Indonesia, sejak merdeka, atau tepatnya sejak mendapat pengakuan kemerdekaan dari Belanda di akhir 1949, memulai era demokrasi dengan menggunakan UUDS dalam bentuk Demokrasi Parlementer yang lumayan liberal. Pada masa ini bahkan tercipta sebuah PEMILU yang hingga saat ini dianggap paling demokratis pada 1955.
Namun demokrasi parlementer di Indonesia juga mengisahkan cerita yang tragis dimana rentetan pemberontakan serta jadi bangunnya kabinet membuat negeri dan rakyat tetap terpuruk secara ekonomi dan kesejahteraan.Â
Bahkan Badan Konstituante yang dilahirkan sebagai hasil Pemilu 1955 juga tidak pernah mampu menyelesaikan tugas menulis sebuah Undang Undang Dasar baru karena masing-masing lebih mengutamakan kepentingan golongan dan kelompok.
Kita semua mungkin mafhum jika sejak awal kebangkitan nasional, negeri ini menjadi ajak tarik ulur kekuatan antara golongan nasionalis, agama, dan sosialis serta komunis. Â Konsep-konsep ini bahkan sudah ada dalam tulisan-tulisan Sukarno muda yang kemudian dikumpulkan dalam Buku Fenomenal Di bawah Bendera Revolusi.
Tiga kekuatan ini ditambah kekuatan militer terus tarik menarik dan Sukarno adalah orang kuat yang mampu berdiri di dan menyeimbangkan semua kekuatan itu. Demikianlah akhirnya, pada 5 Juli 1959, dengan Dekrit Presiden, Bung Karno mengajak kita semua kembali ke UUD 1945 sekaligus mengucapkan selamat tinggal kepada demokrasi parlementer yang liberal sambil mengucapkan selamat datang kepada Demokrasi Terpimpin yang konon kala itu disebut khas Indonesia dengan Pancasilanya. Â
Bung Karno juga bahkan sukses membawa pesona Pancasila ke panggung dunia ketika berpidato di depan Sidang Umum PBB dengan judul Membangun Dunia Baru atau To Build The  World A New yang dibawakan pada 30 September 1960.Â
"Saya yakin seyakin-yakinnya bahwa diterimanya kelima prinsip itu dan mencantumkannya dalam piagam, akan sangat memperkuat organisasi ini," demikian cuplikan pidato Bung Karno itu.
Namun konsep Demokrasi Terpimpin ala Bung Karno yang digadang-gadang mampu membawa Indonesia menuju kemajuan dan kemakmuran ternyata tidak seindah bayangan. Sebaliknya Indonesia makin terperosok ke dalam cengkaman kediktatoran dan Bung Karno makin bermesraan dengan blok sosialis komunis.Â
Dwi Tunggal Sukarno Hatta, yang sudah retak sejak Bung Hatta mengundurkan diri pada 1 Desember 1956 makin renggang. Bung Hatta sendiri meramalkan bahwa Demokrasi Terpimpin yang memerlukan tokoh sentral seperti Sukarno tidak akan bertahan lama.Â
"Sistem yang dilahirkan Sukarno tidak akan lebih panjang umurnya dari Sukarno sendiri... Apabila Sukarno tidak ada lagi, maka sistemnya itu akan roboh dengan sendirinya seperti sebuah rumah dari kartu", demikian ramalan Bung Hatta seperti dikutip dari bukunya Hatta: Aku Datang Karena Sejarah (2013).
Ramalan ini terbukti, Kekuasaan Bung Karno mulai runtuh sejak peristiwa Gerakan 30 September dan secara perlahan-lahan sirna pindah ke penguasa baru, yaitu Suharto dengan Orde Barunya. Â Tibalah waktunya kita mengenal Demokrasi Pancasila yang digadang-gadang akan menjalankan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.