Setelah itu diperkenalkan juga dengan beberapa toko berbentuk bangunan tua yang khas Tionghoa. Sayngnya nasib bangunan tua di kawasan Pasar Baru ini kebanyakan dalam kondisi yang merana.Â
Tidak seperti China Town yang ada di  George Town, Malaysia yang sudah mendapat status World Heritage. Rupanya pemerintah lebih memperhatikan Kota Tua yang hingga kini belum juga sukses mendapatkan status itu.  Salah satu bangunan tua ada lah Toko Kompak yang konon dulunya merupakan tempat tinggal Mayor Tionghoa Tio  Tek Ho. Â
Sesuai tema walking tour kali ini, maka kunjungan pertama di kawasan pasar Baru adalah mampir ke salah satu toko tekstil milik keturunan India. Mbak Ira mengajak mampir ke Toko bernama Al Shadai Tex.Â
Di sini kami berjumpa dengan Pak Ramli yang mengaku bukan pemilik, melainkan pelaksana harian toko ini. Â Pria ini mengaku sebagai generasi ke delapan sejak kedatangan leluhurnya pertama kali ke Nusantara. Pria berusia lebih 60 tahunan ini juga mengaku berasal dari Surabaya dan sesekali berbicara dengan logat Surabaya yang cukup medok.
Yang menarik di toko ini dalam merayakan Deepavali adalah sebuah altar yang ada di tokonya. Sekilas mirip dengan altar atau meja sembahyang yang sering ada di rumah etnis Tionghoa. Â
Namun yang ada di sini sempat membuat saya kagum sekaligus heran. Altar ini seakan-akan mewakili Sebagian besar agama yang ada. Â Pertama yang menarik adalah sepasang foto leluhur, lelaki dan perempuan yang disebut sebagai potret kedua orang tua Pak Ramli. Foto ini dikalungi bunga sebagai pertanda bahwa keduanya sudah berpulang. Â
Selain itu ada juga patung Yesus dan Salib, hiasan mirip pohon natal, berbagai gambar dewa dewi Hindu serta deretan buah seperti apel, jeruk, pisang, pir dan mangga yang diletakkan di atas kertas karton warna putih dengan tulisan berwarna ungu dengan lambang mirip swastika.
Ketika di tanya, Pak Ramli juga menjelaskan bahwa dia lebih suka disebut menganut agama Universal walaupun secara resmi menganut Hindu. Â Dia menyebutkan bahwa setiap Deepavali dia akan menulis sesuatu di buku yang baru dan membuang lembaran lama.Â
Di buku ini dia menulis banyak kalimat menggunakan bahasa Sanskerta dengan banyakan sebutan Om. Â Warna ungu itu ternyata berasal dari sindur yang sering digunakan perempuan India di kening untuk menunjukkan bahwa dia sudah menikah.
Banyak yang diceritakan oleh Pak Ramli mengenai perayaan Deepavali yang walaupun merupakan hari besar, tetapi biasanya etnis India tetap akan membuka bisnis dan bekerja pada hari itu sebagai lambang tetap mencari rezeki. Â Karena itu toko-toko tetap buka walau tutup sedikit lebih awal.