Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen - Dosen , penulis buku travelling dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Ada Kursi Khusus Arwah untuk Nonton Wayang Potehi di Kelenteng Ini

6 Maret 2023   18:30 Diperbarui: 6 Maret 2023   18:31 697
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jalan-jalan atau Anjangsana Festival Kebhinekaan di Pasar Baru terus berlanjut menuju ke destinasi berikutnya, yaitu Kelenteng Sin Tek Bio.  Setelah melewati gang sempit yang ada Cakue Ko Atek dan Bakmi Aboen, kami terus berjalan  menyusuri lorong-lorong di tengah Pasar Baru.

stb-1-rumah-abu-6405ccd5cf40872bec257715.jpeg
stb-1-rumah-abu-6405ccd5cf40872bec257715.jpeg
Bangunan pertama yang saya jumpai adalah rumah dengan dekorasi mirip kelenteng. Tadinya saya kira ini adalah Kelenteng Sin Tek Bio. Namun seorang perempuan Tiong Hoa yang ada di beranda rumah ini menjelaskan bahwa kelentengnya masih beberapa puluh meter lagi, sedangkan bangunan ini adalah sebuah Rumah Abu. 

Kwan Im Bio: Dokpri
Kwan Im Bio: Dokpri

Kami terus berjalan dan kali ini bertemu kembali dengan pintu sebuah kelenteng. Dan ternyata juga bukan Sin Tek Bio yang kami carii, melainkan Kelenteng Bernama Kwan Im Bio. Setelah sampai di pojok dan belok, kiri, baru lah akhirnya kami diba di Sin Tek Bio. 

Sekilas kelentengnya tidak terlalu luas dan besar. Warna merah langsung mendominasi dan di halamannya yang sempit ada sebuah kimlo atau rumah tungku untuk membakar kertas pemujaan.   Di depan pintu utama juga dijaga oleh sepasang singa yang biasa ada di gedung-gedung arsitektur Tionghoa. 

Kalau kita melihat ke atap kelenteng, seperti biasa juga ada sepasang naga yang sedang memperebutkan mestika.     Sambil menunggu untuk masuk ke dalam kelenteng, beberapa gadis yang bekerja di kelenteng datang dan membagikan gulungan berupa kalender tahun 2023.  Ini adalah hadiah dari kelenteng buat kami semua yang berkunjung pagi itu.

Lilin di kelenteng: Dokpri
Lilin di kelenteng: Dokpri

"Ayo masuk lima-lima bergantian," demikian ujar Mbak Ira Latief.  Rupanya di dalam kelenteng sedan gada upacara keagamaan sehingga kami tidak mau mengganggu dengan masuk sekaligus beramai-ramai. 

Akhirnya tiba giliran saya bersama beberapa teman masuk ke beranda. Dan di sini, ada ratusan lilin merah yang sedang menyala dalam berbagai ukuran.  Lilin lilin raksasa yang besar itu harganya bisa puluhan juta rupiah, demikian Mbak Ira Lief menambahkan.

Di tiang utama kelenteng yang berwarna merah ada sepasang naga hijau yang melingkar sekan menyambut kedatangan kami. Kelenteng Sin Tek Bio yang juga disebut dengan nama Vihara Dharma Jaya ini konon merupakan salah satu kelenteng tertua di Jakarta karena sudah ada sejak tahun 1698 alias sudah ada sekitar 122 tahun lebih dahulu dibandingkan dengan Pasar Baru sendiri.

Karena lokasinya di pasar, maka dewa yang menjadi tuan rumah kelenteng ini adalah Dewa Dagang atau Hok Teng Ceng Sin.  Di beranda kelenteng terdapat gambar dewa dan juga patungnya dalam berbagai ukuran.  Selain itu, di kelenteng ini juga ada bagian yang didedikasikan untuk Dewi Welas Asih atau Dewi Kwan Im.  Di sini ada altar khusus untuk Dewi Kwan Im dengan berbagai patung dalam berbagai pose dan ukuran.  Sangat cantik sekaligus memberikan suasana yang mistis.

Embah Raden: dokpri
Embah Raden: dokpri

Kami terus berjalan melihat-;lihat sudut-sudut kelenteng. Di salah satu pojok ada sebuah petilasan yang diperuntukkan bagi Embah Raden Suria Kencana Winata.   Menurut cerita, sosok yang diduga masih keturunan Prabu Siliwangi ini merupakan tokoh yang sangat dihormati oleh orang Tionghoa sehingga di banyak kelenteng tua sering ditemukan petilasan untuk sanga Raden.  Petilasan ini berbentuk tempat tidur kecil lengkap dengan bantal, guling dan juga kelambu. Di depannya ada hiolo untuk menancapkan hio atau dupa.  Juga ada sarung, pakaian, dan peci.   Menutur penjaga kelenteng, setiap bulan puasa, di petilasan ini juga disediakan makanan untuk sahur dan berbuka buat embah Raden. Bahkan sarung, pakaian dan pecinya juga diganti setiap tahun menjelang lebaran.

