Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen - Dosen , penulis buku travelling dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bikin Miris, Ini Beda Parkir di Jakarta dan Singapura

22 April 2022   09:39 Diperbarui: 22 April 2022   09:43 938
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petunjuk Berbagai Resto di East Coast: Dokpri

Salah satu  masalah yang belum ada jalan keluar yang jitu dihadapi Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia adalah sistem perparkiran.  Selain tempat-tempat parkir komersial di mal, maka sistem parkir di  tepi jalan memiliki potensi pendapatan yang lumayan, namun selama ini hilang entah ke mana.

Untuk itu Pemda DKI sendiri sudah pernah mencoba menerapkan sistem parkir menggunakan meteran seperti yang digunakan di banyak kota-kota besar lain di dunia. Namun ternyata hal tersebut belum bisa memecahkan masalah.

Sebelum membahas lebih lanjut, mari kita melihat sejenak perparkiran di Singapura, negeri kecil berbentuk kota atau pulau yang sering dijuluki sedikit skeptis sebagai "The Little Red Dot".

Setiap kali saya ke Singapura, bila sempat, sobat lama saya ini sebut saja inisialnya JC selalu menjemput ke hotel untuk kemudian makan malam di berbagai tempat di Singapura. Dari restoran di pusat kota, hingga Food Court di seantero Singapura, hingga juga kawasan seafod di East Coast.

Ia selalu mengendarai kendaraan sedan berwarna putih yang sebenarnya tidak terlalu mahal, namun yang mahal adalah COE atau Certificate of Entitlement yang membuat hanya warga dengan penghasilan tertentu saja yang bisa memiliki kendaraan.

Singkatnya, malam itu sehabis pulang kerja, JC sudah menjemput saya di hotel di kawasan Bugis. Kali ini dia mengajak menikmati Seafood di East Coast, saya sebenarnya sudah sering ke sini, namun lebih banyak naik taksi. 

Tempat parkit di kawasan East Coast merupakan tempat yang terbuka dan tidak ada penjaga, tidak ada palang hanya berbentuk lapangan dan marka tempat parkir.  

Pada awalnya saya mengira tempat parkir ini gratis sampai ketika teman saya mengeluarkan selembar kupon dan kemudian menandainya dengan tanggal dan juga waktu.

Dia menjelaskan bahwa walau tidak dijaga, kita harus tetap membayar parkir. Kupon parkir itu sudah dibelinya sebelumnya dan kemudian bila kita gunakan makan kita harus menandainya dengan tanggal dan berapa jam kita harus parkir. Kupon yang sudah dipakai tidak bisa digunakan lagi. Biaya parkir 50 Sen per jam.

"Lalu bagaimana kalau kita tidak bayar?" tanya saya.

JC menjelaskan kemungkinan besar tidak terjadi apa-apa karena di kawasan itu jarang sekali yang mengecek, Namun kalau lagi sial tidak bayar dan ketahuan, maka akan mendapatkan denda yang cukup besar. Intinya disiplin dan kejujuran memainkan peran yang penting dalam sistem ini.

Masjid Al Azhar : Dokpri
Masjid Al Azhar : Dokpri

Lalu saya ingat tentang sistem parkir meter di tepi jalan-jalan utama kota Jakarta dan juga Bekasi yang dipasang pemerintah sejak beberapa tahun lalu. 

Saya masih ingat di kawasan sekitar Taman Galaxy di Bekasi pernah parkir menggunakan meteran ini. Walau belum swalayan, saat itu kita dibantu oleh petugas parkir menggunakan mesin parkir tersebut.  

Namun sekarang Sebagian besar mesin parkit itu sudah tidak ada, dan walaupun masih ada sudah tidak digunakan lagi. Kita masih menggunakan sistem bayar langsung tunai ke tukang parkir dan juga tanpa karcis.

Baiklah, kejadian itu contoh di Bekasi. Namun di kota yang lebih modern seperti Jakarta pun kejadian yang sama masih terjadi. Beberapa hari lalu saya sempat mampir ke Masjid Al Azhar di Kebayoran Baru. 

Selain tempat parkir berbayar di halaman masjid, kita juga dapat menggunakan parkir pinggir jalan yang menjadi tempat parkir untuk kendaraan yang mengantar dan menjemput anak sekolah di sana.

Mesin Parkir di Jakarta: Dokpri
Mesin Parkir di Jakarta: Dokpri

Beberapa mesin parkir meteran masih berderet rapi di sana. Ketika saya memarkir kendaraan, tukang parkir berseragam juga siap membantu. Namun ketika ditanya apakah kita bisa menggunakan mesin untuk parkir kira-kira dua jam. Tukang parkir itu hanya tersenyum.

"Sekarang sudah tidak pakai mesin parkir, Nanti bayar saya langsung ke saya setelah parkir,"

Singkatnya praktik parkir kembali ke masa sebelum tahun 2015 ketika mesin-mesin seperti ini mulai dipasang di berbagai jalan utama di Jakarta.  Ini hanya satu kejadian, bagaimana di tempat lain, mungkin ada pembaca yang bisa menceritakan pengalamannya?

Singkatnya budaya dan disiplin yang membedakan Singapura dan Jakarta.  Kalau kita memakai sistem kupon seperti di Singapura pun, mungkin lebih banyak orang yang tidak membayar parkir.

Bagaimana menurut pembaca?

Jakarta April 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun