Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen - Dosen , penulis buku travelling dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Memayu Hayuning Buwana: Dari Padang Rumput Menjadi Lautan Pasir

13 Agustus 2022   10:45 Diperbarui: 13 Agustus 2022   10:56 680
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sesudah sejenak mampir ke Kraton saya kemudian melanjutkan jalan-jalan menuju ke Alun-Alun Utara. Di sisi Barat saya bertemu dengan Masjid Gedhe Kauman. Sebuah masjid tua yang megah dan indah. Tampak pintu gerbangnya yang besar dan atapnya yang bersusun tiga di kejauhan. 

Masjid Gedhe Kauman: Dokpri
Masjid Gedhe Kauman: Dokpri

Sejenak saya memperhatikan ada sesuatu yang berubah di alun-alun ini.  Kalau dulu di balik pagar ini ada hamparan lapangan rumput yang hijau, kini sudah berubah menjadi  hamparan pasir.  Tampak lebih sakral dan mengandung misteri. Apa lagi dengan di pagar sekelingnya, kini alun-alun ini tampak sepi dan tidak bisa dimasuki sembarang orang.    

Saya berjalan di sekitar alun-alun yang sama dan kemudian memandang Kraton dari arah utara ke selatan. Tampak wajah depan kraton yang pertama kali saya kenal puluhan tahun yang lalu dan masih sama hingga kini.  Ini adalah Bangsal Pagelaran yang merupakan tempat diselenggarakan berbagai upacara seperti grebeg maulud.  Konon dahulu bangsal ini juga dijadikan tempat untuk menunggu tamu bagi sultan dan pernah digunakan sebagai tempat kuliah alias kampus Universitas Gadjah Mada ketika universitas ini baru berdiri pada tahun 1949.  

Kraton Yogya: Dokpri
Kraton Yogya: Dokpri

Kalau kita perhatikan, di bagian depan, di atas gerbang bagian atas ada hiasan gambar lambang kesultanan Yogya dan dua buah naga yang menghadap ke barat dan timur. Selain itu juga ada relief lima ekor lebah yang saling saling melingkar di atas seekor buaya. Ternyata relief ini merupakan candra sengkala atau sengkala memet yang kalau dibaca "Ponco Gono Saliro Tunggal", berarti tahun Jawa 1865. Tahun ini bersamaan dengan tahun 1934 Masehi yang menandakan pagelaran ini pernah direnovasi pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono ke VIII.

Saya terus berjalan ke arah timur, ada sebuah Sekolah Dasar yaitu SD Negeri Keputran I yang gedungnya di keliling pagar. Di depannya ada seorang penjual mainan yang sedang dikeliling beberapa muris sekolah berseragam putih merah.

SD Keputran : Dokpri
SD Keputran : Dokpri

Dan tidak jauh dari sekolah ini ada sebuah jalan menuju perkampungan. Di tepi jalan ini ada nama yang menunjukkan nama Kapung yaitu Kampung Musikanan.  Berdasarkan Namanya , kampung ini dulunya merupakan tempat tinggal abdi dalem yang memainkan alat music gesek dan tiup.  Konon pemain biola kondang Idris Sardi sendiri pernah tinggal di kapung ini dan kakek dan ayah nya juga masih termasuk pemain musik handal dari kampung Musikanan. Di sini kembali saya melihat dua orang murid sekolah berseragam putih merah yang sedang naik sepeda.

Kampung Musikanan: Dokpri
Kampung Musikanan: Dokpri

Saya kemudian berjalan menyusuri sisi Timur Alun-Alun ini dan menyeberangi Jalan Ibu Ruswo.  Saya sendiri kurang tahu sejak kapan jalan ini bernama Jalan Ibu Ruswo karena seingat saya dulunya bernama JalanYudonegaran walaupun pernah juga diganti menjadi Jalan Dwikora.

Di sudut Timur laut terdapat Jogya Gallery yang sekarang merupakan galeri tempat pameran. Ternyata dulu merupakan sala satu bioskop yang cukup terkenal di Yogya, yaitu Bisokop Sobo Harsono. 

Sambil berjalan terus mengelilingi alun-alun dari sebelah utara, saya sampai di pertigaan dengan Jalan Pangurakan yang dulu sempat bernama jalan Trikota. Dari sini, kalau melihat ke arah utara, kita akan melihat terus jalan Malioboro hingga ke Tugu dan bahkan Gunung Merapi, sementara kalau melihat ke selatan, tampak kembali Gerbang Karton Bangsa Pagelaran,  Dan juga terlihat dua buah Beringin Kurung yang ada di Alun-alun. Dinamakan Beringin Kurung , karena dua pohon besar ini dikurung dengan tembok berwarna putih. Dulu sekali sebelum alun-alun ini di beri pagar, ada jalan raya yang membelah alun-alun tepat berada di antara dua beringin ini.

Pagar Alun-alun: Dokpri
Pagar Alun-alun: Dokpri

Beringin ini juga ternyata memiliki nama , yaitu Kyai wijayandaru yang disebelah Timur dan kyai dewandaru yang di sebelah barat.  Bibit Dewandaru berasal dari Majapahit dan melambangkan hubungan manusia dengan sang pencipta, karena itu di sebelah barat terdapat Masjid Gedhe Kauman. Sementara bibit Kyai Wijayandaru yang dulu bernama Janadaru berasal dari Pajajaran. Wijayandaru sendiri berarti kemenangan dan melambangkan hubungan antara manusia.   Bahkan dulu di sekitar alun-alun ini ada lagi 62 pohon beringin sehingga kalau dijumlah akan ada 64 pohon beringin yang melambangkan usia Nabi Muhammad.

Saya berjalan terus dan kemudian sampai di depan pintu gerbang Museum Sono Budoyo yang merupakan salah satu museum paling lengkap di Yogya.  Di sini ada baliho pertunjukan wayang orang, cerita panji dan juga kesenian rakyat yang secara pergantian digelar di museum ini setiap malamnya.

Baliho: Dokpri
Baliho: Dokpri

Kini, saya kembali ke Tahun 2022 ketika saya kembali melihat Alun-alun ini sudah rapi dan dipenuhi pasir yang konon di ambil dari kawasan SG atau Sultan Ground alias tanah milik sultan di seantero Yogya .   Tujuan utama mengganti hamparan alun -alun utara dari rumput menjadi pasir adalah untuk mengembalikan ke fungsinya seperti dulu. Konon aslinya dulu alun-alun ini juga merupakan hamparan pasir sesuai dengan konsep laut tanpa pantai.

Bahkan mengembalikan alun-alun utara dari padang rumput menjadi lautan pasir ini sesungguhnya sesuai dengan kearifan budaya Jawa yang diejawantahkan dengan konsep Memayu Hayuning Buwana yang bisa diterjemahkan dengan kata Memperindah Kecantikan Dunia.

Semoga alun-alun ini menjadi lebih indah dan nyaman dengan menjadi lautan pasir. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun