Sabtu, 18 November 2022 sekitar pukul 14.30 saya sudah hadir di Institut Francaise Indonesie di bilangan Jalan Thamrin untuk menghadiri Festival Film Toleransi 2022. Â Suasana di beranda auditorium masih belum terlalu ramai, maklum pemutaran film pertama akan dimulai pada pukul 15.00.Â
Setelah melakukan pendaftaran, Monique Rijkers, pendiri Hadassah Indonesia menyambut ramah. Saya sebenarnya belum mengenal perempuan berdarah Yahudi ini ketika datang ke IFI dan baru mengetahuinya kemudian. Â Di meja lain di pojok, ada beberapa pamflet yang menyerukan tentang keberagaman, toleransi serta anti diskriminasi sesuai dengan tema festival film ini.
Secara keseluruhan, sejak sore hingga malam itu diputar 7 film yang berupa film dokumenter, film pendek maupun film cerita yang berdasarkan kisah nyata dari berbagai negara. Namun nuansa Yahudi dan Israel memang sangat kental dan mendominasi. Â Yuk kita saksikan saja secara rinci film-film yang diputar tersebut.
The Scientist
Ini adalah film yang membuka festival film toleransi 2022. Film ini ternyata merupakan sebuah film dokumenter tentang seorang ilmuwan Yahudi kelahiran Bulgaria  yang juga merupakan penyintas holocaust bernama DR. Raphael Mechoulam. Dia jua merupakan seorang Profesor di Hebrew University of Jerusalem.  Dan film ini bercerita tentang penelitiannya tentang ganja sebagai obat yang hingga kini masih sangat kontroversial.Â
Ulasan  lebih lengkap tentang film ini akan diuraikan di akhir artikel.
Eyeless in Gaza
Eyeless in Gaza merupakan sebuah film dokumenter tentang Perang di Gaza pada 2014 antara Hamas dan Israel yang memicu banyak demo di seluruh dunia yang menghujat Israel. Film diawali dengan demo di Paris, New York dan London.  Ternyata film ini merupakan usaha pembelaan dari pihak Israel yang mencoba memberikan fakta dan asumsi menurut versi yang jarang diungkap media mainstream. Â
Di sini, diungkap bahwa Hamas ternyata mencoba menyerang Israel dengan melontarkan senjata rudal dari kawasan pemukiman, sekolah dan masjid dan dituduh menggunakan human shield. Â Israel juga Digambarkan tidak punya pilihan lain sehingga harus membalas menyerang yang mengakibatkan banyak korban berjatuhan di pihak sipil.
Film ini mengungkap fakta dari sisi lain yang selama ini mungkin tidak pernah kita ketahui. Mau percaya atau tidak tentunya terserah penonton. Topiknya juga sangat kontroversial, yaitu Israel dan Palestina. Â Namun pesan yang disampaikan oleh Monique adalah jangan sampai intoleransi di Indonesia jadi meningkat gara-gara konflik di Timur Tengah. Jangan sampai kita mengimpor perang di sana ke Indonesia. Â Kalau yang ini mau tidak mau sebagian besar hadirin setuju.
4 Film pendek:
Acara selanjutnya adalah pemutaran 4 film pendek yang semuanya mengambil topik tentang Yahudi dan Israel. Â Film pertama tentang nasib kaum Yahudi di Irak. Sudah sejak zaman dulu, ketika Irak masih bernama Babylonia, orang Yahudi sudah bermukim di sana. Namun sejak sekitar tahun 1965-an di era Saddam Hussein, nuansa anti Yahudi kian terasa dan mengakibatkan banyak orang Yahudi yang meninggalkan Irak. Â Film ini mengingatkan saya dengan sebuah lagu Boney M yang tenar di akhir tahun 1970-an berjudul Rivers of Babylon.
Film pendek kedua mengenai naskah-naskah dan buku milik Yahudi yang diketemukan di Baghdad saat kejatuhan Saddam Hussein. Ternyata Sebagian naskah ini ada yang berasal dari abad ke 16 dan merupakan naskah yang dianggap suci oleh orang Yahudi. Sebagian naskah dapat direstorasi dan diselamatkan, namun naskah yang sudah rusak ternyata harus tetap dihormati. Yaitu caranya dengan dikubur dengan upacara khidmat di pemakaman di Amerika Serikat. Â
Sebuah film bergenre dark comedy mengakhiri parade film pendek. Film ini mengisahkan tentang seorang pemuda yang beralih profesi mendadak menjadi pemandu wisata yang mengunjungi tempat-tempat yang pernah menjadi lokasi teror di Yerusalem, atau lebih tepatnya di sekitar Jaffa Street.
Papicha: Film tentang Hijab di Aljazair
Film terakhir pada hari pertama Festival film Toleransi 2022 berjudul Papicha, sebuah film Perancis yang bercerita tentang Aljazair di sekitar tahun 1997 ketika di negeri itu perempuan mulai diwajibkan memakai hijab. Â Papicha sendiri merupakan kata slang di Aljazair untuk perempuan cantik. Â
Ganja sebagai Obat.
Kita kembali ke topik utama yaitu film The Scientist. Â Dalam film ini dikisahkan penelitian DR Raphael Mechoulam tentang ganja atau nama kerennya Cannabis Sativa. Â Tanaman yang diharamkan di banyak negara termasuk Indonesia namun banyak tumbuh di Aceh.Â
Berdasarkan penelitian DR Mechoulam, ganja mengandung bahan aktif bernama THC atau Tetrahydrocannabinol yang ketika ganja diisap, maka THC ini akan diserap aliran darah dan dibawa ke otak yang memiliki reseptor sehingga membawa pengaruh bagi memori, kesenangan, dan juga Gerakan orang yang mengisap, Efek ini ternyata berbeda pada setiap individu.
Selain itu dalam film ini juga dibahas tentang endogenous cannabinoid atau endocannabinoid yang diberi nama menggunakan kata dari bahasa Sanskerta yanitu Ananda yang berarti kesenangan atau kebahagiaan.  Akhirnya zat ini dinamakan Anandamide.Â
Penelitian tentang ganja yang diduga dapat dimanfaatkan sebagai obat  baik untuk kanker maupun epilepsi mau pun sebagai penghilang rasa sakit banyak diungkap dalam film ini.  Dengan menyaksikan film ini, kita dapat mengenal lebih jauh akan esensi tanaman bernama ganja. Tanaman yang dilarang namun ternyata dapat memiliki banyak manfaat di samping mudaratnya jika disalahgunakan.
Di akhir pemutaran film ini juga hadir Komjen Polisi Purnawirawan Anang Iskandar, mantan Ketua BNN yang memberikan sambutan dan komentar serta penjelasan bahwa hingga saat ini ganja masih dinyatakan ilegal di Indonesia, termasuk untuk pengobatan. Sementara di dunia internasional WHO sendiri sejak 2020 sudah memberi celah penggunaan ganja untuk tujuan medis. Â Menurut Anang Iskandar sendiri, DPR sedang menggodok revisi Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika yang memungkinkan legalisasi penggunaan dan penelitian ganja untuk tujuan medis.
Singkatnya kehadiran saya di Festival Film Toleransi 2020 di hari pertama kemarin  memang membuka banyak cakrawala baru tentang Yahudi, Israel dan tentunya tentang ganja.
Terima kasih sudah membaca, dan bacalah dengan hati dan jiwa yang lebih terbuka atas perbedaan. Â Karena kita tidak dapat memilih untuk dilahirkan sebagai etnis tertentu. Mungkin ini pesan terbaik yang saya dapat sepanjang sore hingga malam itu.
Foto-Foto: Dokumentasi Pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H