Hari masih pagi ketika saya sedang bersantai di halaman rumah ketika seorang tetangga yang kebetulan lewat mengajak untuk ikut nonton parade prajurit  kraton.
"Ayo mas, di dekat pohon beringin Sompilan juga enak nontonnya," ajak tetangga itu sambil terus berjalan menyusuri Gang Pahlawan Abdul Hadi. Â Saya pun segera setengah berlari mengikutinya. Kami berdua berjalan dan kemudian belok kanan di Jalan Taman lalu terus ke utara dan sampai di persimpangan jalan di mana terdapat sebuah taman kecil yang ada sebuah pohon beringin.
Rupanya ini yang Namanya Beringan Sompilan, tukas saya dalam hati. Â Pohon beringin tua dengan akar-akar nya yang besar tampak angkuh. Â Di dekat pohon ini, ada sebuah rambu petunjuk tempat Wisata Istana Air Taman Sari yang sudah roboh dan dibiarkan saja bersandar ke batang pohon dan akar-akar yang menjuntai.Â
Di sekeliling pohon yang diberi dinding pembatas dari semen, ramai masyarakat duduk sambil menyaksikan  parade prajurit kraton, bahkan sampai memanjang berjejer di kedua tepi jalan Magangan Kulon.  Dan kemudian satu per satu peleton prajurit kraton berbaris rapi dengan seragam yang gagah dan unik  Seragamnya bermacam warna namun khas Yogya. Ada yang membawa senjata baik tombak dan ada juga yang berbaris sambil membawakan lagu-lagu lengkap dengan beragam alat musik.
Salah satu peleton memakai seragam warna putih-putih dengan strip merah di baju dan celana lengkap dengan ikat pinggang besar warna biru. Prajurit juga memakai sejenis topi warna hitam yang berhiaskan jambul warna kuning dan merah. Â Mereka memegang sejenis tombak yang panjang dan berbaris rapi dengan gaya jalan yang khas. Â Di depannya ada peleton lain yang pakaian seragamnya mirip namun membawa seperangkat alat musik.
Suasana parade makin meriah. Berikutnya lewat lagi satu peleton prajurit dengan seragam yang berbeda. Kali ini mengenakan baju Jawa lurik bergaris-garis. Â Prajurit ini memakai baju dalam terusan warna merah putih dan sepatu boot warna hitam. Â Juga ada gesper warna hitam menghias pinggang.
Di bagian depan membawa alat musik seperti drum dan suling sementara prajurit di bagian belakang membawa tombak panjang. Â Di bagian depan juga ada yang membawa bendera bergambar bintang merah segi delapan dengan latar hitam. Mereka berbaris rapi dan gagah sambil mengikuti melodi dari alat music yang dimainkan.
Asyik juga menonton parade prajurit kraton ini sambil kemudian saya baru sadar bahwa hari ini pas jatuh tanggal 12 Rabiul Awal atau hari Maulud Nabi. Â Rupanya parade prajurit ini merupakan salah satu rangkaian acara Grebeg Maulud yang memang diadakan setiap tahun di kota Yogya ini.
Tidak lama kemudian lewat lagi satu barisan prajurit dengan seragam yang sedikit berbeda. Walau celana dan baju dalam mirip tetapi baju luarnya mirip dengan jaket warna hitam. Demikian juga dengan topi hitam yang berbentuk  kerucut sehingga seakan-akan mirip tumpeng. Namun ada juga beberapa yang pola topinya agak lain dan memiliki hiasan mirip wayang dengan warna kuning emas.  Barisan prajurit ini tidak membawa alat musik atau tombak melainkan menyandang senjata laras panjang alias bedil.  Wah gagah juga Langkah kakinya yang tegap namun gerakannya tetap teratur rapi walau khas dengan nuansa sedikit santai.
Kembali ke acara Grebeg Maulud. Â Acara ini merupakan puncak peringatan perayaan Maulud Nabi Muhammad yang sudah secara tradisi dilaksanakan di Kraton Yogya sejak zaman Sultan Hamengku Buwono I dan konon diwariskan dari zaman Walisongo. Konon acara ini merupakan manifestasi penyebaran agama Islam melalui unsur budaya Jawa yang sudah ada sejak sebelum Islam.
Sebelum puncak grebeg Maulud pada tanggal 12 Rabiul Awal sempat diadakan berbagai acara pada beberapa hari sebelumnya. Rombongan parade prajurit ini biasanya akan diikuti oleh prajurit yang menunggang kuda
Setelah itu muncullah gunungan yang selalu ditunggu masyarakat . Gunungan ini biasanya terdiri dari makanan dan hasil bumi yang disusun membentuk krucut. Gunungan akan diarak menuju ke Masjid Gedhe dan kemudian di doakan sebelum akhirnya dibagikan atau diperebutkan oleh masyarakat yang mengharapkan mendapat berkah dari gunungan ini.
Biasanya ada tujuh buah gunungan dan hanya 5 yang dibawa ke masjid Gedhe, dua lainnya di bawah masing-masing ke menuju ke Kepatihan dan Pura Pakualaman.
Hari itu memang sangat istimewa. Di salah satu sudut jalan Magangan Kulon saya sempat menyaksikan sebuah becak yang parkir di dekat sebuah peta kuno kota Yogya yang berjudul "Djogjakarta Plattergrond Tempo Doeloe."  Bahkan di jalan-jalan kota Yogya di siang hari banyak pengendara motor yang memakai pakaian tradisional jawa lengkap dengan  beskap, kain, keris di belakang pinggang dan blangkon di kepala.Â
Yogya Desember 2016.
Foto-Foto: Dokumentasi Pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H