Senja itu secara tidak direncanakan alias impromptu saya mampir ke Sarinah. Â Sebenarnya tujuan saya adalah ke Grand Indonesia untuk nonton film World Cinema Week di CGV. Â Namun karena datang beberapa waktu lebih awal, akhirnya saya memutuskan untuk mampir ke Sarinah.
Dari stasiun MRT Bundaran HI saya kemudian keluar dengan menaiki tangga yang lumayan terjal dan muncul di kaki lima di jalan Thamrin. Melewati gedung Sinar Mas, IFI dan akhirnya sampai di Sarinah.
Di halaman gedung, ada banyak orang yang sedang bersantai, ada juga sebuah kendaraan yang sedang mempromosikan salah satu film dengan lomba karaoke.
Saya kemudian masuk ke gedung Sarinah melalui pintu selatan dan kemudian melihat lantas dasar gedung yang dipenuhi berbagai gerai restoran.
Namun yang menjadi ikon Sarinah adalah relief yang dibuat bersamaan dengan pembangunan gedung ini di awal 1960-an. Â Relief ini menggambarkan kehidupan pedagang kecil dan asongan pada masa itu. Â Salah satu keunikan relief ini adalah dimensi yang menjorok keluaran sangat signifikan yaitu sekitar 70-80 % dibandingkan umumnya relief biasa. Â Jadi lebih mendekati patung tiga dimensi yang berjejer sepanjang sekitar 12 meter dengan tinggi 3 meter dan menggambarkan kehidupan perekonomian rakyat Indonesia kala itu.Â
Secara garis besar relief ini melambangkan kegiatan ekonomi rakyat kecil yang meliputi kegiatan perikanan, pertanian, perkebunan dan kerajinan. Â Di pojok kiri relief ada tiga orang petani yang hanya bercelana pendek dan bertelanjang dada mengenakan caping. Juga ada beberapa perempuan petani yang mengenakan kebaya, salah seorang sedang membawa tampah di atas kepala. Lalu ada juga beberapa ekor kerbau yang mungkin menggambarkan kehidupan di sawah. Serta relief pedagang keliling yang juga bertelanjang dada lengkap dengan dagangan yang di bawa dengan pikulan. Â Dan tentunya tidak lupa relief beberapa perahu dan juga jaring serta ikan yang melambangkan nelayan.
Namun yang menarik adalah keterangan mengenai relief ini yang menjelaskan hingga saat ini belum diketahui dengan pasti siapa yang membuatnya. Walau pun begitu kuat dugaan bahwa pembuatnya adalah tim daro Yogyakarta atau kemungkinan juga Edhi Sunarso yang juga membuat Patung di Tugu Selamat Datang dan merupakan salah satu pematung kesayangan Bung Karno.
Di pojok ruangan ada pameran yang menjelaskan Sarinah dari Masa ke Masa.  Ada foto ketika pemancangan tiang pertama yang  pada 23 April1963.  Di dipamerkan amanat atau kata pengantar Bung Karno yang menjelaskan mengapa beliau ingin membangun Sarinah yang menjadi toserba atau department store pertama di Indonesia.
"Memang benar saya yang memerintahkan untuk mengadakan department store di Jakarta. Bahkan bukan saja di Jakarta, tetapi insya Allah, nanti juga di kota lain-lain. Apa sebab? Sebabnya ialah kita hendak menyusun satu masyarakat yang adil dan makmur, masyarakat sosialisme Indonesia, masyarakat rakyat jelata mengecapkan kehidupan materiil yang layak, masyarakat yang dalam bahasa dalang dinamakan subur kang sarwa tinandur, murah kang sarwa tinuku. Subur segala hal yang dibeli. Dan ini adalah cita-cita bangsa Indonesia sejak beratus-ratus tahun. Subur kang sarwa tinandur, murah kang sarwa tinuku," demikian kutipan dari amanat Padaku Jang Mulia Presiden Sukarno kala itu.
Lalu ada juga kutipan mengapa toserba ini dinamakan Sarinah yang ternyata diambil dari nama pengasuh Bung Karno ketika kecil.
