Hari sudah menjelang malam ketika kendaraan kami tiba di kawasan Piyungan dengan tujuan akhir Obelix Hill dengan hanya bermodalkan Google Map di gadget. Â Jalanan mulai memasuki jalan-jalan kecil dan kemudian mendaki ke bukit sesuai daerah tujuannya yang memang berada di bukit.Â
Namun ada pengalaman yang cukup berharga dalam perjalanan ini adalah harus tetap waspada jika mengikuti peta di gadget dan tetap harus melihat petunjuk jalan. Di sebuah jalan yang menanjak, menurut peta kami hanya berjarak sekitar 2 kilometer dari tujuan dan harus berbelok ke kiri. Namun sebelum berbelok, saya sempat agak ragu karena jalan yang dilewati terlihat sangat sempit dan hanya cukup untuk satu kendaraan.
Untungnya kemudian ada seorang pemuda yang mengatakan bila hendak ke Obelix Hill harus tetap mengikuti jalan yang lurus. Menurutnya jalan yang belok ke kiri tidak bisa dilalui kemdaraan roda empat  dan terlalu curam. Dan ternyata di sini sebenarnya juga ada arah petunjuk jalan. Walau setelah mengikuti jalan ini, rute di gadget berubah menjadi lebih jauh dan memutar.
Perjalanan selanjutnya mengikuti jalan yang memang sempit berbelok dan juga menanjak. Yang lebih mendebarkan adalah suasananya yang sudah gelap dan sama sekali tidak ada penerangan. Bahkan seakan-akan melewati hutan dengan pepohonan bambu yang cukup lebat. Terlebih, kendaraan kami hanya sendirian saja karena tidak ada mobil atau motor yang naik bersamaan. Bahkan juga tidak ada kendaraan yang turun waktu itu.
Akhirnya setelah sekitar 15-20 menit berkendara dalam suasana cukup mencekam barulah terlihat lampu-lampu terang tempat wisata ini. Pintu gerbang yang besar dan jalan yang lebar serta kemudian sampai di tempat parkir. Suasana tidak terlalu ramai karena bukan akhir pekan dan kami tiba sudah menjelang malam.
Setelah membayar tiket kami masuk dan melihat-lihat. Ada sebuah poster yang menjelaskan tempat-tempat alias spot foto di sini seperti Eagle Nest, The Edge, dan juga Sunset on the rock. Rupanya tempat wisata di bukit kawasan Sleman ini juga menjual spot foto terutama waktu matahari terbenam.
Kami masuk ke kawasan dan melihat sebagian tempat tersebut dengan pemandangan lampu-lampu kota Yogya di bawah sana. Â Tentu saja mataharinya sudah lama menghilang. Namun embusan angin malam masih terasa menyejukkan dan memberi kesegaran setelah sempat merasakan suasana sedikit mencekam ketika mendaki ke bukit.
Karena kontur yang berbukit-bukit.. kita dapat melihat bangunan di bawahnya dengan bentuk atap yang berupa tenda-tenda putih mirip kemah di Arafah. Â Di sini ada banyak tempat foto yang bertuliskan Obelix Hills yang kalau malam menyala untuk menandakan lokasi di mana kita berada.
Ada  juga sebuah caf dan resto yang menyediakan hiburan life music.  Walau suasana tidak terlalu ramai, hiburan music cukup menghangatkan malam. Apa lagi pengunjung juga diperbolehkan menyumbangkan beberapa lagu. Sambil menikmati makan malam, lumayan juga mendengarkan lagu-lagu yang riang.
Tidak terasa, waktu hampir menunjukkan pukul 9 malam. Para pemain musik kemudian bersiap-siap minta diri dan satu persatu pengunjung kemudian meninggalkan caf untuk kembali ke  tempat parkir. Ketika kami sampai di tempat parkir, hanya tinggal beberapa kendaraan yang masih ada . Yang banyak adalah sepeda motor yang masih parkir. Mungkin milik para karyawan yang bekerja di sini.  Di depan sini, saya juga masih sempat mengambil foto tulisan Obelix Hill.
Jalan menurun sebenarnya sama dengan waktu menanjak, namun karena ada teman satu kendaraan lain dan juga ada beberapa sepeda motor yang kebetulan turun, suasananya lebih santai dan tidak begitu mencekam.
Akhirnya sekitar satu setengah jam kemudian. Kami tiba kembali di pusat kota Yogya. Sebuah perjalanan yang menarik dan mencekam ke Obelix Hill.
Yogya,Juli 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H