Destinasi kedua dalam lawatan ke Pulau Madura hari itu adalah berkunjung ke Pasarean Aer Mata Iboe yang berlokasi di desa Buduran, Kecamatan Arosbaya, masih di Kabupaten Bangkalan. Â Dari Bukit Jaddih, perjalanan sejauh sekitar 27 kilometer ditempuh alam waktu satu jam lebih sedikit. Sebagian jalan kurang baik dan sebagian besar jalan cukup baik terutama ketika melewati kawasan Kota Bangkalan. Â Perjalanan menuju Arosbaya ini cukup menarik karena melewati kawasan yang sering banjir, terbukti dengan adanya rambu lalu lintas bergambar banjir.
Siang itu, suasana di tempat ziarah ini cukup ramai, terbukti dengan ramainya tempat parkir baik roda empat maupun roda dua. Kami beruntuk mendapat tepat parkir tidak jauh dari pintu gerbang. Dan di sini, kembal banyak dijumpai lelaki yang berbusana sarung dan peci sebagaimana di tempat-tempat lain di Madura pada umumnya.Â
"Pasarean Aer Mata," Â tertulis nama tempat ini di atas gapura yang dicat dengan kombinasi warna hitam putih. Â Tepat di belakang gapura, langsung terlihat deretan anak tangga yang menyambut siapa pun yang berziarah. Bahkan di kedua sisi pagar jalan banyak terpasang umbul-umbul warna hijau kuning emas dan putih yang juga bertuliskan Pasarean Aer Mata Ibu.
Setelah berjalan beberapa puluh meter ada lagi pintu gerbang kedua. Namun sebelumnya kami sempat berhenti sebentar di sebuah warung untuk membeli berbagai minuman dingin. Â Ketika membeli minuman ini, tiba-tiba saja serombongan pengemis yang terdiri dari ibu-ibu, anak-anak remaja dan anak kecil langsung menyerbu. Â Salah satu yang menarik adalah para pengemis ini terus mengikuti setiap penziarah sampai akhirnya mendapatkan sekedar uang. Â Mereka benar-benar pantang menyerah.
Gapura kedua ukurannya lebih kecil dan tampak lebih antik dengan arsitektur yang khas dengan pintu berbentuk lengkung dan atap memiliki mahkota bersusun tiga. Â Sebuah spanduk besar bertuliskan Selamat Datang di Haul Akbar Syarifah Ambami terpasang gagah di depan gapura ini. Â Haul Akbar ini sendiri diselenggarakan pada 16 Maret 2023.
Melewati pintu gerbang ke dua, di sebelah kiri ada sebuah prasasti yang memperingati pemugaran situs makam ini pada 28 Maret 1987 dan ditandatangani oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada masa itu yaitu Prof DR Fuad Hassan. Â Â Saya berjalan terus dan kali ini melewati sebuah pendopo dengan atap yang khas yang disebut Pacenan dan memiliki ekor yang berbentuk tanduk. Â Atap ini membuktikan adanya pengaruh Cina pada arsitektur tradisional Madura. Â Di halaman sekitar sini ada banyak makam-makam kuno yang merupakan makam abdi dalem raja-raja Madura zaman dahulu.
Setelah melewati pendopo, di sisi kiri ada sebuah papan informasi mengenai sejarah makam Aer Mata Iboe ini. Disebutkan bahwa makam ini memiliki hiasan atau dengan motif corak Hindu Buddha Klasik pada gunongan, nisan dan jirat. Â
Juga dijelaskan bahwa disini dimakamkan Kanjeng Ratu Syarifah Ambami yang merupakan isteri Pangeran Cakraningrat I dan juga berbagai raja atau pangeran Madura keturunannya.
Saya berjalan terus dan kembali melewati gapura yang tampak lebih kuno dan lebih mirip dengan gapuran dari era zaman Majapahit atau pun raja-raja Mataram di Kotagede. Â Untuk masuk ke kompleks makam utama ini, alas kaki harus dilepas dan kemudian kita sampai di cungkup atau pendopo pertama.
Ukurannya cukup luas dan di dalamnya banyak terdapat makam dan nisan para bangsawan Madura. Â Ada sebuah papan yang menjelaskan silsilah raja-raja Madura bahkan sejak dari Prabu Siliwangi. Â Â Selain tiap makam yang ada nama dan tahun, juga ada papan besar berisi denah makam.Â
Namun makam Ratu Iboe atau Ratu Ebhu terletak di bangunan cungkup yang lain yang letaknya lebih tinggi dari cungkup yang pertama. Â Saya berjalan lagi dan melewati halaman yang juga dipenuhi dengan makam-makam yang lebih kecil namun tampak sudah berusia ratusan tahun.
Kebetulan pada saat itu ada rombongan penziarah yang sedang melantun dzikir dan doa-doa. Mereka duduk bersimpuh di sekitar makam Ratu Ebhu yang nisannya dikelilingi pagar. Â Yang juga menarik di tempat ini, adalah ada orang yang menjual air dalam kemasan 1,5 liter yang dijual seharga 5 ribu rupiah Air ini diambil dari sendang atau mata air yang konon tidak pernah kering walau di musim kemarau sekalipun. Air ini bahkan dianggap sangat berkhasiat untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit. Pada umumnya penziarah akan membawa pulang air suci ini.
Setelah sejenak melihat;lihat makam Ratu Iboe saya kembali keluar makam utama dan lalu menuruni anak tangga menuju ke sumber mata air. Â Kita harus berjalan sekitar 5 menit dan kemudian sampai ke sebuah bangunan tempat terdapat sebuah sumur yang menjadi mata air.
 Di sini juga ada kios yang menjual Minyak Kamandanu yang dipajang dalam kemasan botol kecil.  Minyak ini juga dipercaya bisa mengobati berbagai penyakit seperti pegal-pegal, encok, hingga jerawat dan sakit gigir serta asam urat.
Di sebelah kanan tangga yang menurun menuju sumber mata air ini terdapat sebuah masjid yang cukup megah. Di depannya ada sebuah warung dan kami sempat memesan rujak Madura yang mirip dengan gado-gado atau pecel. Â Harganya satu porsi juga relatif murah, yaitu 10 Ribu saja.
Di sini saya sempat bertanya kepada ibu penjual rujak mengenai siapa kah sosok Ratu Iboe dan mengapa tempat ini disebut dengan Aer Mata.
Ternyata ada kisah dan sejarah yag cukup menarik yang merupakan gabungan antara legenda dan juga sejarah.
Kanjeng Ratu Iboe atau Syarifah Ambami sebenarnya adalah istri Raden Praseno yang kemudian menjadi Pangeran Cakraningrat I. Â Kisahnya dimulai dengan penaklukan Sultan Agung dari Mataram atas raja-raja Madura dan hanya menyisakan Raden Praseno dari Arosbaya yang kemudian dijadikan tawanan oleh Mataram. Â Nasib kemudian membawa Raden Praseno menjadi orang kepercayaan Sultan Agung dan kemudian diangkat menjadi Raja Madura sebagai Pangeran Cakraningrat I pada 1624.
Demikianlah Pangeran Cakraningrat, walau menjadi raja di Madura, namun lebih sering bertugas di Mataram yang mengakibatkan ratu Iboe atau Syarifah Ambami merasi sedih karena sering ditinggal suami. Â Dalam kesedihannya Ratu Iboe kemudian memilih untuk bertapa di Buduran. Â Dalam pertapaannya ini beliau berdoa agar suaminya tetap sehat dan kelak tujuh turunannya data berkuasa di Madura. Â Beliau juga bermimpi bertemu Nabi Khaidir dan memeroleh khabar bahwa doanya dikabulkan sehingga Ratu Iboe dengan senang kembali ke Sampang.
Tidak berapa lama kemudian Pangeran Cakraningrat I juga kembali ke Sampang dan dengan gembira ratu ibu menceritakan kisah tentang pertapaan dan mimpi serta doanya. Â Namun Cakraningrat I malah merasa kecewa ketika mengetahui bahwa Ratu Iboe hanya berdoa sampai 7 turunan saja.Â
Melihat kekecewaan suaminya Ratu Ibu merasa sangat sedih dan ketika suaminya kembali ke Mataram, Ratu Iboe pun kembali melanjutkan pertapaan di Buduran. Beliau memohon agar kesalahan dan dosa terhadap suaminya bisa diampuni dan beliau terus menangis dan menangis sehingga air matanya mengalir memenuhi tempat pertapaan dan kemudian membentuk sendang atau mata air. Â Dan mata air it uterus ada dan todak pernah kering hingga sekarang, beberapa ratus tahun kemudian.
Dan di kompleks makam ini kemudian terbukti dimakamkan juga tujuh turunan raja-raja Madura.
Wah lumayan menarik juga kisah tentang Aer Mata Iboe ini.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H