Senja menjelang malam,  ketika rombongan Click Goes to Yogya mampir ke  resto atau Cafe yang menyediakan  wedang, bakmi jawa kudapan tradisional dan tentu saja kopi. Namanya Kopi Lumbung Mataram.
Lokasinya masih di kotamadya Yogyakarta yaitu di kawasan Purbayan, Kotagede. Â
Kopi Lumbung Mataram, sebuah tulisan dengan ukuran cukup besar dengan warna kuning emas tergantung di antara batang-batang pohon seakan memberikan ucapan selamat datang kepada pengunjung.
Sementara di sebelah kanan ada lagi bangunan yang mirip kandang sapi, bahkan diberi papan nama kandang kebo, namun uniknya  digunakan pelanggan untuk duduk lesehan.
Kami masuk melalui pintu gerbang berukuran kecil dengan atap bentuk segitiga, kusen warna hijau dan papan bertuliskan Sugeng Rawuh yang artinya selamat datang dalam Bahasa Jawa.
Suasana resto taman kian terasa dengan tata letak kursi dan meja yang ada dalam pendopo atau gazebo yang terbuka dan beratap genteng tanah liat.
Di salah satu pojok terdapat seperangkat alat musik gamelan yang lumayan lengkap. Â Di tepian pendopo juga banyak dekorasi berbentuk guci dari tanah liat. Â
Kursi dan meja sangat antik karena terbuat dari kayu dan juga rotan. Ada meja yang bundar ada juga berbentuk segi empat.
Di sini kami sejenak berbincang-bincang dengan Zuraida Novita yang lebih suka dipanggil Mbak Ita, yang merupakan pemilik sekaligus pengelola Kopi Lumbung Mataram.
Kami mulai memesan makanan dan minuman berupa bakmi Godog, dan wedang rempah.  Tak lama kemudian muncul kudapan berupa mendoan, singkong goreng dan juga pisang goreng.  Ada juga yang memesan  bakmi goreng, teh manis atau kopi madu.
"Kopi Lumbung Mataram dibuka sejak 2020," demikian Mbak ita memulai percakapan dan menjelaskan bahwa resto Cafe ini memiliki misi untukÂ
memberdayakan masyarakat sekitar. Â Selain menggunakan tenaga kerja di sekitar Kota Gede, Lumbung Mataram juga menggunakan pasokan bahan dari petani lokal.
Yang membuat tempat jni menarik adalah suasana jadoel yang dominan yang tampil selain dengan bangunan tua penuh nuansa zaman lampau, juga dengan dekorasi dan peralatan yang seakan -akan membawa kita kembali ke masa beberapa ratus tahun lalu.
Menurut Mbak Ita, kompleks Lumbung Mataram ini memiliki luas lahan sekitar 1 hektar dan terdiri dari dua bagian bangunan, yang pertama dibangun pada 1750 sedang  bagian lain lebih tua lagi walau tidak ada catatan pasti. Â
Selain digunakan untuk resto, lokasi  ini juga digunakan untuk tempat tinggal 3 keluarga.
Kian malam, bincang-bincang kian hangat ditemani wedang hangat, kopi dan pisang goreng.  Mbak Ita juga  bercerita bahwa setiap akhir pekan ada life music dengan penyanyi yang sudah sepuh yang berasal dari kawasan sekitar.  Juga dibicarakan mengenai mahalnya biaya PBB yang harus dibayar.
Selain menu a la carte, pelanggan juga bisa memilih prasmanan dengan berbagai menu masakan Jawa, ada ikan mangut, sayur kecipir dan juga brongkos. Â
Bagi pengunjung yang ingin solat, juga ada fasilitas mushola yang lumayan luas dan di sebelahnya ada bagian rumah dengan beranda yang disebut pringgitan .  Di sini ada meja dan juga kursi goyang lengkap dengan beberapa alat musik gesek  mirip biola dalam ukuran besar yaitu bass dan cello.
Selain bakmi Jawa, pada menu juga teratai berbagai jenis nasi goreng dan Magelang an termasuk ayam rica-rica dan berbagai menu lainnya.
Setelah mencoba bakmi, minuman dan juga kudapan, cita rasa di Lumbung Mataram ini tidak  kalah dengan beberapa resto sejenis yang ada di Yogya.
Namun kelebihan utamanya adalah suasananya yang unik dan terasa lebih tradisional serta serasa bagai ada  di kebun. Dan yang tidak kalah penting adalah harganya yang terjangkau.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H