Buddha Tertawa: Dokpri
Buddha Tertawa: Dokpri

Di sudut lain, ada sebuah patung besar yang terbuat dari kuningan dengan sosok dewa berperut gendut yang sedang tertawa. Ternyata ini adalah patung Buddha Maitreya atau Budha Tertawa yang di kelenteng ini disebut Me Lek Hut.  Selain patung besar tadi, juga ada puluhan patung Buddha tertawa dalam ukuran yang lebih kecil...  Sementara lampu lilin merah dan lampion ada di seantero kelenteng. Asap dupa juga terus menemani perjalanan kita.

Laksamana Cheng Ho: Dokpri
Laksamana Cheng Ho: Dokpri

Masih banyak patung beberapa dewa dan sosok lain yang ada di kelenteng ini.  Salah saatu yang menarik adalah foto dan patung Laksamana Cheng Ho yang disebut juga Sam Po Thay Djin atau San Bao Ta Ren.  Dan yang tidak kalah menariknya adalah adanya patung yang memakai sorban dengan sikap berdoa dan memegang sebuah kitab. Ternyata merupakan patung dengan nama Tai Ol Lao Shi atau disebut juga Eyang Djugo.

Kotak: Dokpri
Kotak: Dokpri

Di dalam kelenteng juga banyak kotak tak dalam berbagai ukuran yang isinya adalah pakaian, sepatu, dan berbagai perlengkapan dari kertas yang diperuntukkan untuk arwah orang yang sudah meninggal. Kotak kotak ini dibeli oleh Jemaah yang datang untuk kemudian dibakar di kimlo di depan kelenteng. Dipercaya bahwa barang-barang dari kertas yang dikirim untuk arwah itu akan diterima oleh orang yang sudah meninggal di alam lain.

beduk: Dokpri
beduk: Dokpri

Kami terus berjalan sambi mendengarkan penjelasan dari Mbak Ira. Masih di sekitar beranda kelenteng ada sebuah tambur tua ukuran lumayan besar yang sekilas mirip beduk  Tambur atau beduk ini dipukul untuk memberitahu dewa bahwa ada orang atau Jemaah  yang datang mau sembahyang.  Uniknya ketika dibunyikan, beduk ini iramanya mirip dengan suara beduk sebelum azan.  Konon beduk yang sering dijumpai di masjid-masjid kuno di Nusantara memang merupakan adaptasi dari budaya Tionghoa .

Dupa lilin dan patung: dokpri
Dupa lilin dan patung: dokpri

Jalan-jalan dan melihat-lihat isi kelenteng ini memang mengasyikkan. Sejenak kita bagaikan dibawa ke tempat atau dunia lain yang jarang kita ketahui. Dunia para dewa dewi dengan segala macam kisah dan ceritanya.

Di salah satu pojok dinding juga ada sebuah prasasti yang sekilas menjelaskan sejarah kelenteng ini dari sejak didirikan pada 1698 dan beralamat di Jalan Belakang Kongsi yang sekarang menjadi Bakmi Aboen. Lalu pada 1812 pintu depan kelenteng dipindahkan ke tempat yang sekarang ini.  Dan  pada ahun 1982 kelenteng ini juga mendapat pengelola baru yaitu Yayasan Dharma Jaya sekaligus nama Vihara Dharma Jaya.

prasasti: Dokpri
prasasti: Dokpri

Nah yang menarik lagi adalah di kelenteng ini juga terdapat sebuah panggung yang digunakan untuk pertunjukkan wayang Potehi.  Tidak banyak kelenteng yang memiliki wayang potehi dan masih memainkannya. Bahkan Wayang Potehi sendiri sempat dilarang selama Orde Baru.  Wayang potehi merupakan wayang boneka yang menampilkan kisah-kisah klasik dari daratan Tiongkok.

wayang potehi: Dokpri
wayang potehi: Dokpri

Konon dalam setahun hanya ada 3 kali pertunjukkan wayang potehi di kelenteng ini, slah satunya adalah untuk memperingati hari ulang tahun atau se jit dewa Hok Tek Ceng Sin  yang jatuh pada setiap tanggal 2 bulan 2 penanggalan Imlek.   Di depan panggung ada beberapa kursi kecil yang digunakan untuk penonton. 

Namun dalam setiap pertunjukan ada beberapa kursi di barisan paling depan yang tidak boleh diduduki oleh manusia.  Hal ini karena kursi itu adalah kursi VIP yang khusus diperuntukkan untuk arwah leluhur yang juga diundang khusus untuk ikut menonton pertunjukkan wayang potehi ini.

Tidak terasa sudah hampir satu jam kami berada di dalam kelenteng Sin Tek Bio, dan tiba waktunya untuk kembali melanjutkan perjalanan menuju ke tempat ibadah lainnya, yaitu Gereja PNIEL atau yang disebut juga Gereja Ayam. Yuk kita nantikan kisahnya berikutnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun