Kota Semarang memiliki banyak tempat wisata religi yang terkenal. Selain Klenteng Sam Po Kong dan Masjid Agung Jawa Tengah, ada lagi sebuah vihara yang sangat cantik dan memiliki pagoda yang konon tertinggi di Indonesia.
Nama tempat ibadah umat Buddha ini adalah Vihara Buddhagaya Watugong, yang terletak di Jalan Perintis Kemerdekaan, kawasan Banyumanik. Yuk kita sejenak mampir ke sana.
Tepat di tepi jalan raya ada papan besar dengan lambang pagoda, mandala dan bertuliskan nama resmi vihara tersebut dengan tambahan "Di bawah binaan Sangha Theravada Indonesia," yang menunjukkan bahwa vihara ini dikelola oleh para bhikkhu aliran Theravada yang memang banyak dianut umat Buddha di Asia Tenggara.
Memasuki kompleks vihara yang luas, saya terkagum-kagum dengan keindahan serta rasa tenang yang ditawarkan. Terlihat sekali suasana yang memang sepi di siang hari itu.
Sebuah pintu gerbang atau gapura yang bentuknya cantik seakan mengucapkan selamat datang. Pada sebuah papan informasi ada penjelasan mengenai denah vihara secara umum.
Gerbang ini ternyata bernama Gerbang Sanchi, yang merupakan replika gerbang yang ada di depan Stupa Sanchi, yang ada di negara bagian Madhya Pradesh di India. Stupa ini merupakan salah satu bangunan suci yang penting di India sehingga ada pada lembaran uang kertas 200 rupee.
Tepat di depan gerbang Sanchi ini, ada sebuah batu andesit berukuran raksasa yang berbentuk gong. Konon dari batu inilah nama kawasan Watugong berasal.
Dari pintu gerbang Sanchi saya berjalan berbelok ke arah kiri dan bertemu dengan bangunan cantik bertingkat dua dengan atap bersusun yang di puncaknya terdapat hiasan berbentuk stupa.
Bangunan ini bernama Dhammasala yang merupakan bangunan pusat atau inti dari vihara ini. Di sini biasanya dilaksanakan puja bhakti, penahbisan samanera-bhikku dan juga menjadi tempat samadi.Â
Sementara di lantai bawah merupakan tempat yang berfungsi sebagai ruang serba guna. Saya sempat mengintip baik ruang utama di lantai atas maupun ruang di lantai bawah, tetapi siang itu memang sedang sepi dan tidak ada kegiatan apa-apa.
Perjalanan kemudian dilanjutkan menuju ke deretan bangunan berbentuk pondok yang disebut Kuti Samadhi. Pondok yang cantik dan dindingnya terbuat dari kayu ulin ini merupakan tempat kediaman para samanera -baikku dan juga tempat menginap umat yang sedang berlatih samadhi dan meditasi. Oh ya, samanera-bhikkhu sendiri memiliki makna calon bhikku.
Di sebelah pondok ini ada sebuah bangunan yang berfungsi sebagai perpustakaan dan tidak jauh dari sana ada lagi bangunan berlantai dua yang disebut Kuti Bhikkhu yang merupakan tempat tinggal para bhikku.
Saya terus berjalan dan kemudian melihat deretan tugu batu yang berjumlah delapan tiang yang berjejer rapi. Ini adalah Tugu Ariya Attangika Magga yang melambangkan delapan jalan kebenaran untuk menuju Nibanna atau kebahagiaan tertinggi.
Di dekat sini juga terdapat patung Buddha berwarna kuning keemasan yang sedang tidur. Ini adalah Buddha Parinibbana yang menggambarkan saat kematian Sang Buddha di antara dua pohon Sala.
Kemudian sampailah saya di depan pagoda yang menjadi ikon vihara ini. Pagoda yang bahkan sudah tampak dari kejauhan.
Ternyata pagoda ini bernama pagoda Avalokitesvara atau lebih terkenal dengan nama Dewi Kwan Im alias dewi Welas Asih. Pagoda berlantai tujuh ini memiliki arsitektur cantik dan bernuansa negeri Tiongkok.
Saya masuk ke dalam pagoda dan di dalamnya ada beberapa patung Dewi Kwan Im bernama Kwan Shi Im Po Sat. Uniknya baru dari dalam kita menyadari bahwa pagoda ini walau berlantai tujuh tetapi bolong atau kosong alias kita tidak bisa naik ke atas.Â
Menurut informasi pagoda ini memiliki ketinggian sekitar 45 meter dan merupakan pagoda tertinggi di Indonesia.
Di lantai bawah ini pula ada kantin kejujuran yang menjual berbagai minuman dingin yang sudah diberi harga. Tetapi tidak ada yang menjaga dan kita bebas mengambil minuman tersebut. Untuk membayar uang tinggal dimasukan ke dalam sebuah kotak berwarna merah.
Rasanya orang tidak akan tega mengambil minuman di sini tanpa membayar dan bahkan kebanyakan akan membayar lebih.
Turun dari pagoda dan kembali ke halaman, ada sebuah pohon besar yang mirip dengan beringin. Di bawah pohon terdapat patung Buddha berwarna emas.Â
Ternyata ini adalah pohon Bodhi yang merupakan hasil cangkokan dari pohon bodhi asli yang ada di Bodgaya, India, tempat sang Buddha mencapai Samyak Sambodhi atau menjadi Buddha pada tahun 588 sebelum Masehi.
Selain itu di halaman dekat pagoda ini juga terdapat beberapa pavilion atau gazebo cantik beratap susun dua. Pada atap ini ada hiasan berukir sepasang naga. Tiangnya empat buah yang juga dicat warna merah dan di lantai terhampar karpet dengan gambar motif mandala.
Masih di sekitar halaman terdapat patung kura-kura dengan parasati di punggungnya. Seperti saya pernah melihat di Makam kaisar Ming di pinggiran kota Beijing, kura-kura ini melambangkan panjang umur dan pada prasasti itu tertulis nama-nama donatur baik dalam aksara Hanzi maupun Latin.
Tidak jauh dari pohon Bodhi ini juga terdapat 3 patung dewa-dewa yang ada pada mitologi Tiongkok. Sayang saya tidak tahu namanya.
Selain itu juga terapan sebuah tugu berbentuk obelisk yang dinamakan Tugu Ashoka. Tugu ini merupakan replika Tugu Raja Ashoka yang ada di India dan hidup sekitar abad ke 4 sebelum Masehi. Konon tugu ini merupakan lambang keberagaman dan toleransi.
Dan di bagian tengah kompleks vihara ini ada sebuah lapangan yang kalau dilihat dari atas rancangan mirip dengan Mandala Candi Borobudur yang cantik dan megah.
Saya pun kembali ke titik awal perjalanan, yaitu gerbang Sanchi setelah berkelana di kompleks vihara dalam kesunyian yang menenteramkan hati.
Saya melirik jam tangan dan menyadari bahwa saya sudah berada di sini sekitar satu setengah jam.
Satu setengah jam hang membawa kedamaian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H