Setiap berkunjung ke pusat kota Christchurch, apalagi ke kawasan Cathedral Square, pasti akan mengingatkan pengunjung akan tragedi gempa bumi dahsyat yang terjadi pada Februari 2011. pada kunjungan saya pertama kali ke kota ini di Maret 2012, kawasan pusat kota ini masih menyimpan sangat banyak duka dan bukti keganasan bencana tersebut. Selain Cathedral yang setengah runtuh dengan atap yang terbuka, masih banyak jalan dan bangunan yang tertutup karena dianggap ternasuk kawasan berbahaya untuk dimasuki. Â
Kini suasana sudah berubah. Sebagian besar daerah sudah berbenah. Walaupun begitu, Christchucrh  Cathedral sendiri masih berbentuk reruntuhan. Setelah banyak kontroversi mengenai nasibnya , konon membangun gereja ini kembali dalam bentuk aslinya menjadi pilihan. Dan untuk itu pembangunan sendiri baru diperkirakan baru akan selesai sekitar tahun 2027.
Perjalanan ini kembali dimulai di Cathedral Square di siang hari yang cerah, suasana cukup ramai dengan pejalan kaki dan di salah satu sisi taman ini ada dua orang pemuda yang sedang berbain catur lapangan. Uniknya warna buah catur nya bukan hitam dan putih , melainkan hitam dan merah. Sementara beberapa orang lainya juga sedang asyik menonton permainan ini sambil duduk bersandar di kursi pagar.
Tidak berapa jauh dari tempat dua pemuda bermain catur, ada sebuah monumen berbentuk patung yang menggambarkan seorang lelaki yang sedang berdiri dan memakai jubah. Tangan kanannya memegang topi dan tangan kirinya memegang baju luar atau overcoat. Lelaki ini tampak kelimis dan memiliki rambut yang ikal. Patung perunggu ini diletakkan di atas sebuah pedestal terbuat dari batu dan terukir nama pemilik patung yaitu: John Robert Godley. Selain itu hanya ada sedikit keterangan mengenai jabatan beliau sebagai founder of Canterburry dengan angka tahun 1850. Â Konon patung ini sempat roboh saat terjadi gempa pada 2011 dan baru pada 2015 didirikan lagi di tempat ini.
Di Cathedral Square ini pula masih bisa disaksikan gedung atau reruntuhan gedung Christchurch Cathedral yang telah berusia lebih dari satu setengah abad dan Sebagian besar hancur akibat gempa. Bahkan sebelum gempa sebenarnya kalau kita berada di dekat patung Godley ini, akan tampak menara katedral yang megah dan menjadi latar belakang. Kini menara itu sudah runtuh dan bahkan diruntuhkan kemudian setelah gempa. Uniknya di sini juga ada sebuah keranjang besar dari kawat yang isinya adalah bebatuan yang berasal dari reruntuhan katedral.
Masih di sekitar lapangan di dekat katedral ini terdapat lagui sebuah monumen berbentuk kerucut terbalik yang bernama Chalice Sculpture atau Patung Piala. Â Patung berbentuk piala ini ternyata dibuat oleh pemahat kelahiran Christchurch, Neil Dawson untuk memperingati milenium baru dan diresmikan pada 2001. Â Polanya berbentuk daun -daun pepohonan lokal yang ada di Selandia Baru dan patung ini memiliki tinggi sekitar 18 meter.Â
Di sekitar Cathedral Square ini juga terdapat beberapa hotel kenamaan seperti Hotel Ibis yang terlihat cukup modern dan merupakan salah satu hotel yang selamat dari gempa dan pertama kali dioperasikan setelah gempa. Di dekatnya ada sebuah hotel dengan gaya bangunan tua yang cantik yaitu Camelot Catherdal Square hotel dengan fasad berupa batu bata merah.
Di sini juga ada beberapa gambar dan foto yang menceritakan tentang suasana Cathedral Square sebelum gempa. "To gather, together," atau berkumpul, bersama, demikian judul gambar yang memperlihatkan berbagai kegiatan, baik keagamaan maupun sosial yang selalu diadakan di lapangan yang menjadi jantung kota Christchurch sejak pertama didirikan pada 1850. Â Ada juga gambar yang menceritakan evolusi atau perubahan yang terjadi di sekitar lapangan ini sejak dahulu hingga kini.
