Pagi itu, sebagian anggota Clickompasiana yang masih tersisa di Yogya melanjutkan jalan-jalan ke berbagai tempat yang menarik. Salah satunya adalah mampir ke Museum Sasmita Loka yang merupakan tempat kediaman Panglima Besar Sudirman di jalan Bintaran Wetan no 3 Yogya sejak 1945 hingga 1948.
Kalau pada kunjungan pertama dulu, saya berjalan kaki sendirian ke tempat ini dan menikmati isi museum dalam kesunyian, kali ini kami memakai kendaraan dan dipersilahkan masuk ke dalam halaman yang cukup luas oleh petugas yang berjaga.Â
Setelah mendaftar di buku tamu, kami masing-masing  berpencar dalam beberapa kelompok dan melihat-lihat atau membuat foto di tempat yang kami sukai.  Saya sendiri lebih suka melihat tempat atau koleksi yang belum sempat saya lihat pada kunjungan pertama.  Di ruang tamu saya kembali memerhatikan uang kertas seri Sudirman yang dipamerkan dalam bingkai kaca lengkap dari Satu Rupiah hingga 10 ribu Rupiah. Uniknya  ada uang kertas dua setengah rupiah. Uang kertas ini mengingatkan saya akan masa kecil dahulu.
Di salah satu sudut museum tempat koleksi buku-buku dimana dipajang banyak literatur mengenai Tentara Nasional Indonesia. Salah satu nya satu seri buku mengenai Pak Harto.yang terdiri dari dua pulih jilid.
Saya kemudian berkenalan dengan seorang petugas museum yang tampak ramah dan memakai kaos tentara. Beliau kemudian menemani kami berkeliling museum dan menjelaskan berbagai kisah dan cerita dibalik benda-benda dan koleksi yang ada.Â
Di ruang tengah, selain sebuah radio jadoel, saya sempat memperhatikan lukisan Panglima Sudirman yang sedang berkuda dan memeriksa pasukan dan juga lukisan ketika beliau sedang melakukan gerilya dan ditandu melewati suatu kawasan pegununangan.
Di ruang Diorama , yang dulu hanya sekilas saya lihat, Pak Suyadi, demikian nama petugas itu, bercerita tentang kisah di balik diorama yang ada. Misalnya tentang diorama ketika Agresi Militer Belanda ke II pada 19 Desember 1948 dan Pak Dirman sedang berbincang-bincang dengan Bung Karno di teras rumah ini.Â
Ketika mendengar suara dentuman keras akibat serangan Belanda, anak buah melaporkan bahwa itu hanya Latihan. Namun Pak Dhe alias Panglima Sudirman mempunyai naluri yang tajam dan segera memutuskan untuk ikut bergerilya selama 7 bulan untuk melawan dan tidak menyerah kepada Belanda. Â Walaupun keadaan kesehatannya kurang baik karena kondisi paru-paru beliau.Â
Dalam diorama lainnya digambarkan beliau sedang berada di sekitar pegunungan Wilis dan tiba-tiba saja Belanda menyerang. Namun ketika mendapat laporan dari anak buahnya beliau tenang-tenang saja dan kemudian berdzikir. Â Ternyata kemudian cuaca berubah menjadi hujan lebat sehingga Belanda tidak bisa melanjutkan serangan dan beliau serta pasukannya selamat.
Demikian Panglima Sudirman bergerilya hingga 10 Juli 1949 dan kemudian dijemput dengan sebuah kendaraan Chevrolet yang hingga kini masih ada dan dipamerkan di ruangan lain di bagian belakang museum ini. Â
Kami kemudian mampir juga ke ruang Sobo dan Pacitan di bagian timur sebelah selatan bangunan museum. Di sini dipamerkan perlengkapan sehari-hari yang pernah dipakai oleh Panglima Besar Sudirman ketika melakukan gerilya. Ada alat-alat makan sederhana. Dan juga bahkan lemari dan tempat tidur dari kayu. Konon barang-barang ini disumbangkan oleh rakyat yang sempat menyimpan untuk dipamerkan menjadi koleksi museum.
Di bagian utara ada sebuah ruangan yang disebut Ruang Panti Rapih. Â Di sini kita dapat melihat display ketika panglima Sudirman dirawat di Rs Panti Rapih dalam rangka operasi paru-paru yang dilaksanakan pada Okober 1948, sekitar dua bulan sebelum agresi militer Belanda pada Desember 1948.
Menurut pak Suyadi beliau memang merupakan sosok yang hebat dan dikagumi baik oleh tentara dan rakyat Indonesia, namun akhirnya takdir dan kondisi kesehatan pula yang menyebabkan beliau harus meninggalkan kita semua pada 29 Januari 1950 di Magelang. Â Beliau meninggal dalam usia masih sangat muda belia yaitu 34 tahun. Beliau kemudian dimakamkan di Taman Pahlawan Semaki di Yogyakarta.
Kita semua sekarang masih bisa melihat dan menyaksikan sebagian kisah hidup dan semangat yang tidak pernah menyerah yang diwariskan Panglima Sudirman di rumah yang kini menjadi Museum Sasmita Loka ini.
Dan di sini pula kita dapat mengetahui bahwa beliau memiliki nama panggilan Pak Dhe sebagai nama sandi agar tidak mudah ditemukan Belanda ketika perang gerilya. Maklum di Jawa tentu sangat banyak sosok yang dipanggil Pak Dhe. Namun Pak Dhe yang satu ini memang sangat istimewa. Beliau adalah pahlawan yang harus dikenang dan diterus diteladani oleh generasi muda pada khususnya dan  segenap bangsa Indonesia pada umumnya.
Setelah sekitar 1 jam berada di museum ini, kami kemudian mengucapkan terima kasih kepada para petugas museum yang telah menyambut dengan baik dan ramah dan melanjutkan jalan-jalan ke tempat lain di Yogya yaitu Situs Warung Boto.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H