Walau pun begitu, kalau diperhatikan lebih lanjut lagi masjid atau langgar ini ternyata mempunyai sentuhan gaya Portugis, Tionghoa, dan juga Jawa serta Eropa. Â Ini mungkin masih dugaan saya pada awalnya yang ternyata kemudian terbukti ketika saya mencari referensi yang menyatakan bahwa dulu masjid ini disebut dengan nama Langgar Moor karena banyak orang keturunan Arab dan India yang datang dan menginap di bagian bawah yang dijadikan penginapan. Â Pengaruh Portugis atau Eropa terapat pada pilar-pilar besarnya, sedangkan pengaruh Tionghoa pada penyangga atapnya dan ternyata juga ada hiasan berupa cerobong asap di atap yang merupakan pengaruh Moor. Â Sedangkan pengaruh Jawa terdapat pada denah dan tata letak bangunan ini.
Menaiki tangga batu langgar ini, saya sampai di lantai atas yang memiliki semacam beranda yang suasana nya unik. Â Sebuah beranda bagaikan di sebuah gedung tua dengan tiang-tiang besar yang menawan. Â Dan kalau saya melihat ke seberang kali ke Jalan Tubagus Angke, terlihat pemandangan perkampungan khas Jakarta yang dari masa tempo dulu dengan pagar tepi kali yang dipenuhi jemuran pakaian.
Pintu masuk ke langgar tidak terlalu besar dan terbuat dari kayu jati warna coklat. Di sampingnya ada dua jendela kecil dan di pintu terdapat sebuah QR yang bisa dipindai untuk memberikan donasi kepada langgar ini. Â Di atap langit-langit pas di depan pintu ada sebuah lampu gantung yang bentuknya juga antik dan khas. Â Langit-langitnya lantai atas ini juga terbuat dari kayu dengan warna yang sama. Nuansa tempo dulu memang sangat terasa di masjid yang sudah berusia hampir dua abad ini.
Saya masuk ke ruang salat. Siang itu sepi dan sunyi. Lantainya terbuat dari kayu dengan warna cokelat yang sama dengan warna pintu dan jendela. Â Hanya sebagian lantai alias beberapa saf di bagian depan saja yang ditutupi deretan sajadah warna hijau kuning dan merah yang terlihat sudah agak sedikit kusam.
Lampu di ruangan dalam juga sedang dimatikan namun pencahayaan masih bisa masuk melalui jendela-jendela kayu ukuran besar yang ada di kedua sisi dinding masjid baik yang menghadap ke jalan maupun Kali Angke.
Mihrab masjid ini tampak sederhana dengan lengkungan yang cantik dan di atasnya ada hiasan bertuliskan Dua Kalimat Syahadat.  Selain itu ada dua buak lampu antuk kecil mengapit mimbar dan sebuah jam dinding.  Sementara mimbar terbuat dari kayu  dan berukiran gaya Palembang yang cukup cantik dan ternyata didatangkan dari Palembang pada 1859 ketika masjid ini direnovasi oleh Kapitan Arab yang Bernama Said Naum.Â
Sekitar 15 menit saya berada di dalam ruangan masjid dan kemudian keluar ke beranda, menikmati kembali suasana jadoelnya sambil mencari informasi tambahan mengenai masjid ini. Â Uniknya lagi ketika saya mencoba mencocokkan tahun 1249 Hijriah, ternyata tahun 1249 Hijriyah itu bertepatan dengan tahun 1833 dan 1834 Masehi. Sehingga sudah pasti informasi yang ada di papan nama masjid itu ada kesalahan sedikit.