapura.
Pada salah satu display tertulis bahwa rakyat Bengkulu pun sudah beberapa kali melakukan perlawanan terhadap inggris seperti penyerangan terhadap benteng pada Maret 1719 ketika benteng ini dibakar habis. Selain itu juga dicatat peristiwa Mount Felix yang menewaskan Residen Thomas Parr pada 1807. Â Yang menarik juga adalah kutipan kata-kata yang penuh semangat perjuangan rakyat Bengkulu :
"Pisau bengkok makan sarung,
 Daripado idup becermin,
 lebih baik mati berkalang tanah.
Idak ilang biso ular,
Menyusup di bawah akar,
 Rajo adil raji disembah.
 Rajo zalim rajo disanggah,"
Saya kembali ke halaman tengah yang luas. Selain rerumputan hijau, tanaman dan pohon-pohon hias serta kursi-kursi batu, di sini dipajang puluhan Meriam yang berjejer rapi. Konon ada 72 meriam di halaman ini walau saya tidak sempat menghitungnya.Â
Saya kembali memasuki ruang pamer d sisi yang lain Di sini dijelaskan sekilas mengenai sejarah masuknya Inggris ke Bengkulu melalui perjanjian dengan Kerajaan  Selebar yang ditandatangani pada 12 Juli 1685.  Melalui perjanjian ini, Inggris mendapatkan legalitas untuk mendirikan benteng di Bengkulu. Dan Inggris pun bercokol hingga 140 tahun sampai akhirnya Belanda mulai berkuasa di Inggris.
Di sini juga terdapat diorama Bung Karno dan Residen Belanda C.E Meier yang sedang berdialog di Fort Marlborough. Â Bung Karno diminta oleh pemerintah Hindia Belanda untuk merancang tugu untuk mengenang penyerangan Jerman ke Belanda. Namun permintaan ini ditolak Bung Karno dengan halus dengan menyusu tiga buah batu yang bertumpuk .
Kembali ke halaman tengah dan menuju ke arah lain, terdapat pintu yang bertuliskan Kantor East India Company.  Kalu kita berjalan terus akan melewati jembatan dan menuju ke halaman luar benteng di sisi yang berlawanan dengan tempat  kita masuk tadi. Ternyata ini adalah pintu  benteng ini yang lokasinya lebih dekat dengan pantai Samudera Hindia.Â
Saya juga sempat naik ke salah satu sudut benteng yang berbentuk bastion atau selekoh. Kalau dilihat dari atas secara umum benteng ini memang berbentuk kura-kura dan bastion ini lah yang menjadi kaki kura-kura. Bastion ini pula yang menjadi pusat pertahanan dan di atasnya juga terdapat beberapa Meriam.  Dari atas bastion ini, saya dapat melihat dengan leluas ke jembatan dan juga samudera Hindia serta kerumunan orang yang ada di atas bastion lainnya.
Saya berjalan melewati jembatan dan melihat bagian benteng dari sisi yang dekat ke Samudra Hindia. Terlihat parit yang hijau dan di kejauhan tampak puncak pohon kelapa dan lautan yang luas. Â Uniknya di sudut lain juga ada orang-orang yang bersantai sambil menggelar tikar di parit ini. Tampak tiga orang anak sedang duduk santai sambil bermain.
Di sudut lain, saya juga dapat melihat Monumen Pers yang tugunya dihiasi dengan ornamen berbentuk Bunga Raflesia Arnoldi.  Oh ya di dalam museum saya juga sempat melihat sekilas kehidupan Sir Stanford Raffles serta kisahnya dengan bunga Raflesia Arnoldi serta kisah pilunya kehilangan banyak anak  yang harus meninggal di Bengkulu dalam usia sangat muda.
Demikian sekilas perjalanan menjelajah Fort Marlborough. Suatu perjalanan seakan-akan menembus waktu dalam berbagai periode. Â Yaitu 140 tahun di bawah East India Company (1685-1825), 115 tahun di bawah kekuasaan Belanda (1825-1940), dan kemudian sempat di bawah Jepang (1942-1945) hingga akhirnya masa kemerdekaan hingga saat ini.
Yuk mampir ke Bengkulu dan pelajari sejarah serta nikmati keindahan bumi Raflesia. Bengkulu sebenarnya sangat dekat hanya satu jam lebih sedikit terbang dan bila nanti Jalan Tol Trans Sumatra sudah selesai, akan lebih mudah lagi bagi kita berkunjung ke sana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H