Sebenarnya tujuan utama ke Kotagede pagi itu adalah untuk mengambil kue Kipo yang telah saya pesan sebelumnya. Tentu saja sekalian jalan-jalan mampir ke Masjid dan Makam Raja-Raja Mataram yang pernah saya kunjungi beberapa tahun lalu.
"Museum Kotagede Intro Living Museum," demikian sebuah tulisan terlihat di tembok di tepi jalan ketika kendaraan melewati Jalan Tegal Gendu. Rasa penasaran membuat kami berbalik dan kemudian masuk ke halamannya yang tidak terlalu luas. Hanya bisa memuat beberapa kendaraan saja.
Seorang lelaki muda berusia sekitar 25 tahun menyambut ramah dan menginformasikan bahwa sebelum masuk, pengunjung diminta melakukan reservasi melalui QR. Selain itu saya juga menuliskan nama dan informasi lainnya di sebuah buku tamu. Asyiknya masuk ke museum ini sama sekali tidak dipungut bayaran, alias gratis. Selain itu juga ada sebuah backdrop dengan gambar fasad museum dan informasi bahwa jam buka museum.
"Kami mohon maaf, karena sedang ada renovasi, mungkin kunjungan akan sedikit terganggu," demikian ucapan pemuda tadi sambil mempersilahkan masuk.  Masuk ke beranda, saya terkesan dengan  lantai bangunan yang merupakan ubin khas zaman dahulu dengan kombinasi warna kuning genteng dan biru tua  nan rancak.  Di sini terlihat beberapa tukang sedang melakukan kegiatan renovasi.
Namun setelah masuk ke bagian dalam, ternyata tidak ada lagi pekerjaan dan pengunjung dapat dengan bebas menikmati museum yang gratis ini. Pagi menjelang siang itu, kebetulan tidak ada pengunjung lain dan belakangan saya hanya bertemu dengan dua atau tiga pengunjung lain. Â Di sini ada informasi bahwa museum ini dibagi dalam empat klaster yaitu klaster situs arkeologi dan lanskap sejarah, klaster kemahiran (teknologi) tradisional, klaster sastra-seni pertunjukan-adat tradisi dan kehidupan keseharian, dan klaster pergerakan sosial kemasyarakatan.
Ruang pertama yang dimasuki ternyata termasuk klaster pertama yaitu arkeologi dan lanskap sejarah yang membeberkan fakta cukup rinci mengenai situs Watu Gilang dan Watu Genthong yang ada di Kota Gede. Dijelaskan bahwa Watu Gilang merupakan sebuah batu datar berbentuk persegi yang ditemukan di cepuri Kraton Lama di Kota gede. Watu ini ditemukan di tempat yang sama dengan Watu Gatheng dan Watu Genthong dan ketiganya merupakan peninggalan Kerajaan Mataram.Â
Selain itu, Watu Gilang juga diyakini sebagai singgasana Panembahan Senopati dan pada salah satu sisi terdapat lekukan sebesar dahi yang diduga sebagai bekas tempat kepala Ki Ageng Mangir yang dibenturkan pada batu ini sehingga beliau meninggal. Â Yang menjadi kontroversi adalah tulisan dalam berbagai bahasa asing seperti Latin, Perancis, Belanda dan Italia pada batu tersebut yang diduga tulisan pelaut Eropa yang terdampar di sana.
Museum ini juga banyak menggunakan teknologi mutakhir untuk memberikan informasi kepada pengunjung sehingga lumayan interaktif dan tidak membosankan. Ini dapat disaksikan dengan sebuah film yang otomatis hidup ketika kita berada di ruangan tertentu.Â
Apa itu Rumah Kalang?  Rumah Kalang ternyata memiliki arsitektur yang unik karena merupakan perpaduan antara gaya Indish dan Jawa serta memiliki unsur hiasan ornamen Art Deco dan gaya Art Neuveau.  Wah lumayan banyak istilah arsitektur yang harus kita pelajari lagi.  Sementara kalau kita lihat dari depan, salah satu ciri khas rumah ini adalah adanya kanopi di pintu utama dan atapnya yang khas bertumpuk.  Sementara, unsur Jawa juga hadir dengan  adanya tiang berumpak.  Dan yang menjadikan rumah ini memiliki kesan mewah adalah banyaknya kaca patri warna warni pada jendela, pintu dan sudut-sudut rumah dan tegel bermotif untuk menghiasi lantai dan dinding bagian bawah.  Mungkin ini merupakan pengaruh Eropa. Lalu apa itu Orang Kalang? Ternyata orang  Kalang merupakan sub etnis Orang Jawa yang sudah sejak lama ada di Nusantara namun dalam sejarahnya pernah diasingkan karena berbagai alasan.
Saya kemudian masuk ke ruangan lain yang ada di bagian samping bangunan utama. Sebuah ruangan yang tidak terlalu besar tetapi memiliki pintu yang cantik dengan hiasan kaca patri dan tulisan B.H Noeriah. Kali ini ada angka tahun 1862 dan 1931. Di dalam ruangan ini ada display elektronik berupa video yang otomatis mendapat tenaga listrik ketika kita masuk. Di sini saya dapat menyaksikan proses pembuatan Kue Kipo dan Kembang Waru yang merupakan camilan khas Kota Gede.
Di ruangan lain juga dipamerkan beberapa gambar punakawan di dinding dan juga ada video yang menampilkan sekelumit kisah sastrawan dan penggiat budaya yang berasal dari kawasan Kota Gede. Kembali tata ruang dan letak interiornya membuat saya kagum. Ada yang dindingnya dicat hijau sementara di lantai diberi tanda kaki di mana ketika menapak di lantai tersebut sensor otomatis memberi power untuk video yang bisa kita nikmati kisahnya.
Kembali ke bangunan utama di ruang tengah yang terbuka terdapat sebuah kolam yang cantik dan sebuah tangga menuju ruangan di bawah tanah. Di beranda tengah ini juga dipamerkan maket museum dan di sudut lain ada sebuah delman yang cantik. Â Pintu dan jendela besar menghiasi sudut-sudut rumah dan semuanya memiliki warna hijau dengan nuansa garis -garis dan ornamen warna putih kekuningan.
Di salah satu ruangan yang terletak di bagian belakang rumah, ada semacam teater atau ruangan bioskop yang otomatis hidup ketika kita masuk. Filmnya ditayangkan dalam layar yang ada di ke empat dinding dengan urutan yang mengasyikkan dan kisahnya mengenai tokoh dan sosok pergerakan sosial yang berasal dari Kota gede.
Walau museum ini tidak terlalu besar dan luas dan dulunya merupakan sebuah rumah tinggal, namun ternyata memberikan informasi yang cukup lengkap sebagai intro atau perkenalan terhadap potensi wisata, budaya, sejarah dan kuliner yang dimiliki Kotagede.
Tidak salah jika Namanya Intro Living Museum. Sebuah museum hidup yang membuka cakrawala baru buat Kotagede. Singkatnya sebelum wisata di Kota Gede, kita semua wajib mampir kesini dulu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H