"Tatkala saya masih kecil, Ibu almarhum memberikan pengasuh saya ini kepada seorang wanita rakyat jelata yang bernama Sarinah. Sarinah inilah yang mendidik aku. Almarhum dia itu sudah. Moga rahmat Allah SWT selalu dilimpahkan kepadanya. Sarinah ini yang mendidik aku, membantu Ibuku, membantu Bapakku untuk mendidik aku, mendidik cinta kepada rakyat jelata, mendidik mengerti bahwa segala sesuatu di negeri kita ini tergantung daripada rakyat jelata."
Namun yang paling menggelitik dan mungkin terasa tidak sesuai lagi dengan zaman kini, adalah keberpihakan Bung Karno pada negara-negara sosialis pula yang menjadi alasan membangun Sarinah. Â Sarinah yang digadang-gadang untuk memamerkan barang produk dalam negeri. Â Hal ini dapat dibaca pada Alinea berikat dalam sambutan beliau.
"Maka demikian pula department store bukan sesuatu barang luxe, tetapi sesuatu barang vital untuk terselenggaranya sosialisme di Indonesia. Dan bukan di Indonesia saja, tiap-tiap negara sosialis di dunia ini mempunyai department store. Datanglah di Praha, datanglah di Moskow, datanglah di Warsawa, datanglah di Ulanbator, ada department store Saudara-saudara, sebagai distribusi aparat, sebagai prijs stabilisator."
Sejenak saya terpaku di hadapan salinan amanat Bung Karno ini dan kemudian membandingkannya dengan apa yang telah dialami Indonesia dan Sarinah kemudian. Â Yah sejarah memang telah berkata lain. Â Â
Dari relief ini, saya berjalan kembali menyusuri ruangan di lantai dasar dan kemudian menemukan relief yang lain. Ah ternyata bukan sebuah relief melainkan karya seni yang berjudul "Studi Relief dalam Jejaring,"Â Karya seni ini merupakan rekonstruksi alih media dari relief Sarinah yang diejawantahkan dalam jaring-jaring bekas nelayan dari pesisir pulau Jawa. Â Ini adalah karya seniman yang bernama Iwan Yusuf. Â Lumayan menarik melihat citra yang mirip dengan relief Sarinah dalam media jaring dan lokasinya tidak jauh dari relief yang menjadi ikon gedung ini.
Perjalanan di Sarinah kemudian berlanjut sejenak mengintip Distrik Seni di lantai enam. Untuk masuk ke pameran seni ini, pengunjung dikenakan tiket sebesar 50 Ribu Rupiah.Â
Setelah itu saya menggunakan eskalator dan menuruni lantai demi lantai Sarinah. Di Lantai empat terdapat lantai yang masih kosong dan tampaknya digunakan untuk menjual berbagai jenis minuman beralkohol Wah sangat jauh dari ide sosialisme, UMKM maupun rakyat jelata yang digadang-gadang menjadi inspirasi  pembangunan Sarinah.
Di lantai 3, ada pojok yang menjual berbagai jenis cokelat. Ternyata di sini terdapat pintu masuk untuk menuju ke Sarina Sky Deck. Â Untuk masuk hanya perlu mendaftar melalui aplikasi. Dan bahkan bagi yang sudah berstatus lansia, diperbolehkan masuk tanpa mengunduh aplikasi.
Dari sky deck ini kitab isa menikmati pemandangan Sebagian kota Jakarta dan juga bangunan -bangunan di Jalan Thamrin dan sekitar Sarinah. Â Di kejauhan tampak Tugu Selamat Datang, air mancur Bundaran HI, Hotel Indonesia, Plaza Indonesia dan juga halte Trans Jakarta yang sekarang sedang viral. Â Â Sementara tepat di depan Sarinah juga ada Halte Trans Jakarta yang masih belum selesai direvitalisasi.
Tidak terasa, waktu berjalan begitu cepat. Â Tiba waktunya untuk meninggalkan Sarinah untuk kembali berjalan kaki menuju Grand Indonesia dan menyaksikan Penutupan World Cinema Week yang sekaligus menayangkan film Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti.
Jakarta, Akhir Oktober 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H