Sejak 2016 lalu, kita kembali memperingati 1 Juni sebagai Hari lahir Panca Sila setelah beberapa dekade tanggal ini seperti dilupakan sejarah. Dan menjelang 1 Juni pula banyak orang yang dengan bersemangat mengatakan "Saya Pancasila, Saya Indonesia".
Panca Sila memang sudah dinyatakan menjadi ideologi sekaligus dasar negara yang dijunjung tinggi baik oleh pemerintah maupun rakyat. Dalam sejarah republik ini sejak merdeka, seluruh era pemerintahan dengan kompak mengatakan mendukung Pancasila dengan versi dan cara masing-masing. Semua dengan segala kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Namun sering pula kita tergagap-gagap kalau ditanya apakah semua orang Indonesia sudah Pancasilais, dan apakah Anda, dan saya juga sudah Pancasilais, serta definisi dan atribut apakah agar seseorang atau sosok atau tokoh patut disebut Pancasilais?
Sebenarnya dalam sejarah kita sudah pernah mengalami banyak pasang surut tentang ideologi. Bahkan sejak para Bapak Bangsa yang bergelut dalam alam pikiran mereka untuk memberikan yang terbaik untuk bangsa ini. Sampai akhirnya disepakati bahwa Pancasila lah yang dijadikan ideologi sekaligus pandangan hidup dan dasar untuk kita semua dalam berbangsa dan bernegara.
Namun kehidupan manusia, baik sebagai pribadi apalagi dalam bernegara memang tidak statis dan selalu berubah dan penuh dinamika serta tantangan. Sebagaimana sejarah yang disebut sebagai Tantangan dan Jawaban. Dalam sejarah kita pun mengenal pasang surut ideologi serta seribu satu tantangan yang dihadapi.
Kembali lagi mengenai Pancasila, sering kali kita juga mendengar bahwa menurut sejarahnya, butir-butir dalam Pancasila itu sebenarnya digali dari nilai-nilai luhur yang ada di bumi Indonesia sendiri. Nilai-nilai luhur yang diwariskan dari nenek moyang kita sendiri.
Dengan berpedoman pada paradigma ini, kita sering kali terjebak pada perangkap hitam putih ideologi. Seakan-akan ideologi di dunia ini hanya terbagi dalam ideologi kiri dan kanan, antara komunisme, agama, dan kapitalis. Dan ketika berbicara tentang komunis kita akan langsung menunjuk kepada Uni Soviet (dahulu) dan Tiongkok (sekarang), sementara ketika membicarakan ideologi kapitalis, kita langsung menunjukku negara-negara Barat dengan Amerika sebagai gembongnya. Pada saat yang sama, ketika berbicara tentang negara gama, biasanya kita akan berpaling kepada Arab Saudi, Iran, atau bahkan Vatikan.
Dalam perangkap hitam putih ini, kita pun terjebak dan sulit keluar dari pengaruhnya. Kita seakan-akan merasa bahwa Pancasila merupakan ideologi yang sama sekali berbeda dengan ideologi lainnya di muka bumi Sekaan-akan Indonesia adalah negara istimewa yang berbeda dari negara lain. Lalu sesungguhnya benarkah pandangan kita yang seperti itu?
Pandangan seperti ini sering kita jumpai seperti anggapan bahwa negara Indonesia adalah negara yang paling kaya sumber alamnya sekaligus sebagai negara yang paling indah pemandangannya dengan penduduk yang paling ramah dan banyak senyum. Ini juga seakan-akan membenarkan anggapan bahwa negeri kita adalah surga tersendiri yang berbeda dengan negara-negara lain.
Kalau kita mau lebih obyektif, sebenarnya tidak ada yang salah dengan anggapan di atas. Namun mengagungkan negeri sendiri dengan perkataan paling kaya, paling indah, paling ramah dan lain sebagainya itu dapat menjebloskan dan sekaligus menjebak kita dalam perangkap kebanggaan yang meninabobokan serta membuat negeri ini selalu tertinggal. Asumsi-asumsi di atas dapat membuat daya juang bangsa menjadi kurang bersaing.
Lalu bolehkah kalau kita menganggap bahwa sesungguhnya butir-butir Panca Sila bukan hanya digali dari nilai-nilai luhur bangsa atau nenek moyang kita sendiri. Bisakah kita membuka mata bahwa sesungguhnya ada butir-butir dalam Pancasila yang secara kolektif dimiliki oleh bangsa dan negara lain?
Untuk itu ada baiknya dipaparkan kembali beberapa versi rumusan Panca Sila. Sambil merenung di alam Nusantara nan indah ini. Bisa saja dijumpai bahwa sesungguhnya banyak nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sesungguhnya merupakan nilai-nilai kebajikan yang bersifat universal dan bukan eksklusif milik bangsa Indonesia.
Berikut uraian Pancasila versi hari lahir 1 Juni 1945:
1. Kebangsaan
2. Internasionalisme atau Perikemanusiaan,
3. Demokrasi
4. Keadilan Sosial
5. Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kemudian, Bung Karno juga memberi opsi untuk memeras Panca Sila menjadi Tri Sila dan Eka Sila.
Berikut, kutipan pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945 mengenai Tri Sila dan Eka Sila:
Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan internasionalisme, kebangsaan dan peri kemanusiaan, saya peras menjadi satu: itulah yang dahulu saya namakan socio-nationalisme .
Dan demokrasi yang bukan demokrasi Barat, tetapi politiek- economische demokratie, yaitu politieke demokrasi dengan sociale rechtvaardigheid, demokrasi dengan kesejahteraan, saya peraskan pula menjadi satu: Inilah yang dulu saya namakan socio-democratie.
Tinggal lagi ketuhanan yang menghormati satu sama lain. Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: socio-nationalisme, socio-demokratie, dan ketuhanan. Kalau Tuan senang kepada simbolik tiga, ambillah yang tiga ini.
"Jika kuperas yang lima ini menjadi satu, maka dapatlah aku satu perkataan yang tulen, yaitu perkataan gotong royong. Gotong royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama. Amal semua buat semua. Prinsip Gotong royong di antara yang kaya dan yang tidak kaya, antara Islam dan yang Kristen, antara yang Indonesia dan yang non-Indonesia. Inilah saudara-saudara, yang kuusulkan kepada saudara-saudara."
Kemudian yang berikut adalah versi Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dengan redaksional yang sedikit berbeda termasuk urutan sila-sila dalam Panca Sila
1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Dan kemudian setelah melalui perdebatan mengenai sila pertama akhirnya muncul versi 18 Agustus 1945, seperti yang dikenal saat ini:
1. Ketuhanan yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Sementara itu di zaman Orba , kita juga pernah mendapatkan indoktrinasi mengenai Pedoman Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila yang sering juga disebut dengan namaEka Prasetya Pancakarsa.
Eka Prasetya Pancakarsa ini menjabarkan kelima asas dalam Pancasila menjadi 36 butir pengamalan sebagai pedoman praktis bagi pelaksanaan Pancasila. Dalam erkembangannya 36 butir tersebut dijabarkan lagi menhadi 47 butir yang berisi arahan yang sangat dan rinci dan jelas.
Berikut diuraikan ke 47 butir tersebut sesuai dengan urutan Sila dalam anca Sila.
Sila pertama
Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketakwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Manusia Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerja sama antara pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.
Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.
Sila kedua
Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
Mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya.
Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia.
Mengembangkan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira.
Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.
Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
Berani membela kebenaran dan keadilan.
Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia.
Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerja sama dengan bangsa lain.
Sila ketiga
Mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
Sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa apabila diperlukan.
Mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa.
Mengembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia.
Memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar Bhinneka Tunggal Ika.
Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa.
Sila keempat
Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama.
Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain.
Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.
Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai hasil musyawarah.
Dengan iktikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah.
Di dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.
Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai untuk melaksanakan permusyawaratan.
Sila kelima
Mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.
Mengembangkan sikap adil terhadap sesama.
Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Menghormati hak orang lain.
Suka memberi pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri.
Tidak menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan terhadap orang lain.
Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan gaya hidup mewah.
Tidak menggunakan hak milik untuk bertentangan dengan atau merugikan kepentingan umum.
Suka bekerja keras.
Suka menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan bersama.
Suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.
Nah kalau diperhatikan dari sekian banyak butir dan pedoman di atas tadi, bukankah banyak juga hal-hal yang baik itu bukan eksklusif milik Bangsa Indonesia, tetapi juga secara bersama yang dimiliki oleh bangsa dan ideologi lain.
Demikian sekilas renungan dalam rangka memperingati hari lahir Panca Sila. Semoga bermanfaat.
Sumber:
Pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Panca Sila
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H