Saya berjalan terus menyusri Cathedral Square dan Hereford Street hingga kemudian menyeberang Manchester Street dan Madras Street, Suasana di sini sudah tidak seramai di Cathedral Square. Dan kemudian tepat di depan Latimer Square terdapat sebuah gereja yang unik. Bentuknya mirip tenda besar dan arsitekturnya sangat sederhana dan minimalis.
Ini lah gereja yang memiliki nama resmi Christchurch Transitional Cathedral dan sekilas berbentuk mirip sebuah tenda berbentuk huruf A sehingga tidak memiliki dinding yang vertikal. Â Dari luar terlihat bangunan yang lumayan besar dan cantik dengan dihias banyak kaca pateri berwarna kombinasi merah kuning hijau dan biru di bagian muka dan pintu utama yang terbuat dari kaca.Â
Saya masuk ke dalam beranda gereja dan ada di sini ada sebuah meja kecil berisi berbagai brosur dan juga sebuah buku daftar tamu yang mengunjungi gereja ini. Â Seorang petugas menyambut dan bersedia menemani kami dalam kunjungan sambil menjelaskan sekilas mengenai sejarah pembangunan gereja yang terbuat dari kardus ini.
Gereja ini dibuat pada awalnya sebagai gereja sementara karena Christchurch Cathedral mengalami kerusakan parah akibat gempa. Karena itu, Shigeru Ban, Â seorang arsitek berkebangsaan Jepang bersedia membuat rancangannya dan membuatnya berbentuk tenda dengan bahan utama dari kardus agar cepat selesai dan tidak memakan biaya yang banyak. Pada mulanya diperkirakan gereja ini dapat dibuka satu tahun setelah gempa. Namun ternyata gereja baru selesai abad 2013 dan terjadi perubahan rencana karena gereja ini akan terus dipakai sebagai gereja baptis yang dulu pernah berdiri di tempat ini sebelum gempa.
Di beranda ini juga ada sebuah poster yang menggambarkan anak-anak dan pemuda Choir atau kur gereja dari Christchurch Cathedral yang sedang bernyanyi di Transitional Cathedral. Â Sementara di sisi lain terdapat sebuah toko suvenir kecil dan poster tentang Grammar School yang ada di gereja.
Memasuki ruang utama, saya terpesona dengan atap gereja yang juga berfungsi sebagai dinding dan kemudian bertemu di atas membentuk sudut yang lancip dan curam. Â Di depan terdapat altar dan juga sebuah salib yang sederhana. Sebuahnya terbuat dari kayu atau kardus. Â Sementara deretan kursi yang juga terbuat dari kayu dengan warna coklat muda yang dominan seperti dinding sekaligus atap gereja kardus ini.
Di sebuah sudut , terdapat meja kecil dengan dua buah pot bunga dan sebuah kotak berisi lilin-lilin kecil yang dapat dipakai Jemaah untuk berdoa. Â Di atas meja ini ada beberapa lembaran kertas berisi doa dengan judul Pray for Peace.Â
Suasana di gereja di siang ini cukup sepi karena kebetulan tidak ada pengunjung lain. Dan setelah sekitar 15 menit berkunjung sambil mendengarkan cerita dari petugas, saya pun dengan perlahan meninggal gereja ini untuk kembali ke pusat keramaian di Cathedral Square sambil merenung bahwa gempa dahsyat pada Februari 2011 di Christchurch itu memang bukan hanya sebuah bencana, tetapi juga merubah jalan sejarah dan wajah kota ini. Termasuk berdirinya sebuah gereja atau katedral dari kardus yang cantik dan unik dengan arsitek yang berasal dari Jepang Sebuah negeri yang juga sering dilanda bencana gempa bumi dan tsunami.
Perjalanan menjelajah kota Christchurch dan kisah dua katedralnya mengingatkan saya akan sebuah kisah klasik yang ditulis oleh Charles Dicken, The Tale of Twi Cities. Namun kali ini tentang The Tale of Two Cathedrals.
Christchurch South Island
Foto: Dokpri
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H