Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen - Dosen , penulis buku travelling dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Tradisi Pilihan

Salat Tarawih dengan Imam Bergiliran di Masjid Lautze

29 Maret 2023   16:28 Diperbarui: 29 Maret 2023   19:17 1368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masjid Lautze, nama ini sudah saya kenal sejak beberapa dekade yang lalu, namun baru kali ini saya sempat menyambanginya bersama dengan Festival Kebinekaan yang dibawakan oleh Wisata Kreatif  Jakarta. 

Dari luar, bangunan masjid ini tampak unik karena sebenarnya sama dengan bangunan di sekitarnya yang merupakan rumah toko berlantai empat yang berada di Jalan Lautze, kawasan Sawah Besar, Jakarta. Yang membedakannya adalah ornamen dan hiasan serta cat bangunan yang meriah dengan kombinasi warna merah kuning dan tambahan genteng mirip kelenteng Tionghoa.

Tampak depan: Dokpri
Tampak depan: Dokpri

Karena kebetulan bersamaan waktunya dengan makan siang, saya memulai kunjungan di masjid ini dengan makan Bakmi yang ada di depan masjid. 

"Penjualnya adalah seorang mualaf yang Bernama Ko Ahui," demikian jelas Mbak Ira kepada kami.  Ternyata bakmi Ko Ahui ini lumayan lezat dan istimewa.   

Gerai Bakmi : Dokpri
Gerai Bakmi : Dokpri

Saya kemudian masuk ke dalam ruangan masjid di lantai satu.  Nuansa Tionghoa yang lebih mirip kelenteng langsung menyambut. Warna karpet yang hijau dengan garis kuning, deretan pilar bukat warna hijau serta dinding di dekat mimbar dan mihrab yang dominan warna merah serta hiasan dan ornamen yang khas Tionghoa memberikan suasana yang unik.  Di mihrab juga ada dua lukisan kaligrafi khas Tionghoa yang cantik.   Pada mimbar yang terbuat dari kayi ada lambang Yayasan Haji Karim Oey juga dengan kombinasi warna merah hijau dan kuning emas.

Dinding merah itu diberi hiasan berupa stempel khas Tionghoa berbentuk bujur sangkar Namun kalau kita lebih teliti, ternyata merupakan lafaz Allah dalam huruf hijaiah yang harus dibaca dengan memutar posisi masing-masing 90 derajat.   Di dinding sebelah kanan masjid yang warnanya kuning emas dihias bentuk relung dan di dalamnya dipajang lukisan kaligrafi khas Tionghoa.  

Kaligrafi Tionghoa: Dokpri
Kaligrafi Tionghoa: Dokpri

Ada yang bertuliskan Basmalah, Kalimat syahadat, Hamdalah, dengan bentuk sederhana dan hanya goresan kuas khas Tionghoa yang unik. Di bagian dinding belakang juga ada kaligrafi dengan kalimat syahadat yang berbentuk persegi panjang dan sekilas mirip perahu. 

Tempat wudhu masjid ini juga unik karena dindingnya dilapisi keramik warna merah yang memberikan kesan sebuah kelenteng, Di bagian lain ada tangga untuk menuju ke lantai atas dan rak sandal atau sepatu yang berwarna hijau.

Uniknya di dinding ada sebuah white board berisi informasi statistik mualaf yang masuk Islam di masjid ini sejak 1997 hingga 2022 dan kolom tahun hingga 2040. 

"Data Pengislaman Masjid Lautze, Yayasan Haji Karim Oei. Juga ada data bulanan khusus untuk tahun 2023 ini.   Berdasarkan data ini dapat dilihat jumlah mualaf yang setiap tahun berfluktuasi dari 31 orang pada tahun 2003 hingga 104 pada 1997.  

Teras Sehat: Dokpri
Teras Sehat: Dokpri

Saya kemudian menyempatkan diri ke luar masjid dan melihat sebuah prasasti yang menyatakan bahwa masjid ini diresmikan oleh BJ Habibie pada 4 Februari 1994. Pada waktu itu Habibie menjabat sebagai ketua umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia.   DI sini juga ada papan nama Teras Sehat, yaitu klinik Kesehatan yang dikelola oleh Baznas dan memberikan pengobatan gratis buat warga sekitar. 

Di sini pula saya sempat memperhatikan bahwa pintu masjid ini sangat has Tionghoa dengan warna merah dan ornamen berbentuk bulatan merah  yang dikelilingi lingkaran warna kuning emas. Pintu ini mengingatkan saya akan salah satu pintu yang ada di Forbidden City di Beijing.    Di depan masjid ini pula saya sempat berkenalan dan ngobrol dengan Ko Ahui, pemilik bakmi bakso tadi.  Juga ada salah seorang temannya yang juga serang mualaf.   Ko Ahui ini konon sudah masuk Islam sejak lama yaitu sekitar tahun 2001. 

Ko Ahui dan seorang teman: Dokpri
Ko Ahui dan seorang teman: Dokpri

Ketika kami masuk ke dalam masjid Ko Ahui juga bercerita sedikit mengenai salah satu gambar kaligrafi yang sangat berkesan pada dirinya. Yaitu kaligrafi yang bertuliskan Waliyullahuttaufiq yang bermakna Allah memberi petunjuk.  Menurut Ko Ahui gambar ini sangat  sangat menginspirasi dirinya.

Kaligrafi: Dokpri
Kaligrafi: Dokpri

Mbak Ira Latief sendiri kemudian menceritakan secara singkat sejarah masjid ini, yang didirikan oleh Yayasan Haji Karim Oey yang dimotori oleh Haji Ali Karim, putra Haji Karim Oey dan beberapa tokoh NU, Muhammadiyah dan juga ICMI dengan tujuan memperkenalkan Islam di kalangan warga Tionghoa. Karena itu interior dan masjid dibuat dengan nuansa Tionghoa dan mirip kelenteng agar warga yang baru masuk Islam menjadi lebih nyaman. Konon sosok Haji Karim Oey sendiri merupakan sosok tokoh bangsa yang juga sahabat Bung Karno dan Muhammadiyah di Bengkulu. Beliau sudah meninggal pada tahu 1988. 

Tidak lama menunggu, salah seorang pengurus masjid yaitu Pak Yusman datang menemui kami. Beliau kemudian banyak bercerita mengenai kegiatan di masjid dan juga fasilitas yang ada di sini. Kami juga kemudian diundang untuk melihat lantai dua yang merupakan ruang salat untuk perempuan, Lantai 3 yang menjadi perkantoran dan lantai empat yang sering digunakan untuk aula dan juga tempat Jemaah belajar membaca Al-Quran.

Pak Yusman: Dokpri
Pak Yusman: Dokpri

Menurut Pak Yusman, masjid ini sangat unik karena hanya buka di siang hari, yaitu disesuaikan dengan kegiatan buka toko dan kantor di kawasan sekitar.  Hal ini dikarenakan Jemaah masjid ini pada umumnya tinggal jauh dari masjid dan yang mampir salat kebanyakan orang-orang yang kebetulan lewat saja. 

Namun ketika membahas mengenai kegiatan di bulan puasa, masjid Lautze juga mengadakan salat tarawih yang hanya di adakan setiap akhir pekan saja., yaitu pada Sabtu malam.    Akan tetapi, pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan, masjid ini juga mengadakan itikaf sehingga terus dibuka.

Uniknya adalah imam untuk salat tarawih di masjid ini dilakukan secara bergantian setiap dua rakat dan para mualaf yang didorong untuk menjadi imam agar mereka lebih giat belajar. Sedangkan untuk yang bukan mualaf tentunya juga akan termotivasi untuk berani menjadi imam.

Uniknya lagi adalah ketika ditanya apakah Pak Yusman ini juga seorang mualaf. Sambil tersenyum beliau menjawab bahwa dia berasal dari Palembang dan bukan etnis Tionghoa, kebetulan penampilannya memang mirip.

Setelah sejenak berbincang-bincang, Pak Yusman mohon pamit dan kami kemudian melanjutkan perjalanan ke beberapa masjid Tionghoa lainnya yang ada di Jakarta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Tradisi Selengkapnya
Lihat Tradisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun