We are the sound of Shambara,
vibes from Nusantara.Â
We're the flowers of Shambara,Â
Padma Swargantara.Â
Metta Chakra Soumna Patta.Â
Metta Chattra Soumna Parya.Â
Metta Dhamma Soumna Dayya.Â
Metta Charya Soumna Ghra.*
*Lirik yang dibawakan oleh Trie Utami dalam Bahasa Inggris dan Pali yang menjabarkan Suara dari Bumi Borobudur yang ada di Nusantara.
Borobudur. Siapa yang tidak terkagum-kagum mendengar nama ini? Saya sendiri pertama kali menjejakkan kaki di monumen paling agung di Bumi Nusantara ini pada akhir tahun 1975. Ketika itu, untuk pertama kali pula saya menghirup segarnya aroma udara pulau Jawa, khususnya kawasan Borobudur dan Jawa Tengah.
Di masa itu, Candi Borobudur sedang dalam tahap restorasi yang dilakukan oleh pemerintah bersama UNESCO sejak 1973 sampai 1983. Walhasil, saya hanya bisa berkunjung dan naik ke sebagian candi saja karena bagian lainnya sedang dalam tahap pemugaran. Â Setelah puas berkeliling, saya pun sempat diabadikan di depan salah satu stupa. Pengetahuan saya tentang Borobudur hanya sebatas yang diajarkan di sekolah tentang kapan dan pada era raja mana candi tersebut dibangun.
Seiring dengan berjalannya waktu, dan juga karena sudah berulang kali mampir dan membaca berbagai literatur tentang Borobudur, pemahaman, kecintaan dan minat saya akan Borobudur pun kian mendalam dan beragam. Tidak hanya sekedar pada deretan stupa di tingkat Arupadatu, melainkan juga ke sebagian kisah-kisah yang ada di deretan reliefnya yang bertingkat-tingkat itu. Saya juga mulai mengenal berbagai posisi mudra yang ada pada ratusan patung Buddha yang ada di seantero candi.
Kehadiran Museum Karmawibhangga dan Samudra Raksa di Taman Wisata  Candi Borobudur juga mempermudah saya untuk mengenal lebih dekat sejarah dan pernak pernik mengenai candi ini termasuk gambar panil relief Karmawibhangga, Unfinished Buddha dan juga chatra serta Kapal Samudra Raksa.
Penampilan perdana Sound of Borobudur yang diadakan bersamaan dengan Borobudur Cultural Feast pada 17 Desember 2016 lalu itu memperkenalkan 3 dawai hasil rekacipta ulang dengan meniru alat musik yang terdapat pada relief Karmawibhangga. Tiga dawai itu pun diberi nama yang eksotik yaitu: Gasona -- dawai dari relief nomor 151, Solawa -- dawai dari relief nomor 125, Â dan Gasola -- dawai dari relief nomor 102.Â
Penampilan perdana itu begitu menggugah dan seakan-akan membahanakan panggilan dari Bumi Shambara kepada dunia. Â Mewartakan sebuah kisah bahwa pada suatu masa, sekitar 13 abad lalu, Borobudur pernah menjadi pusat musik dunia. Â Sekali lagi ditegaskan bahwa Borobudur pusat musik dunia.
Para pelopor Sound of Borobudur ini kemudian membentuk sebuah wadah formal yaitu Yayasan Padma Sada Svargantara.  Mereka terdiri dari para pelaku seni yang sudah tidak asing lagi seperti Trie Utami, Ir. Purwa Tjaraka, Dewa Budjana, Ir. Rully Fabrian, Santi G. Purwa, dan Budi Setiawan (Budi Dalton). Hasilnya adalah Gerakan Sound of Borobudur yang bercita-cita bukan hanya mewujudkan kembali 3 dawai, melainkan seluruh atau paling tidak sebagian besar alat musik yang terpahat pada relief di Borobudur.  Tujuan nya adalah menghidupkan kembali alat-alat musik warisan zaman lampau untuk membahanakan berita bahwa Borobudur pernah menjadi pusat peradaban dan musik dunia.
Sebagai contoh jenis alat musik yang paling banyak ditemui pada relief adalah jenis perkusi yang termasuk idiofon atau alat musik pukul yang menghasilkan suara dari tubuh alat musik itu sendiri.  Gendang dalam berbagai bentuk baik kerucut atau  silinder  yang masih banyak dijumpai di Jawa maupun Sunda. Selain itu juga terdapat simbal yang berbentuk piring, juga  kenong dan genta.  Selain gendang juga ada berbagai jenis gambang yang terdapat dalam musik  karawitan yang ada di Jawa, Sunda dan Bali.
Untuk alat musik tiup atau aerofon, terdapat berbagai jenis suling, trompet, dan juga Kledi. Kledi merupakan alat musik yang dapat menghasilkan beberapa nada secara bersamaan. Alat musik ini sudah hampir punah dan  sekarang dapat ditemui di Kalimantan serta masih dimainkan oleh Suku Dayak.
Gerakan Sound of Borobudur terus bekerja dalam sunyi, akhirnya sebagian besar waditra yang terukir pada relief Candi Borobudur dapat dihadirkan dalam dunia nyata baik dengan merekacipta ulang maupun dengan menghadirkannya dari berbagai lokasi. Â Singkatnya dari grup musik kecil beberapa musisi yang tampil dengan 3 dawai, kini Sound of Borobudur sudah memiliki orkestra dengan kekuatan lebih dari 40 musisi. Â
Untuk merayakan hasil kerja keras selama 5 tahun ini  Gerakan Sound of Borobudur mengadakan acara Seminar dan Loka Karya Online Borobudur Pusat Musik Dunia yang diselenggarakan pada 7- 9 April 2021 di kawasan Borobudur.  Acara yang dihadiri oleh Menteri Parekraf Sandiaga Uno dan juga Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo ini berlangsung secara luring dan daring sehingga dapat diikuti banyak peserta tanpa batasan ruang.  Bagi yang hadir di tempat tentunya tetap memperhatikan panduan CHSE (Cleanliness, Health, Safety, and Environmental Sustainability) dalam MICE (Meeting, Incentive, Conference and Entertainment).Â
Pada kesempatan ini kembali Trie Utami, Dewa Budjana dan kawan-kawan dengan arahan PurwaTjaraka tampil membawakan beberapa gubahan lagu yang memesona.  Lagu pertama bertajuk  Jataka. Jataka sendiri merupakan kumpulan Fabel atau cerita kehidupan Sang Buddha ketika dalam wujud hewan sebelum menitis dalam tubuh Sidharta Gautama.  Kisah Jataka ini sendiri digambarkan dengan apik pada relief yang ada di dinding dan pagar langkan Candi Borobudur di tingkat pertama.  Â
Saya yang menyaksikan via daring merasa terkesima dengan penampilan lagu yang menawan dan  menggugah sukma. Lagu yang diciptakan Dewa Budjana ini seakan membawa pendengar mengembara menembus ruang waktu dan matra untuk menikmati dinamika yang ada pada relief-relief candi. Selanjutnya lagu dari Dayak Kenyah di Kalimantan berjudul Lan e Tuyang.  Lagu yang liriknya bermakna bahwa kebahagiaan itu sederhana ini dibawakan dengan nada lagu rakyat yang jenaka dan gembira dengan iringan alat musik kledi.  Persembahan terakhir adalah lagu yang didedikasikan untuk Ibu Pertiwi yaitu Indonesia Pusaka yang banyak dihiasi dengan bunyi dentang dan genta nan mengharubiru.
Penampilan Sound of Borobudur Orchestra yang diharapkan pada gilirannya nanti dapat membawakan berita kepada dunia bahwa alat-alat musik yang tergambar ada relief candi Borobudur ternyata dapat diwujudkan kembali dalam dunia nyata dengan reinterpretasi pada ruang bunyi dan suasana yang membawa penonton kembali ke tiga belas abad silam dengan cita rasa kekinian yang mendunia. Â Pesan yang dibawa dari pertunjukan singkat ini menegaskan kembali keuniversalan bahasa musik yang menembus sekat-sekat bahasa, etnis dan bahkan dimensi ruang waktu dan tempat.
Kalau sebelumnya kapal Borobudur pernah dibuat kembali dan berhasil menjelajah samudra sampai ke Afrika, kini giliran Sound of Borobudur Orchestra yang akan membuktikan kepada dunia bahwa Borobudur pernah menjadi salah satu pusat  peradaban dunia pada masanya.
Dengan hadirnya Sound of Borobudur Orchestra, tentunya kita mengharapkan bahwa slogan Wonderful Indonesia akan semakin menggema di dunia dan kian banyak wisatawan nusantara dan mancanegara yang berkunjung ke Borobudur.
Besar harapan kita bahwa nantinya akan ada sebuah teater atau panggung khusus untuk Sound od Borobudur Orchestra di kawasan Taman Wisata Borobudur dan menjadi salah satu daya tarik utama bagi pengunjung. Selain itu, Sound of Borobudur juga bisa menyemarakkan kegiatan industri kreatif di desa-desa sekitar Borobudur dengan membuat cendramata replika alat-alat musik dalam berbagai ukuran untuk dijual di gerai-gerai yang ada di sekitar teater.
Di waktu beberapa tahun lagi, bukan tidak mungkin Sound of Borobudur akan sama kondang dengan Teater Bolshoi dari Rusia yang memiliki gedung tetap di Moskwa dan juga mempunyai jadwal untuk keliling dunia dan tampil secara berkala di teater terkenal seperti  di Gedung Opera Sydney, Esplanade di Singapura, atau bahkan Teatro Colon di Buenos Aires dan La Scala Theatre di Milan.
Semoga.
Sumber:Â soundofborobudur