Jumat malam, 28 Oktober 2022, Wisata Kreatif Jakarta kembali mengadakan acara Night at the Museum. Kali ini yang dipilih adalah sebuah museum yang dulunya merupakan salah satu taman pemakaman paling bergengsi di Batavia, yaitu Museum Taman Makam Prasasti yang berada di Jalan Tanah Abang I.
Sekitar pukul 7 malam, rombongan kami sudah berkumpul di beranda museum. Â Tidak banyak, hanya sekitar beberapa belas orang termasuk ada yang masih usia remaja. Â Dan sebagaimana biasa acara dibuka dengan ucapan Selamat Datang oleh Mbak Ira Latief dan juga saling memperkenalkan diri.
Di beranda ini dipajang puluhan nisan dari logam yang bertuliskan nama, jabatan, tempat dan tanggal lahir serta meninggal si empunya nisan. Â Semuanya dalam ukuran raksasa dan saya merasa beruntung pernah belajar sedikit bahasa Belanda sehingga bisa membaca yang tertulis pada nisan tersebut. Di atas pintu masuk terdapat sebuah prasati dalam Bahasa Latin yang saya tidak mengerti artinya termasuk adanya angka tahun yang penulisannya agak ganjil karena ada angka C yang terbalik.Â
Kami kemudian masuk ke taman ditemani oleh petugas museum dan mulai berkelana di taman seluas lebih dari satu hektar ini. Â Taman Makam Prasasti sendiri merupakan sebuah museum yang diresmikan oleh Gubernur DKI, Ali Sadikin pada 1977.Â
Mbak Ira juga sekilas menjelaskan sejarah pemakaman yang menurutnya merupakan salah satu kompleks pemakaman yang mungkin tertua di dunia. Â Makam ini dulunya memiliki luas lebih dari 5 hektar dan pertama kali di buka pada akhir abad 18 tepatnya pada 1795. Â Makam ini lebih tua dari makam-makam terkenal seperti Pere La Chaise di Paris dan bahkan juga Arlington di Amerika Serikat. Dulunya makam ini disebut dengan nama Kerkhof Laan dan lebih kondang dengan nama Pemakaman Kober. Â Pada 1974 atau 1975 karena sudah penuh, pemakaman ini ditutup dan akhirnya pada 1977 dijadikan museum. Â Tentu saja jenazahnya sudah dipindahkan dan sekarang hanya batu nisan dan prasastinya saja yang masih ada.
Ada banyak sekali nisan dan pusara yang sangat indah di taman ini.  Pertama yang ditunjukkan kepada kami adalah nisan yang dikenal dengan julukan The Crying Lady yang berupa patung marmer seorang perempuan yang sedang menangis. Menurut legenda , perempuan ini menangis karena kehilangan suaminya yang meninggal karena penyakit malaria yang kala itu menjadi pandemi yang mengerikan di kota tua Batavia. Sampai akhirnya dia meninggal karena bunuh diri.
Selanjutnya kami berjalan menuju nisan dengan hiasan berbentuk buku yang terbuka. Wah ini pasti makan seorang ilmuwan, pikir saya dalam hati. Â Ternyata dugaan saya tidak salah, ini adalah nisan Hermanus Frederik Roll, mantan direktur STOVIA yang lahir di Gouda pada 1867 dan meninggal di Batavia pada 1935. Â Yang menarik dari H.F. Roll ini adalah jasanya dalam membela Dr. Sutomo yang hampir dikeluarkan dari sekolah kedokteran itu pada 1903. Â Kalau saja beliau tidak membela pemuda Soetomo, mungkin sejarah akan tertulis secara berbeda.
Selain batu nisan, di taman ini juga dipamerkan sepasang keranda atau peti mati yang dulu pernah digunakan oleh Bung Karno dan Bung Hatta, dwi tunggal proklamator kemerdekaan Republik Indonesia. Â Peti itu digunakan untuk membawa jenazah Bung Karno dari RS Gatot Subroto ke Wisma Yaso untuk disemayamkan, sementara peti Bung Hatta digunakan untuk membawa jenazah dari RS Tjipto Mangunkusumo ke TPU Tanah Kusir.
Malam baru saja mulai, masih banyak tempat dan nisan menarik yang akan dikunjungi. Masih di bagian depan museum yang diterangi cahaya lampu yang lumayan , ada sebuah mausoleum berbentuk rumah yang merupakan makam keluarga  A.J.W Van Delden.  Pintu mausoleum ini sedikit terbuka sehingga ada salah seorang peserta yang bertanya kepada petugas, apakah kitab oleh melihat dalamnya.
Pintu itu kemudian dibuka dan ternyata di alamnya berisi beberapa batu nisan kecil, termasuk sebuah nisan yang sangat indah karena dihiasi keramik dengan motif bunga warna-warni.
"Nisan ini belum lama kami terima dari sebuah keluarga Tionghoa dari Surabaya," demikian sekilas penjelasan petugas museum.
Perjalanan di tengah pemakaman mulai menjelajah kawasan yang gelap gulita. Pertama kami menuju ke makam Olivia yang lumayan besar dan agak tinggi berupa panggung. Â Dengan menggunakan penerangan lampu petromak yang dibawa salah satu pengunjung, kami membaca tulisan pada nisan ini:
 "Sacred, to the memory of Olivia Mariamne, wife of The Hon'ble Thomas Stamford Raffles, Lieutenant Governor of Java and it's dependencies, who departed this life at Buitenzorg the 26 day of November 1814."
Yah jadi ingat, bahwa sebelum berkunjung ke Taman Prasasti di malam hari ini, siang tadi saya sempat mampir ke Kebun Raya Bogor dan juga mampir ke sebuah monumen yang dibuat Raffles untuk istrinya. Di sana ada sebuah puisi yang malam ini kembali dibacakan oleh Mbak Ira. Sebuah puisi yang sangat indah melambangkan cinta Raffles buat istrinya yang konon usianya lebih tua 10 tahun dibanding Raffles sendiri.
Oh thou whom neer my constant heart ;
(Kamu yang selalu berada di hatiku)
One moment hath forgot ;
(Tak pernah sedikitpun kulupakan)
Tho fate severe hath bid us part ;
(Walaupun takdir memisahkan kita)
Yet still -- forget me not
(Janganlah pernah lupakan aku)
Wah, malam-malam begini betapa syahdunya membaca puisi cinta di tengah makam.Â
Nah perjalanan terus kian memasuki jantung pemakaman Kober yang juga disebut Kebon Jahe ini.  Satu sosok terkenal yang masih berusia muda ketika meninggal juga ada di sini. Dia adalah Soe Hok Gie yang kisahnya pernah difilmkan dengan judul Gie.  Nias Soe Hok Gie ini berbentuk patung malaikat kecil  bersayap dengan tangan yang sedang bersidekap.  Di sini terukir nama tanggal lahir dan meninggal serta sebuah kutipan kata-kata yang penuh makna.
No Body knows the troubles
I see nobody knos my sorrows.
Soe Hok Ge memang meninggal ketika naik ke puncak Maha Meru pada 16 Desember 1969, tepat satu hari sebelum ulang tahunnya yang ke dua puluh tujuh. Â
Kami terus berjalan dan kembali menemukan sebuah prasasti nisan milik Miss Riboet, seorang artis jaman lampau yang terkenal di awal abad ke XX. Â Di sini terukir kata-kata sederhana:
Atas Dasar Mutlak Tjinta Sutji-Murni
Selama Hamir 50 Taon
Hidup Rukun Beruntung
Berredjeki dlm Persahabatan
Lalu ditulis nama Miss Riboet yang lahir di Aceh pada 1900 dan meninggal di Djakarta pada 1965 dan juga nama suaminya Tio Tik Djien yang lahir di Nganjuk pada 1895 dan belum meninggal pada 1965 itu sehingga ditulis menyusul. Tidak jelas kapan dan dimana suami Miss RIboet ini sendiri meninggal kemudian.
Tidak jauh dari nisan Miss riboet, ada sebuah nisan yang juga berbentuk patung kecil yang tamak sedih dan sedang berdoa. Nisan ini milik John Patrick Sturrock yang lahir di Scotland pada 1850 dan meninggal di Batavia pada 1886. Â Ada kutipan menarik pada nisan ini yaitu "I know that He shall rise in the resurrection in the last day."
Sebuah nisan yang tinggi menjulang berwarna hijau juga menarik perhatian kami. Â Pada nisan tertulis nama JJ Perrie yang merupakan jenderal di zaman Hindia Belanda. Keunikan nisan ini adalah bentuknya yang bagaikan monumen dan menjulang tinggi serta berwarna hijau. Â Rombongan kami banyak yang berfoto di tempat ini.
Di bagian tengah kompleks pemakaman juga ada sebuah makam dengan patung seorang pastor  yang tinggi menjulang . Dia adalah pastor Hendrikus  Van Der Grinten dan pada batu nisannya terukir kata kata indah dalam Bahasa Belanda : "Ik ben alles voor allen geworden" (Bagi semua orang aku telah menjadi segala-galanya).
Nah ada lagi beberapa nisan yang sempat kami kunjungi seoerti replika peringatan Nisan Pieter Erberfeld yang berupah peringatan dan larangan dengan hiasan sebuah tengkorak yang tertusuk tombak di atasnya. Â Kisah Pieter Erberveld yang juga dikenal dengan nama Pecah Kulit ini memang lumayan mengerikan untuk dikisahkan kembali di malam hari seperti ini.
Setelah hampir dua jam berkeliling kompleks makam, kami kembali ke bagian depan untuk mampir ke nisan seorang pastor Belanda yang terbuat dari marmer dengan ukiran wajahnya dan tulisan dalam Bahasa Latin. Â Nama Pastor ini Adalah Adam Charles Claessens yang dalam bahasa Latin ditulis Adami Caroli Claessen,
Di dekat makam ini ada kursi taman dari perunggu yang cantik. Dan saya pun sempat duduk santai di tengah pemakaman sambil menikmati suasana malam yang indah.
Sekitar pukul 9 malam lebih, kami akhirnya pamit dan meninggalkan museum terbuka ini. Apakah ada rasa takut atau seram atau penampakan? Ternyata sama sekali tidak walau sebagian peserta bercerita mendengar suara anak-anak bermain di salah satu sudut taman.
Jakarta, Oktober 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H