Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen - Dosen , penulis buku travelling dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Ini yang Membuat Trip ke Pantai Kesirat Ngeri-Ngeri Sedap

8 Juli 2022   09:29 Diperbarui: 10 Juli 2022   12:17 1138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah bersantai menikmati Teras Kaca dan HeHa Ocean, masih ada lagi beberapa tempat yang bisa dikunjungi di kawasan Panggang, Gunung Kidul.   Akhirnya kami memilih bertandang ke Pantai Kesirat.  Sebenarnya dalam perjalanan menuju Teraskaca, kami hampir salah belok menuju Pantai Kesirat karena mengikuti kendaraan di depan. 

"Tiket masuk sewaktu kesini, bisa dipakai lagi untuk ke Pantai Kesirat," ujar petugas parkir di Heha menjelaskan ketika kami bertanya jalan menuju ke sana.  Dia juga menjelaskan sebenarnya ada jalan pintas tetapi kondisinya jelek sehingga menyarankan lewati memutar melalui jalan utama.

Rasa penasaran membuat kami menuju ke sana mengikuti peta di gadget.  Jarak sekitar 8 Km dan dapat ditempuh sekitar 20 menit.  Kami kembali ke tempat persimpangan menuju ke Pantai Kesirat, ternyata jalannya, walaupun dalam kondisi bagus, mulai menyempit sedikit. Sebagian sedang diperlebar dengan beton. 

Kira-kira 1 Km, ada pos pemeriksaan tempat membeli tiket masuk. Karena tadi sudah membayar di pintu masuk menuju kawasan Pantai Geseng dan Heha Ocean Vieuw/ Teraskaca, kami hanya menyerahkan tiket tadi yang langsung diambil oleh petugas. 

Selepas pintu penjagaan, jalan kian menyempit dan hanya cukup untuk satu kendaraan saja. Jika berpapasan dengan sepeda motor, kendaraan harus melambat.  Jalan juga ada yang berkelok dan sesekali menanjak atau menurun.  Pengemudi harus berhati-hati sebelum belokan yang sempit karena khawatir ada kendaraan dari arah yang berlawanan.

Untungnya selama perjalanan sepanjang hampir 4 kilometer, kami hanya sekali berpapasan dengan mobil. Kendaraan itu kemudian berhenti agak menepi, dan kendaraan kami berjalan dengan sangat perlahan agar yakin tidak menyerempet kendaraan atau jatuh ke luar jalan. 

Perjalanan dilanjut kembali dan melewati arah ke Puncak Segoro dan lalu ada sebuah tempat parkir ke Pantai Wodhoku..   Untuk sampai ke pantai Kesirat masih harus melewati jalan yang sempit dan menurun serta ada belokan yang cukup tajam. Sebelum lewat sini harus meyakinkan dulu tidak ada kendaraan yang berpapasan dan seandainya ada lebih baik menunggu di tempat yang agak lebar.

Warung: Dokpri
Warung: Dokpri

Akhirnya kendaraan kami sampai di parkiran Pantai Kesirat. Wah lumayan bagus dan tertata rapi. Walau tidak terlalu luas tetapi memili atap sehingga baik motor atau mobil tidak kepanasan. Hanya ada sebuah mobil warna merah yang parkir dan kendaraan kami segera parkir di sebelahnya.

Di dekat tempat parkir ini, ada beberapa warung dan juga toilet dan musala.  Kami kemudian memesan kelapa muda, nasi goreng dan ada juga indomi dan makanan kecil. Harga di tempat ini juga cukup bersahabat.

"Untuk menuju pantai harus jalan sekitar 300 meter", jelas ibu tadi sambil mengupas kelapa muda dengan golok. Ia tampak sangat cekatan memainkan golok yang sekilas terlihat sangat tajam.

Gapura: Dokpri
Gapura: Dokpri

Sambil menunggu keluarga yang masih makan di warung, saya berjalan sendiri menuju pantai. Sebuah gapura sederhana menyambut dengan tulisan Kesirat di atasnya. Sementara di tempat parkir ada spanduk Titipan Motor Tanjung Kesirat. Di kaki gapura ada sebuah prasasti yang menjelaskan bahwa gapura ini dibangun dengan dana desa sebesar 10 Juta Rupiah pada 2019 lalu.  Wah baru kali ini saya menemukan sebuah prasasti untuk sebuah gapura di sudut sebuah tanjung di pantai selatan Gunung Kudul.

Prasasti: Dokpri
Prasasti: Dokpri

"Piyambak Pakdhe?," seorang pemuda yang menjaga warung kecil di teapi jalan bertanya sambil menawarkan untuk mampir sejenak.   Saya menjawab bahwa saya bersama keluarga dan memutuskan berjalan lebih dahulu ke pantai sambil menjelaskan baru saja minum kelapa muda di warung depan dekat tempat parkir.

Saya terus berjalan menyusuri jalan kecil yang tertata cukup rapi dan terbuat dari berton. Jalan ini sesekali berundak menurun menuju ke arah pantai.  Di sisi jalan pepohonan makin lebat dan saya merasa berada di hutan. Apa lagi saat itu sama sekali tidak ada pengunjung lain.  Suara burung-burung kecil berkicau pun terdengar. Embusan angin senja dan deburan ombak di kejauhan terus memanggil.

"Piyambak Pakdhe?" Seorang pemuda menegur saya ke tika dia berjalan mendahului sambil membawa sebuah golok.  Karena agar terkejut saya tidak langsung menjawab sehingga dia menerjemahkan pertanyaan itu ke dalam bahasa Indonesia.  Saya kemudian mengangguk dan pemuda itu kemudian menghilang ke balik pepohonan yang lebat sambil menebaskan goloknya ke ranting pohon.

Jalan setapak: Dokpri
Jalan setapak: Dokpri

Saya terus berjalan dan kemudian bertemu dengan sepasang pemuda dan pemudi yang baru saja dari pantai. Keduanya terlihat cukup berkeringat seakan habis mendaki.  Jalan setapak memang kian menurun.  Saya sempat bertanya apakah pantai masih jauh, dan dijawab bahwa sekitar 100 atau 200 meter lagi. 

Akhirnya saya pun tiba di pantai. Di kejauhan tampak perpaduan tebing dan hempasan ombak di bawah langit na biru. Mentari masih bersinar dengan terik di ujung senja. Rasanya sangat damai sekali berada di alam bebas nan sepi. Sesekali bulu kuduk terasa berdiri dan saya merasa tidak sendiri. Namun ketika melihat ke sekeliling, tidak ada siapa-siapa kecuali angin, pepohonan, burung-burung dan langit biru.

Petunjuk: Dokpri
Petunjuk: Dokpri

Puas berada di tepi pantai dan karena merasa sering diawasi, saya kemudian memutuskan kembali ke tempat parkir. Walau jalan sedikit menanjak, akhirnya saya tiba kembali di warung.

"Boleh numpang untuk cas hape," tanya saya sambil mengeluarkan kabel.

"Maaf Pak, di sini belum ada listrik dan genset hanya dihidupkan di malam hari,"  Jawaban ibu tersebut membuat saya kaget sejenak. Baru kemudian saya juga sadar bahwa bukan hanya listrik, di kawasan Kesirat ini juga tidak tersedia sinyal.

Kian sore, makin banyak pengunjung yang datang dengan tujuan melihat sunset dan juga berkemah. Ada rombongan pemuda sekitar beberapa belas orang yang juga ingin berkemah. Mereka membawa banyak peralatan dan datang menggunakan sepeda motor. Ada juga dua mobil yang datang lagi.

Ketika kami akan pulang, ibu penjaga warung dan seorang bapak tukang parkir juga berbicara tentang jalan akses yang sempit menuju ke jalan raya. Dia juga memberi tips bahwa kendaraan yang turun harus memberi jalan buat kendaraan yang naik dan diharapkan mematikan AC terutama saat mendaki.

Kendaraan bergerak perlahan, membunyikan klason sebelum setiap persimpangan dan memastikan bahwa tidak ada kendaraan yang akan berpapasan sebelum emlaui bagian jalan yang sempit dan tidak ada ruang untuk menepi.

Sepanjang perjalanan, kendaraan kami hanya berpas-pasan dengan satu mobil. Hanya sekali di persimpangan yang cukup tajam kami bertemu dengan sebuah truk kecil. Untungnya ada beberapa orang lelaki yang memberikan peringatan sebelumnya dan di situ ada ruangan tanah yang cukup lebar untuk mobil menepi dan memberi jalan buat truk itu.

Jalan-jalan ke Pantai Kesirat memang mengasyikkan, walau jalannya ngeri-ngeri sedap, suasananya juga seram-seram nikmat serta belum ada listrik dan sinyal di sana.

Yogyakarta, Juli 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun