Setelah lebih dari satu jam naik angot K 18 yang dicarter oleh ClicKompasiana, saya dan teman-teman akhirnya bisa meluruskan kaki dengan sampai di Saung Ranggon.Â
Perjalanan selama satu jam tidak terasa membosankan karena kami terus bergembira dan bersenda gurau di sepanjang jalan.Â
Bahkan dalam perjalanan, kami juga sempat melihat odong-odong yang sedang melaju dan membayangkan kalau kami jadi naik odong-odong itu, tentunya lebih menyenangkan walau waktu tempuh bisa saja lebih lama.
Tempat parkir di Saung Ranggon tidak terlalu luas dan kebetulan hanya angkot kami yang berkunjung walau ada lagi sebuah mobil lain di situ. Â
Sebenarnya, ini adalah kunjungan saya yang kedua ke tempat ini. Bedanya pada kunjungan pertama sekitar 6 tahun lalu, saya tidak naik angkot. Sekilas situasi, kondisi, dan suasana di sekitar situs bersejarah ini masih tetap sama.Â
Sama-sama menyimpan atmosfer sakral penuh misteri dan teka-teki. Â Sama-sama sepi dan juga sama-sama mengundang rasa penasaran. Â Azan Dzuhur baru saja menggema dari sebuah musalah kecil yang ada di belakang bangunan utama Saung Rangoon.
Sebuah rumah panggung tua dari kayu ulin yang tampak kokoh. Rumah panggung ini dikeliling pagar.Â
Saya masih ingat bahwa untuk masuk ke Saung Ranggon, pengunjung harus ditemani sang kuncen alias juru kunci, seorang ibu yang berusia sekitar 60 tahun lebih.Â