Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen - Dosen , penulis buku travelling dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Patung Acraki, Taman Sari, dan Rumah Poerwadarminta

21 Maret 2023   10:02 Diperbarui: 21 Maret 2023   10:08 519
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi tadi saya kembali jalan-jalan di kawasan Taman Sari, Ngasem, Kraton , hingga Kauman.   Dalam perjalanan kembali dari Kauman, saya melewati Jalan Ngasem dan melihat pintu gerbang Pasar Ngasem yang melengkung cantik dengan latar belakang reruntuhan Pulo Kenanga di Kompleks Taman Sari yang penuh misteri.

Los di pasar Ngasem: dokpri
Los di pasar Ngasem: dokpri

Walau sudah sering mampir ke sini, tidak terasa kaki melangkah menyebrangi Jalan Polowijan dan kemudian masuk melewati pintu gerbang itu.  Karena masih pagi , suasana pasar cukup ramai dengan pembeli.  Di bagian kiri ada kios dan toko untuk souvenir dan juga gerai makanan yang sering saya kunjungi. Termasuk gerai  Wedang Sampah yang pernah saya ceritakan sebelumnya.  

Di sebelah kanan, ada los yang menjual berbagai jenis pakaian. Namun ada juga yang menjual kue apem yang dibuat dari tepung beras.  Saya sempat mampir dan membeli  empat potong apem sehraga 3.500 buah.  

Sambil menenteng plastik berisi kue apem saya kembali melanjutkan perjalanan di pasar Ngasem.   Di tengah pasar ada sesuatu yang baru. Sesuatu yang belum ada ketika saya berkunjung terakhir kali beberapa bulan lalu.   

Patung Acraki:dokpri
Patung Acraki:dokpri

Sebuah patung perempuan penjual yang berpakaian  kain kebaya sedang duduk bersimpuh sambil meracik jamu.

Kebaya yang dipakai warna abu-abu gelap dengan motif bunga kombinasi warna biru muda, biru langit dan merah dadu.  Perempuan setengah baya ini tampak anggun dengan kain warna coklat muda berhiaskan gambar burung Merak dan bunga.  Rambutnya yang berkonde juga memberikan nilai lebih tersendiri.  

Sebuah bakul berisi enam botol jamu ada di salah kanan perempuan ini, kain ambin yang digunakan untuk menggendong bakul bersandar di bahu sebelah kiri, warnanya garis/garis hitam putih.
Tangan kanannya memegang botol yang sedang menuangkan jami ke sebuah mangkuk yang dipegang di tangan kiri. Sebuah ember warna merah yang biasa digunakan untuk mencuci gelas ada di depan sebelah kiri.

Sebuah prasasti ada di bawah patung menjelaskan bahwa ini adalah Monumen Patung Craki.
Di atasnya adalah lambang Universitas Gadjah Mada dan angka 73 yang melambangkan Dies Natalis Ke 73 pada Desember 2022 lalu.  

"Monumen ini dibangun sebagai apresiasi UGM kepada para peracik jamu tradisional yang senantiasa menjaga warisan leluhur yang sangat berharga. Terima kasih wahai para penjaga budaya bangsa," demikian cuplikan ada prasasti.

Cafe taman sar: dokpri
Cafe taman sar: dokpri

Saya terus berjalan ke arah selatan (mengetahui arah mata angin adalah kiat ampuh untuk tidak tersesat di Yogya), dan tiba si Plasa Ngasem, sebuah panggung terbuka dengan rancangan tempat duduk mirip amfiteater zaman Romawi.  

Di sini ada sebuah papan informasi dalam bahasa Belanda dan Perancis mengenai Cafe Taman Sari yang ada tepat di belakang pasar Ngasem ini.  Anehnya tidak ada terjemahan informasi ini baik dalam bahasa Inggris maupun Indonesia.

Langlang saya di Ngasem berlanjut dengan melewati Kampungi Taman yang lokasinya beririsan dengan kompleks Taman Sari.  

Pulo Kenanga: dokpri
Pulo Kenanga: dokpri

Di sini, rumah-rumah penduduk seakan-akan berebut lahan dengan reruntuhan dan sisa bangunan Taman Sari dalam suatu harmoni  yang misterius.

Tanan sari: dokpri 
Tanan sari: dokpri 

Halaman rumah, ruang tamu dan bahkan kamar mandi penduduk bisa berdampingan dengan damai dengan menara pandang tembok baluwarti, atau tangga dan gapura kompleks pelesiran para sultan Yogya dibangun sekitar seperempat milenia lalu itu. Walau sudah sering berkelana di sini, kadang-kadang saya masih menemukan jalan pintas dan kejutan-kejutan yang mengasyikan. Sekali lagi mengenal mata angin membuat saya tidak pernah tersesat dalam labirin yang penuh daya sihir ini.

Mural: dokpri
Mural: dokpri

Akhirnya saya muncul di sebuah lorong di antara dinding rumah penduduk dan tembok taman sari.  Di tembok ini ada mural hitam putih dengan lukisan yang penuh makna tentang Situs bersejarah ini.
Ada gambar naga berkepala dua bagian bangunan taman sari dan juga tulisan angka tahun 1765, bunga kenanga, cemeti dan kuga raja naga tetenger.

Dari sini tinggal menyusuri lorong dan kemudian berbelok ke kanan untuk sampai ke jalan pintu masuk utama Taman Sari dimana terdapat Masjid Soko Tunggal.
Dan saya kemudian menyebrang Jalan Taman untuk masuk ke Gang Pahlawan Abdulhadi.

Rumah Poerwadarninta: dokpri 
Rumah Poerwadarninta: dokpri 

Di sebelah kanan jalan tepat di ujung jalan, ada sebuah rumah tua dengan halaman yang cukup luas.  Sekilas rumah ini sepertinya lebih banyak tertutup dan kondisinya kurang terawat.

Namun yang menarik adalah di dekat pintu rumah ada sebuah kotak pos dan juga papan nama pemilik rumah.

"w.J.S. Poerwadatminta," demikian tertulis pada papan nama yang menunjukan pemilik rumah.
Sejenak, ruang-ruang memori dalam benak saya berputar cukup lama. Nama ini tidak asing namun sudah lama tersimpan dalam bank data.

Pembaca, siapakah dia?  Nagi generasi milenial, mungkin tidak ada yang mengenal nama ini. Namun bagi yang bersekolah menengah pada sekitar 1970-80 an atau generasi sebelumnya, minimal pernah memiliki atau meminjam kamus karya beliau.
Beliau adalah seorang ahli bahasa yang menulis berbagai kamus dan sangat kondang namanya pada saat itu.  

Ternyata  WJS atau Wilfredus Joseph Sabarija Poerwadarninta yang juga dijuluki Bapak Kamus Indonesia ini merupakan putra kelahiran Yogyakarta pada 1904 dan ayah beliau merupakan abdi dalem Kraton yang bekerja sebagai gamel atau pengurus kuda.

Beliau meninggal pada 1968 dan banyak sudah karya monumental Poerwadarninta termasuk KUBI atau Kamus Umum Bahasa Indonesia.
Siapa sangka rumah beliau di gang Abdul Hadi ini sering sekali saya lewati, namun baru tadi pagi saya sadar bahwa rumah tua yang masih terlihat keren oti adalah rumah kediaman sang maestro kamus.
Setiap perjalanan, walau hanya melangkahkan kaki tidak terlalu jauh, ternyata banyak mengungkap fakta yang menarik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun