Perjalanan di Pusat Kota Bandung dilanjutkan dari persimpangan Jalan Braga dan Asia Afrika, tepatnya di depan Gedung Merdeka yang juga berfungsi sebagai Museum Konferensi Asia Afrika. Â
Gedung ini konon dulunya merupakan gedung pertemuan untuk golongan elite di zaman Hindia Belanda dan bernama Soceitet Concordia. Tampak sebuah Bus Bandros warna kuning sedang melintas di depan Gedung belok kanan menuju Jalan Asia Afrika.
Kalau Bandros belok kanan, maka saya yang berjalan kaki belok ke kiri. Â Di sini saya berjumpa dengan Gedung Pikiran Rakyat yang beralamat di Jalan Asia Afrika no. 77. Â Di kaki lima yang nyaman , banyak tersedia kursi tempat pejalan kaki bersantai. Ada juga sebuah ATM di tepian jalan. Â Saya ingat bahwa di depan gedung ini dulu ada koran dinding tempat pejalan kaki bisa membaca koran Pikiran Rakyat dengan gratis, Sepertinya sekarang sudah tidak ada lagi.
Namun di seberang gedung itu, ada sebuah hotel yang menjadi ikon kota Bandung. Hotel Savoy Homann yang konon merupakan salah satu hotel bertaraf internasional yang ada di ibu kota Jawa Barat ini. Hotel ini tampak cantik manis dengan model arsitektur Art Deco yang khas dengan lengkungannya yang menawan. Saya juga teringat pernah menginap di sini beberapa tahun yang lalu.Â
Tepat di kaki lima di depan Hotel Homan ini ada sebuah prasasti mengenai Dasa Sila Bandung yang ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Inggris serta di bawahnya ada gambar bunga warna kuning dan tulisan Bandung warna hijau. Mungkin melambangkan Bandung sebagai kota kembang. Â Di bawahnya ada tulisan "Welcome to Bandung. The City of The Asian African Conference."
Napak tilas di Jalan Asia Afrika dilanjut menuju ke arah alun-alun. Tepat di seberang Gedung Merdeka, ada lagi sebuah gedung tua yang sejak dulu selalu tertutup. Nah gedung ini dinamakan Gedung Warrenhuis De Vries. Namun di atas pintu utama juga tertulis OCBC NISP.
Di dekat pintu juga ada sebuah prasasti yang menyatakan bahwa ini adalah Gedung Bank OCBC NISP yang didirikan pada 1919 dengan arsitek Edrward Cupers & Hulswitt. Disebutkan juga pada awalnya dibangun sebagai rumah tinggal dan kemudian menjadi semacam toserba bernama Warrenhuis De Vries. Â Kalau dulu saya sering sekali lewat gedung ini tanpa mengetahuinya, kini dengan berjalan kaki dan membaca prasasti, setidaknya saya dapat lebih mengenal gedung ini.Â
Di kaki lima jalan ini juga terdapat beberapa spanduk yang menunjukkan lokasi tempat parkir di belakang gedung. Saya ingat di lokasi sekitar sini dulu ada sebuah Gedung bernama Palaguna Shopping Centre yang kalau itu merupakan mal paling megah di Bandung dan juga ada bioskop tempat saya pernah nonton film The Killing Field. Â Sepertinya lahan kosong tempat bekas Palaguna ini sekarang dijadikan tempat parkir kendaraan.
Menyeberang kembali jalan Asia Afrika dan sampai di depan Gedung Merdeka. Di sini banyak spanduk mengenai Fun Game dengan tema Bike to  Tribute to Ir. Sukarno.  Rupanya disini akan menjadi tempat awal dan finish lomba bersepeda itu.  Bahkan saya juga baru tahu bahwa Jalan di tepian Sungai Cikapundung di sebelah Gedung Merdeka ini juga bernama Jalan Dr. Ir. Sukarno.
Menyeberang jembatan Cikapundung, ada tugu Asia Afrika yang berbentuk sepuluh susunan batu marmer yang mungkin juga bisa berfungsi sebagai air mancur. Di dekat sini kitab isa melihat sisi kehidupan kawasan Asia Afrika yang lain. Banyak orang berkostum hantu, noni Belanda, Boneka Pikachu, atau bahkan hantu yang menyeramkan dan juga super hero berpose menanti pejalan kaki dan wisatawan yang mengajak berfoto bersama. Di dekat sini juga ada lukisan mural yang cantik. Â Lokasinya tepat di Kantor PLN.
Setelah itu, saya menyeberangi Jalan Cikapundung dan melewati sebuah terowongan di bawah semacam jembatan. Â Di seberang jalan, di dinding terdapat tulisan yang menarik yang merupakan kutipan M.A.W Brouwer: "Bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum." Â Kutipan ini merupakan pujian bagi keindahan tanah Pasundan ini. Dan nama M.A.W Brouwer sendiri kembali membawa ingatan saya ke tahun 1980an ketika sering membaca artikel tulisan beliau di Harian Kompas.Â
Beliau kala ini menjadi dosen di Universitas Katolik Parahyangan dan Universitas  Padjadjaran.  Walau menghabiskan sebagian besar hidupnya di Indonesia, ternyata permohonan beliau untuk menjadi warga negara Indonesia ditolak dan akhirnya beliau kembali ke negeri Belanda dan meninggal di sana.
Di sisi lain terowongan kecil ini ada lagi sebuah kutipan dari Pidi Baiq: Dan Bandung bagiku bukan cuma maslah geografis, lebih jauh dari itu melibatkan perasaan, yang bersamaku ketika sunyi. Â Terus terang nama ini agak asing bagi saya dan ternyata tulisan ini sudah mejeng di sini sejak 2015 lalu yang merupakan bait lagu Pidi Baiq, seorang seniman asal Bandung.
Tidak terasa saya akhirnya sampai di dekat alun-alun. Â Di sini sebuah monumen Asia Afrika menyambut. Â Dan biarlah kisahnya akan ditulis di lain waktu.
Bandung, Akhir Juni 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H