Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen - Dosen , penulis buku travelling dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Dari Gedung Joang 45 ke Es Krim Tjan Njan : Napak Tilas Kemerdekaan Bagian 1

15 Agustus 2022   09:55 Diperbarui: 15 Agustus 2022   11:03 1385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Gedung Joang 45 Menteng 31," demikian tertera dengan gagah pada fasad gedung yang tampak megah dengan tiang-tiang besar model Yunani ini.  Warna gedung yang dicat kuning muda membuat hati merasa tenteram sementara hiasan merah putih di depannya membuat hati menjadi bersemangat.

Di sini sudah berkumpul banya teman-teman Koteka Kompasiana yang akan mengikuti acara Napak Tilas Kemerdekaan bersama Koteka dan Wisata Kreatif Jakarta. Sebagian besar memakai kostum warna merah sesuai anjuran.

Tidak lama kemudian, Ira Latief muncul dan menyapa kami semua dengan ramah. Acara siang itu dimulai dengan saling memperkenalkan diri masing-masing dan dilanjut dengan sejenak menikmati makanan kecil yang sudah disediakan panitia. Lumayan buat mengganjal perut dan pengganti makan siang.

12 Pahlawan Nasional Perempuan: Dokpri
12 Pahlawan Nasional Perempuan: Dokpri

Tur di Gedung Joang 45 dimulai di beranda dengan mengenalkan 12 foto dan nama-nama Pahlawan Nasional Perempuan.  Menurut Ira Latief, sebenarnya ada 13 perempuan yang telah diangkat menjadi pahlawan Nasional, namun yang terakhir yaitu Laksamana Malahayati belum dimasukkan ke deretan foto ini.

Prasasti di Gedung Joang: Dokpri
Prasasti di Gedung Joang: Dokpri

Sejenak juga dijelaskan mengenai sekilas sejarah gedung yang pernah digunakan sebagai hotel paling mewah di Batavia yaitu, hotel Schomper. Sementara di dinding juga ada sebuah prasasti yang menceritakan lintasan sejarah Gedung Joang ini hingga akhirnya dijadikan museum oleh Gubernur DKI, Ali Sadikin dan selesai dipugar pada 17 Agustus 1974 seperti tampak pada prasasti lainnya.  

Relief tokoh-tokoh: Dokpri
Relief tokoh-tokoh: Dokpri

Memasuki gedung, kita akan disambut oleh relief dada para tokoh yang pernah berkiprah di Menteng 31 seperti Bung Karno, Bung Hatta, Adam Malik, Ahmad Subardjo dan juga Wikana, Sk Trimurti dan lain-lain. Selain itu banyak informasi lebih rinci mengenai peran gedung ini baik dalam masa penjajahan Belanda dan juga Jepang.

Ketika Jepang masuk gedung ini dikuasai oleh Sendenbu (Barisan Propaganda Jepang) dan baru pada Juli 1942 diserahkan kepada pemuda Indonesia seperti Adam Malik, Sukarni, Chaerul Saleh dan A.M Hanafi dan kemudian dijadikan asrama Angkatan Baru Indonesia. Dan gedung ini terus berubah fungsi sesuai dengan jalannya sejarah.

A.M. Hanafi : Dokpri
A.M. Hanafi : Dokpri

Di dalam gedung, kita dapat melihat sekilas biografi parah tokoh yang pernah mampir di sini. Salah satu yang menarik adalah tokoh A.M Hanafi yang merupakan tokoh kelahiran Bengkulu yang kemudian diajak BK ke Jakarta . A.M atau Anak Marhaen Hanafi ini sering disebut juga sebagai anak emas Sukarno dan pada akhir kekuasaan Sukarno, beliau ditugaskan menjadi Duta Besar di Kuba.   Ketika Orde Baru berkuasa A.M Hanafi menjadi eksil dan tidak bisa pulang ke Indonesia. Setelah beberapa tahun di Kuba, akhirnya beliau memutuskan indah ke Perancis dan mendirikan restoran Indonesia, Djawa Bali.   Kebetulan pada salah satu kunjungan saya ke Paris, saya juga sempat mampir ke restoran ini.

Poster zaman Jepang: Dokpri
Poster zaman Jepang: Dokpri

Di salah satu ruangan juga ada poster-poster propaganda zaman Jepang yang memang menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia. Salah satunya adalah slogan Nippon Pemimpin, Pelindung dan Tjahaja Asia. Ada juga dipamerkan buku pelajaran Bahasa Nippon yang memang digalakkan pada masa penjajahan Jepang tersebut.

Diorama Proklamasi: Dokpri
Diorama Proklamasi: Dokpri

Di sini, kita juga bisa menyaksikan berbagai diorama mengenai zaman perjuangan seperti pertemuan di Rengasdengklok sebelum proklamasi kemerdekaan dan juga pidato Bung Karno di hadapan ratusan ribu pendukung di Lapangan Ikada. Juga ada sebuah mini diorama suasana upacara penaikan bendera tepat setelah proklamasi kemerdekaan di Pegangsaan Timur 56 pada 17 Agustus 1945.

Tandu Panglima Sudirman: Dokpri
Tandu Panglima Sudirman: Dokpri

Sebuah tandu yang pernah dipakai oleh Panglima Sudirman juga ada di sudut ruangan yang lain. Selain itu ada juga baju seragam yang pernah dipakai TRIP, berbagai jenis senjata yang dipakai pada saat itu.  Berbagai ruangan ada di museum Gedung Joang ini.

Di sebuah etalase kaca juga dipamerkan foto-foto Bung Karno yang disertai dengan kata-kata mutiaranya yang terkenal seperti Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, Perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri.  Juga ada foto Bung Karno berboncengan sepeda dengan Bu Fatmawati dengan tulisan Laki-laki dan perempuan adalah seperti dua sayap dari seekor burung. Jika dua sayap sama kuatnya, maka terbanglah burung itu sampai ke puncak yang setinggi-tingginya. Jika patah satu daripada dua sayap itu maka tak dapatlah terbang burung itu sama sekali.

Kata Mutiara: Dokpri
Kata Mutiara: Dokpri

Yang tidak kalah menarik adalah, dipamerkannya beberapa buah kendaraan kepresidenan di bagian belakang gedung ini.  Sebenarnya ada tiga mobil yang pertama yaitu mobil presiden Sukarno ternyata sedang dipinjam untuk dipamerkan di Sarinah. Yang ada hanya mobil wakil presiden dan juga mobil Bung Karno hadiah dari Raja Arab Saudi yang pernah dipakai ketika Peristiwa Cikini pada Oktober 1957. 

Ketika berbincang mengenai Bung Karno dan Cikini  Ira Latief juga menjelaskan bahwa ada es krim favorit keluarga Bung Karno yang ada di kawasan Cikini yaitu Es Krim Tjanang yang dulunya bernama Tjan NjAn.  Perubahan nama ini konon karena di masa Orde Baru semua yang berbau Tionghoa memang dilarang.  Nah sekarang untuk menikmati es krim ini, masih ada gerai kecil di Hotel Cikini.

Es Krim Tjanang: Dokpri
Es Krim Tjanang: Dokpri

Selesai menikmati benda-benda yang dipamerkan di dalam gedung, rombongan kemudian melanjutkan perjalanan ke Museum Perumusan Naskah Proklamasi di Jalan Diponegoro.  Menurut rute aslinya karena berjudul Napak Tilas, seharusnya kami semua berjalan kaki ke sana. Tetapi karena jaraknya lumayan jauh dan cuaca kota Jakarta yang panas di singa hari, akhirnya kami memutuskan naik taksi online saja. 

Sekian dulu kisah napak tilas bagian pertama ini. Akan dilanjut dengan cerita dari tempat lainnya di bagian kedua.

Jakarta . Agustus 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun