Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen - Dosen , penulis buku travelling dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Ini Arti Hok Tek Bio, Apa Makna Dhanagun?

14 Januari 2023   11:14 Diperbarui: 14 Januari 2023   11:36 1720
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siang itu saya kembali ke Bogor dengan rencana sekedar jalan-jalan dan melihat-lihat tempat-tempat menarik yang mungkin sudah pernah dilihat namun belum secara rinci dan mendalam.  Dan seperti biasa kendaraan favorit jika ke Bogor, tentu saja KRL tercinta yang katanya tiketnya mau dinaikkan sebentar lagi khusus untuk orang kaya.  Jadi sebelum tiket naik, sering-sering naik KRL ke Bogor.

Dari Stasiun Bogor kendaraan favorit saya adalah Las Piernas atau sepasang kaki yang akan membawa saya ke mana saja, asalkan tidak terlalu jauh.  Nah kali ini seperti biasa saya akan melangkahkan kami menuju lapangan atau kebun paling cantik di kota Bogor, yaitu Kebun Raya Bogor. Karena baru saja ke sana beberapa minggu lalu, kali ini saya hanya menyusuri kaki lima sepanjang Kebun Raya , melewati Gereja Zebaoth dan kemudian Kantor Pos Bogor lalu akhirnya sampai di ujung Jalan Surya Kencana. Lumayan sudah berjalan sekitar 20 menit dan tubuh rasanya kian sehat dan segar.

Pintu Gerbang Vihara: Dokpri
Pintu Gerbang Vihara: Dokpri

Nah, setelah melewati Lawang Surya Kencana yang diapit dua ekor patung harimau, saya kemudian melihat pintu gerbang sebuah kelenteng yang bertuliskan nama Vihara Dhanagun.  Sudah sering saya lewat kelenteng ini tetapi belum pernah masuk. Rasa penasaran membuat kaki melangkah.  Pintu gerbang berwarna merah yang sangat khas negeri Tiongkok ini sangat cantik. 

Atapnya bersusun dua, berbentuk pelana dan dihiasi deretan lampion kecil yang bergantungan manis ditiup angin semilir kota Bogor. 

Di atas Tulisan Vihara Dhanagun ada tiga huruf Hanzhi. Dengan bantuan gadget, akhirnya saya membaca tulisan itu yang dalam Mandarin dari kiri ke kanan dibaca Miao de Fu.  Namun saya ingat, bahwa kalau membaca tulisan Cina kuno, harus dibaca dari kanan ke kiri seperti tulisan Arab.  Tinggal dibalik menjadi  Fu De Miao.

Foto Hok Tek Bio 1904: Dokpri
Foto Hok Tek Bio 1904: Dokpri

Siang itu suasana di halaman kelenteng ini sangat sepi. Sama sekali tidak ada satu pun pengunjung maupun orang yang beribadah atau Jemaah kelenteng.   

Di dinding ada sebuah foto tua kelenteng ini yang berasal dari tahun 1904. Sebuah foto hitam putih yang menggambarkan suasana di depan kelenteng atau Jalan Surya Kencana yang ramai dengan para pedagang. Ada yang memikul dagangannya, ada pula yang hanya meletakkannya di tepi jalan. Yang unik semua pedagang tersebut bertelanjang kaki.

 "Hok Tek Bio tahun 25 Juli 1904," demikian keterangan di bagian foto besar itu.Walaupun  terasa ada tata bahasa yang salah di sini, namun memberikan informasi bahwa nama lain kelenteng ini adalah Hok Tek Bio. Sementara versi gadget saya adalah Fu De Miao.   Hok Tek Bio adalah bahasa Hokian sementara Fu De Miao adalah dalam bahasa Mandarin.  Itulah keunikan huruf Hanzhi. Untuk artinya nanti kitakan cari lebih lanjut di dalam kelenteng.

Pintu Bulan dan Lukisan Sun Go Kong: Dokpri
Pintu Bulan dan Lukisan Sun Go Kong: Dokpri

Saya melangkah lagi masuk ke dalam halaman kelenteng yang ternyata cukup luas. Lantainya terbuat dari batu alam dan bangunan kelenteng ada di sebelah kiri saya.  Bangunan utama ada di tengah diapit dua bangunan pendamping.  Di dinding bangunan ini ada lukisan-lukisan dinding yang menarik. 

Di dinding paling luar yang juga dilengkapi dengan pintu bulan atau moon gate ada lukisan seekor harimau dengan latar belakang pemandangan gunung, bukit dan langit yang sangat khas lukisan Tiongkok.   Sementara di dinding sebelahnya ada lukisan yang cukup saya kenal. Lukisan Biksu Tong Sam Cong dan ketiga muridnya dari cerita Kera Sakti yang pernah saya tonton di Serial TV zaman dulu. 

Dalam lukisan ini sang biksu duduk di atas kuda putih dikawal oleh ketiga muridnya.  Tong Sam Cong atau Tang San Zhang ini merupakan tokoh fiksi dalam novel Journey to The West yang di Indonesia lebih dikenal dengan nama Shi You Ki karya Wu Cheng En.  Walaupun fiksi sebenarnya ada tokoh nyata dalam sejarah yaitu Xuan Zhang.

Perjalanan ke Barat dalam mencari kita suci bersama tiga muridnya yaitu Sun Go Kong yang merupakan figur Kera Sakti, Cu Pat Kai atau Zhu Ba Jie yang berbentuk Babi dan juga Sam Cheng atau sering juga disebut Gu Ma Ong sebagai Siluman Kerbau.  Konon kisah ini merupakan sindiran akan kehidupan masyarakat di Tiongkok pada waktu itu.

Lukisan di dinding luar: Dokpri
Lukisan di dinding luar: Dokpri

Saya beralih ke dinding yang ada di pagar tembok kelenteng yang ada di sebelah kanan saya. Kali ini sebuah lukisan yang lebih besar dan lebar menggambarkan pemandangan alam berupa gunung, lembah, sungai dan juga perkampungan di Tiongkok kuno dilukiskan dengan nuansa hitam putih dengan rona coklat muda.  Sangat indah. Namun digambarkan juga beberapa sosok orang tua mungkin kaisar atau pejabat dengan wajah bijak dan jenggot yang panjang.  Gambar manusia atau dewa ini dilukiskan dengan full warna.

Saya kembali ke bangunan kelenteng dan kali ini melihat lukisan yang ada di dinding sayap kiri kelenteng atau di bagian paling dalam dari Jalan Surya Kencana.  Lukisan di sini menggambarkan delapan dewa yang dilukis dengan indah. 

Delapan Dewa: Dokpri
Delapan Dewa: Dokpri

Legenda delapan dewa atau Pa Xian merupakan kisah yang menarik dan mengajarkan banyak filsafat kehidupan orang Tionghoa. Siapa saja ke delapan dewa itu.? Dalam lukisan ini digambarkan sangat khas. Sebagian seakan-akan sedang mengarungi lautan di atas perahu, ada yang menunggang labu, kuda , angsa dan juga ada yang meniup seruling. 

Mereka adalah Cao Guojiu, Han Zhongli, Han Xiangzi, He Xianggu, Lu Dongbin, Lan Caihe, Tie Guali, dan Zhang Guolao.  Masing-masing Dewa Dewi ini mempunyai senjata khas dan kesaktian masing-masing. Ada yang membawa botol labu, keranjang bunga, kipas, lonceng kayu, pedang, seruling, dan tongkat.  Wah rasanya sulit menghafalkan nama-nama dan jenis senjata mereka. 

Setidaknya dengan melihat lukisan ini , sejenak kitab oleh mengagumi keindahan serta mencoba mencerna kisah dan ajaran kebajikan yang ada di balik kisah tersebut.

Pintu Bulan naga dan pemandangan: Dokpri
Pintu Bulan naga dan pemandangan: Dokpri

Di sebelah dinding ini ada lagi dinding dengan pintu bulan yang kali ini dihiasi lukisan naga. Naga atau liong memang merupakan hewan mitologi yang menjadi simbol negeri Tiongkok. Di lukisan ini sang naga dilukiskan sedang menyantap sebuah mestika. Di bagian sisi sebelah pintu bulan ada lukisan pemandangan berupa danau, bukit, pepohonan dan beberapa hewan seperti rusa.

Singa dan Kimlo: Dokpri
Singa dan Kimlo: Dokpri

Puas menikmati lukisan saya menuju ke bangunan utama kelenteng. Di depannya ada dua buah bangunan kecil berupa tungku untuk membakar kertas sembahyang. Tungku ini disebut dengan istilah kimlo. Juga ada sepasang singa yang menjaga kelenteng. Singa ini biasa terdapat di depan bangunan khas Tionghoa.  Sementara di atas atap juga  ada patung sepasang naga, mestika dan burung hong atau phoenix.

Saya kemudian masuk ke dalam kelenteng dan langsung disuguhi sebuah altar dengan tempat dupa atau hio dan juga persembahan dengan beberapa jenis buah di atasnya Altar ini dihiasi dengan ukiran cantik bergambar naga.

Di bagian dalam banyak tiang-tiang yang juga dihiasi ukiran naga. Suasana sedikit sakral dengan nuansa serba merah ada di sekitar saya. Di sela-sela asap dupa dan rasa keheningan. Hening, karena sejak tadi saya belum berjumpa dengan satu orang pun di kelenteng ini. Tidak ada orang yang bersembahyang, tidak ada juga petugas atau penjaga kelenteng.

Setelah melewati ruang tengah saya melangkahlmasuk ke bagian dalam kelenteng. Di sini juga ada beberapa altar dengan beberapa patung, hiolo atau tempat dupa, tiang besar dilingkari ukiran naga, lampion yang bergantungan dan nuansa serba merah. Namun suasana yang sepi membuat saya merasa sedikit terhanyut dalam keheningan penuh misteri.

altar berukir naga: dokpri
altar berukir naga: dokpri

Tidak terasa hampir satu jam saya berada di kelenteng ini.  Dan tibalah waktunya untuk meninggalkan tempat ini sambil menyimpan tanda tanya apa arti kata Fu De Miao atau Ho Tek Bio.   Dalam perjalanan pulang di KRL, saya mencoba mencari makna kata ini di dunia maya dan tidak lama pun menjumpainya. Kata Hok  seperti yang saya duga berarti rezeki. Tentunya kita suda biasa mendengar kata hoki. Sementara kata Tek sendiri berari kebijakan dan Bio tentu saja berari kelenteng, vihara, kuil atau temple atau apa saja yang menunjukkan tempat ibadah. 

Sebuah perjalanan singkat ke Vihara Dhanagun, yang sedikit menguak kisah dari lukisan Biksu Tong Sam Cong dan juga legenda delapan Dewa. Namun perjalanan ini masih menyisakan misteri.

Apa arti kata Dhanagun?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun