Tidak jauh dari prasasti ini, di salah satu patok kayu terdapat tulisan warna putih "Hamemayu Hayuning Buwana," pada selempeng kayu berwarna cokelat. Â Tulisan yang artinya mempercantik keelokan alam ini memang sering saya jumpai di Yogya dan merupakan salah satu jargon kearifan budaya lokal yang patut kita junjung, dukung dan hormati.
Dari sini ada tangga dari batu yang lumayan tinggi. Dengan perlahan saya mendaki setiap anak tangga yang kalau dihitung jumlahnya entah berapa, yang jelas beberapa puluh anak tangga. Â Nah kemudian di salah satu tikungan, dengan latar belakang pemandangan yang indah, ada Kota Wono Sari di kejauhan dan beberapa puncak bukit dan gunung, Â saya menemukan lagi enam lempeng papan kayu yang berisi tulisan selamat datang dan teman-temannya.
 "Selamat Datang di Embung Nglanggeran," tulisan ini diikuti dengan empat larangan dan satu ucapan terima kasih.  Empat larangan itu adalah berenang di embung, membuang/melempar apa pun ke dalam embung, masuk/duduk di dalam pagar embung, dan membuang sampah sembarangan. Ucapan terima kasihnya disertai pernyataan Anda Luar Biasa.  Benar-benar mengagumkan tanda selamat datang ini.
Saya melanjutkan mendaki puluhan anak tangga lagi untuk sampai ke embung alias empang atau kolam buatan. Â Begitu tiba di tepi embung, pemandangan nya benar-benar luar biasa. Terbayar sudah rasa Lelah setelah mendaki puluhan anak tangga tadi. Embung ini lumayan luas, menurut informasi yang saya dapat kemudian sekitar 2400 meter persegi dan permukaan airnya sangat tenang bagaikan sebuah telaga alam nan permai. Warna air yang kehijauan konon diakibatkan lumut yang menempel di dinding embung.Â
Embung atau telaga buatan ini memang dibuat selain untuk menampung air hujan dan juga dari pegunungan di sekitar, tentunya digunakan untuk pengairan perkebunan termasuk kebun duren yang kita lihat di bawah tadi. Â Â Kalau kita melihat ke deretan bukit uang ada di kejauhan, ada sebuah kampung yang Namanya Kampung Pitu alias Kampung Tujuh. Hal ini karena di kampung tersebut hanya ada tujuh keluarga. Menurut legenda kalau ada keluarga yang kedelapan, biasanya akan terjadi bencana atau cekcok sehingga akhirnya hanya tujuh keluarga yang tinggal.Â
Berjalan mengelilingi embung ini sangat mengasyikkan, walau Mentari bersinar dengan terik, rasa hangat dapat diusir dengan embusan angin sepoi sepoi. Maklum ketinggian embung ini sekitar 500 meter dari permukaan laut. Â Di tepi embung ada pagar yang mengelilingi sehingga kita merasa aman berjalan santai sambil menikmati pemandangan. Â
Saya berjalan dan mengambil gambar embung dari beberapa sudut yang cantik. Baik dari dekat maupun dari kejauhan. Tentunya untuk mengambi foto embung secara keseluruhan, saya harus kembali menaiki bukit kecil yang ada di dekatnya. Selain itu ada juga pondok kecil untuk beristirahat.