Namun sisi yang paling menarik adalah pojok lain warung di mana terdapat kursi dan meja jadoel  dari kayu dengan model mebel kuno yang tempat duduk dan senderan terbuat dari bahan mirip rotan.  Di belakang meja kursi tamu ini ada hiasan  pintu yang terbuka terbuat dari kayu.  Di atas kusen tertulis angka 1971 dan Warung Simbok.Â
Di dinding putih di tengah pintu ada dua hiasan papan berlatar warna hitam dengan tulisan putih. Papan pertama bertuliskan Sehat & Rukun sedang papan yang kedua bertuliskan Love. Â Â
Benar-benar pesan-pesan yang membuat damai.  Di sisi kira dan kanan pintu juga ada tulisan serupa. Kali itu bertuliskan Just You & me serta Save your Time.  Dan pada daun pintu digantung lagi tulisan: Joy, Pray dan Hard Work serta Hati yang Gembira adalah Obat.  Sederhana sekali tetapi sangat menyentuh.
Selain itu pada bagian dinding yang lain , ada sebuah papan besar berlatar hitam dengan puluhan tulisan yang sepertinya tidak beraturan. Â Namun setelah saya perhatikan merupakan nama-nama upacara ritual tradisional Jawa.Â
Ada yang saya kenal maknanya seperti Selapanan, Selametan, Ruwahan, Nyewu , Nyatus dan Tirakatan, namun lebih banyak lagi yang pernah saya dengar namun belum tahu maknanya dan banyak yang sama sekali tidak saya kenal. Â Ada Mitoni, Tedak Siten, Nyadran, Jamasan, Merti Bumi, Gumbregan, Besik Kali, dan juga Labuhan.Â
Sambil menunggu makanan, Rasa penasaran membuat saya mencari makna beberapa istilah yang menarik. Â Â Salah satunya adalah Gumbregan yang ternyata merupakan suatu tradisi di Gunung Kidul yang sudah berusia ratusan tahun. Pada tradisi yang dilaksanakan untuk mengucapkan terima kasih atau bersyukur kepada sang pencipta ini ternyata hewan ternak seperti sapi diberi makan ketupat.
Selain Gumbregan , saya juga penasaran dengan istilah Merti Bumi yang kemudian diketahui merupakan suatu upacara tradisional di kawasan Sleman Yogya yang diadakan setiap Bulan Sapar. Upacara ini juga merupakan ungkapan terima kasih kepada Tuhan karena panen yang melimpah. Pada upacara ini air suci diambil di empat penjuru dan kemudian ada kirab keris pusaka yang dilengkapi dengan parade seni dan budaya dan bahkan juga pengajian.Â
Tidak lama kemudian, beberapa pesanan pun siap dihidangkan di meja. Ada ayam goreng, nasi merah, dan juga gudeg manggar serta cah kangkung. Minumannya cukup teh hangat, baik yang manis maupun tawar.Â
Hari makin malam dan warung rupanya akan segera tutup. Â Kami kemudian meninggalkan Warung Simbok ini dengan membawa kesan yang sangat mendalam. Banyak pesan-pesan oral yang dapat dipelajari di dindingnya yang sederhana. Belum lagi sederet nama-nama ritual maupun upacara dan tradisi Jawa yang hingga kini terus dilestarikan baik di Kabupaten Gunung Kidul maupun daerah lain di Yogyakarta.