"Monumen ini dibangun sebagai apresiasi UGM kepada para peracik jamu tradisional yang senantiasa menjaga warisan leluhur yang sangat berharga. Terima kasih wahai para penjaga budaya bangsa," demikian cuplikan ada prasasti.
Saya terus berjalan ke arah selatan (mengetahui arah mata angin adalah kiat ampuh untuk tidak tersesat di Yogya), dan tiba si Plasa Ngasem, sebuah panggung terbuka dengan rancangan tempat duduk mirip amfiteater zaman Romawi. Â
Di sini ada sebuah papan informasi dalam bahasa Belanda dan Perancis mengenai Cafe Taman Sari yang ada tepat di belakang pasar Ngasem ini. Â Anehnya tidak ada terjemahan informasi ini baik dalam bahasa Inggris maupun Indonesia.
Langlang saya di Ngasem berlanjut dengan melewati Kampungi Taman yang lokasinya beririsan dengan kompleks Taman Sari. Â
Di sini, rumah-rumah penduduk seakan-akan berebut lahan dengan reruntuhan dan sisa bangunan Taman Sari dalam suatu harmoni  yang misterius.
Halaman rumah, ruang tamu dan bahkan kamar mandi penduduk bisa berdampingan dengan damai dengan menara pandang tembok baluwarti, atau tangga dan gapura kompleks pelesiran para sultan Yogya dibangun sekitar seperempat milenia lalu itu. Walau sudah sering berkelana di sini, kadang-kadang saya masih menemukan jalan pintas dan kejutan-kejutan yang mengasyikan. Sekali lagi mengenal mata angin membuat saya tidak pernah tersesat dalam labirin yang penuh daya sihir ini.
Akhirnya saya muncul di sebuah lorong di antara dinding rumah penduduk dan tembok taman sari. Â Di tembok ini ada mural hitam putih dengan lukisan yang penuh makna tentang Situs bersejarah ini.
Ada gambar naga berkepala dua bagian bangunan taman sari dan juga tulisan angka tahun 1765, bunga kenanga, cemeti dan kuga raja naga tetenger.