Waktu belum menunjukkan pukul 11 siang ketika saya tiba di sebuah resto masakan sunda yang terletak di Jalan Cisangkuy, Â tidak jauh dari Gedung Sate dan tepat di seberang Taman Lansia di kota Bandung. Â Sehabis parkir, saya langsung masuk ke resto bukan melalui pintu depan , melainkan melalui pintu samping. Di sini tampak deretan meja dan kursi yang masih kosong dan hanya beberapa saja yang sudah terisi.
"Euweh baheula moal aya ayeuna, aya ayuena kusabab aya baheula,"Â Demikian tertulis semacam kata Mutiara dalam bahasa Sunda yang tertulis di dinding dekat pintu dapur. Artinya bila tidak ada masa lampau, tidak akan ada saat ini, dan adanya masa kini karena ada masa lampau.Â
Pelayan resto mempersilahkan saya langsung masuk ke dapur dan memilih sendiri makanan. Pertama saya memilih nasi dengan beberapa pilihan, ada nasi putih, nasi liwet, nasi merah liwet, dan berbagai jenis nasi bakar. Akhirnya saya memilih nasi bakar jambal. Â Setelah itu saya juga memesan satu porsi karedok dan mengambil lalapan, berbagai jenis sambal, tumis balakutak, kikil, orek tempe, sate udang dan juga es alpukat.
Setelah itu langsung menuju ke kasir dan membayar pesanan kita. Pelayanan ternyata cukup cepat karena bersamaan dengan selesai membayar, pesanan sate udang bakar dan nasi bakar juga sudah siap di santap.
Nah sambil menikmati makan siang yang lumayan sedap. Â Saya memperhatikan dinding resto yang dihias berbagai macam alat dapur. Asyiknya ada nama dalam bahasa Sunda dan sedikit penjelasan mengenai alat tersebut. Â Ada beberapa alat dan nama yang familier karena mirip atau sama dengan bahasa Indonesia, namun ada juga nama dan alat yang lumayan asing dan eksotik.
Yang saya sudah kenal tanpa perlu membaca uraiannya misalnya parud yang djelaskan sebagai alat dapur untuk memarut, terbuat dari kaleng bekas yang dilubangi menggunakan paku dan pinggir-pinggirnya diberi bingkai kayu.
Juga ada rantang yang disebut sebagai panci bersusun dan bertutup untuk tempat makanan dilengkapi tangkai, yang berfungsi sebagai pengait dan pegangan. Â Dalam adat Sunda, rantang biasa digunakan untuk tradisi "nganteuran" dimana masyarakat saling mengantarkan makanan untuk dibagikan pada orang sekitarnya ketika menjelang lebaran.
Di pojok lain terdapat ayakan dan talenan. Namanya tidak aneh buat saya. Ayakan disebutkan sebagai alat dapur yang berbentuk bulat tipis seperti tampah terbuat dari anyaman bambu. Dengan anyaman yang renggang makan fungsi ayakan adalah untuk mengayak dan juga menjemur makanan. Selain itu juga ada nyiru yang bentuknya mirip ayakan tetapi dengan anyaman yang lebih rapat.
Nah, selanjutnya saya mulai menemukan nama-nama alat dapur yang kurang saya kenal seperti Boboko yang ternyata disebut juga bakul yang terbuat dari anyaman bambu dan digunakan untuk menyimpan nasi. Â Lalu ada juga tolombo yang berbentuk bulat seperti boboko tetapi lebih besar dan tidak memiliki kaki. Fungsinya untuk menyimpan wadah dan bahan makanan.
Lalu ada juga aseupan yang bentuknya kerucut mirip caping dan berfungsi untuk mengukus makanan.Â
Selain yang terbuat dari bambu ada juga yang terbuat dari tembaga seperti Seeng. Â Wah mengingatkan saya akan sebuah nama tempat yaitu Ciseeng. Â Seeng ini ternyata memiliki pinggang di tengah yang berfungsi untuk menahan aseupan dan digunakan untuk mengukus.
Di samping itu ada juga yang sekilas mirip panci dan bernama Katel yang berfungsi untuk menggoreng atau membuat sayur. Â Namun yang Namanya unik adalah Citel yang merupakan singkatan panci dan katel. Citel ini memiliki fungsi ganda yaitu untuk merebus dan menggoreng. Penggunaan singkatan ini mengingatkan saya akan nama-nama makanan khas Sunda seperti Combro Cilok dll.
Dan yang tidak kalah mengasyikkan di resto ini adalah pengumuman yang menggunakan bahas Sunda di semua tempat. Termasuk di toilet, dimana ada larangan untuk jongkok dengan kata-kata Teu Kenging Cingongo di Kloset, alias dilarang jongkok di kloset.
Namun, dari sekian banyak alat dapur tadi ada satu yang cukup berbeda yaitu Palastrang, yaitu piring besar yang terbuat dari seng dan berfungsi sebagai nampan atau baki. Palastrang ini lumayan cantik karena bergambar bunga-bunga berwarna merah yang ceria.
Tanpa terasa, waktu menunjukkan sekitar pukul 12, dan ternyata resto ini sudah cukup ramai dan hanya sedikit meja yang masih kosong. Â Saya kemudian melanjutkan jalan-jalan di Bandung dengan sekedar mencari angin dan jalan-jalan di Taman Lansia.
Bandung: Oktober 2022
Foto-Foto: Dokumentasi Pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H