Memasuki ruang utama, saya terpesona dengan atap gereja yang juga berfungsi sebagai dinding dan kemudian bertemu di atas membentuk sudut yang lancip dan curam. Â Di depan terdapat altar dan juga sebuah salib yang sederhana. Sebuahnya terbuat dari kayu atau kardus. Â Sementara deretan kursi yang juga terbuat dari kayu dengan warna coklat muda yang dominan seperti dinding sekaligus atap gereja kardus ini.
Di sebuah sudut , terdapat meja kecil dengan dua buah pot bunga dan sebuah kotak berisi lilin-lilin kecil yang dapat dipakai Jemaah untuk berdoa. Â Di atas meja ini ada beberapa lembaran kertas berisi doa dengan judul Pray for Peace.Â
Suasana di gereja di siang ini cukup sepi karena kebetulan tidak ada pengunjung lain. Dan setelah sekitar 15 menit berkunjung sambil mendengarkan cerita dari petugas, saya pun dengan perlahan meninggal gereja ini untuk kembali ke pusat keramaian di Cathedral Square sambil merenung bahwa gempa dahsyat pada Februari 2011 di Christchurch itu memang bukan hanya sebuah bencana, tetapi juga merubah jalan sejarah dan wajah kota ini. Termasuk berdirinya sebuah gereja atau katedral dari kardus yang cantik dan unik dengan arsitek yang berasal dari Jepang Sebuah negeri yang juga sering dilanda bencana gempa bumi dan tsunami.
Perjalanan menjelajah kota Christchurch dan kisah dua katedralnya mengingatkan saya akan sebuah kisah klasik yang ditulis oleh Charles Dicken, The Tale of Twi Cities. Namun kali ini tentang The Tale of Two Cathedrals.
Christchurch South Island
Foto: Dokpri
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H