Setiap kalender menunjukkan bulan Mei, apalagi ketika hari menjelang tanggal belasan , saya dan sebagian besar kita biasanya terkenang kembali akan lembaran sejarah kelam bangsa ini yang terjadi pada Mei 1998.
Sebuah lembaran bersejarah yang menandai berakhirnya periode orde baru yang berkuasa sejak 1966. Â Suatu periode yang penuh kontroversi dan multitafsir tergantung dari sisi mana dan bagaimana pengalaman masing-masing pribadi .
Ada yang memuja dan tidak sedikit yang menghujat periode ini. Namun kali ini saya hanya akan sedikit menulis mengenai pengalaman pribadi mengenai peristiwa yang terkenal sebagai kerusuhan Mei 1998.
Sejak akhir 1997 , krisis moneter memang sudah melanda negri Indonesia dan juga kawasan Asia Tenggara.
Namun saya sendiri termasuk yang beruntung . Di zaman yang agak susah itu perusahaan menugaskan kan saya untuk ikut pelatihan di negri Singa selama sekitar 3 bulan mulai awal Maret hingga akhir Mei 1998.
Suasana politik di Indonesia terasa makin panas. Ekonomi semakin parah dan nilai tukar rupiah terus anjlok.
Mendekati awal Mei , Dari Singapura saya terus  memantau kejadian di tanah air baik melalui TV atau pun surat khabar. Pada saat itu internet dan email, walau sudah ada tetapi belum terlalu sering digunakan. Bahkan ponse belum banyak yang punya sehingga untuk menelpon ke tanah air saya masih menggunakan telpon umum dengan kartu telpon  yang bisa dibeli dengan nominal 10 atau 20 Dollar Singapura .
Untuk menanyakan situasi saya selalu menelpon rumah ketika istri sudah kembali kerja atau ke kantor kalau di siang hari.
Mendekati 11 dan 12 Mei situasi Jakarta dan beberapa kota besar di tanah air makin mencekam .Â
Kerusuhan  dimulai lebih dahulu di Medan dan Solo dimana terjadi penjarahan dan pembakaran pusat pertokoan dan juga ruko milik etnis Tionghoa.
Sekitar 12 atau 13 Mei , istri saya sendiri masih masuk  kantor di kawasan SCBD Sudirman .Â
Ketika mendengar bahwa kerusuhan meluas di Jakarta pada 13 Mei, saya mencoba menghubungi Jakarta. namun hubungan telpon sempat putus sehingga saya tidak mengetahui apa yang terjadi dengan keluarga di rumah.Â
Perlu dicamkan bahw a pada tahun 1998 media sosial boleh dibilang bekuk eksis .Â
Sementara itu di Bandara Soekarno Hatta sempat terjadi eksodus warga Tionghoa yang  kebanyakan memilih Singapura untuk sementara mengungsiÂ
Di Televisi Singapura sendiri berita ini sangat menghebohkan bahkan ada wawancara langsung dengan beberapa orang yang tampak terluka karena mengalami kekerasan fisik.
Hubungan Telpon dengan  rumah  baru pulih keesokan harinya . Ternyata istri sendiri memang tidak bisa pulang ke rumah pada tanggal 13 Mei sehingga kantor memutuskan untuk menginapkan staff di beberapa hotel di sekitar kantor .
Maklum kota Jakarta pada hari itu sejak 12 dan terutama pada 13 Mei memang bagai kota yang tidak bertuan.
Kisah kisah seram dan mengerikan mengalir begitu saja dan media di Singapura pun memberitakannya dengan terus menerus .
Pada saat-saat itu semua merasa khawatir. Saya sendiri tentunya merasa khawatir dengan istri dan juga anak  anak yang masih kecil di rumah. Apalagi pada saat itu istri sempat tidak bisa pulang ke rumah .
Kisah dari teman teman yang bertugas di bandara lebih seru lagi. Mereka yang bekerja tidak bisa pulang yang seharusnya masuk tidak bisa pergi ke bandara .Â
Akibatnya semua yang sedang bekerja diputuskan untuk terus bekerja dan beristirahat di kantor saja .
Sementara jumlah penerbangan kian sibuk dengan banyaknya penerbangan tambahan khususnya ke Singapura dan Malaysia .
Situasi bandara Soekarno Hatta khususnya terminal 2 makin kacau dengan banyaknya calon penumpang yang datang tanpa perencanaan.
Mereka datang tanpa punya tiket dan mencoba  membeli tiket yang ada. Bagi yang tidak sempat membawa uang mereka bahkan harus menjual kendaraan dengan harga seadanya .Â
Bahkan gerai makanan dan restoran di terminal pun kemudian harus tutup karena kehabisan makanan sementara pasokan dari Jakarta terhambat karena transportasi tidak jalan.
Parkir pesawat pun penuh di bandara sementara makanan untuk karyawan pun yang kian menipis akhirnya dipasok dari Singapura  dan Malaysia .
Kisah yang seru namun sedikit memilukan dari bandara Soekarno Hatta  ini memang membuat kita  terenyuh .
Selain itu di Singapura sendiri, tanggapan  negatif masyarakat lokal dapat dicermati melalui dialog dengan supir taksi bila mereka tahu bahwa saya berasal dari Indonesia .
Dan yang membuat hati bertambah sedih adalah kartu kredit terbitan  bank di Indonesia  hampir tidak laku karena nilai tukar rupiah yang anjlok .
Mahasiswa terus bergolak, gedung MPR akhirnya diduduki, dan Suharto mau tidak mau harus lengser keprabon pada 21 Mei 1998.
Namun kehidupan di Singapura terus berlangsung normal . Pelatihan pun terus berjalan hingga selesai di minggu terakhir  di bulan Mei.
Tanggal 28 Mei 1998, pesawat Singapore Airlines saya mendarat di Bandara Soekarno Hatta.
Dalam perjalanan ke rumah dengan taksi ,saya sempat menyaksikan deretan gedung gedung yang telah hancur dan gosong terbakar . Hati ikut sedih karena di sebagian gedung dan pusat perbelanjaan itu ada banyak kenangan yang ikut terbakar .
Selama beberapa tahun kemudian jalan jalan kota Jakarta dihiasi dengan deretan gedung berwarna hitam atau kaca kaca  yang retak .
Kisah lebih menyeramkan mengenai tragedi ini khususnya apa yang terjadi  di kawasan Lippo Mal Karawaci dan Yogya Mal di Klender membuat hati makin sedih .
Kini 22 tahun telah berlalu, sebagian besar masyarakat telah melupakan kerusuhan Mei 1998 ini .Â
Apalagi  generasi yang masih balita atau belum lahir pada saat itu tentu tidak ikut merasakan kengerian peristiwa itu.
Sementara itu, sebagian kita yang tidak  menjadi korban langsung mungkin juga sudah melupakan tragedi tersebut .Â
Namun bagi saudara saudara kita yang harus kehilangan harta benda dan tempat usaha atau bahkan kehilangan sanak saudara , peristiwa tersebut tidak mungkin dapat dilupakan seumur hidup.
Peristiwa ini dapat dijadikan pelajaran sekaligus rekam jejak sejarah dimana rakyat jelata sering dijadikan korban dan kambing hitam  oleh pihak pihak yang memiliki agenda politik tersendiri.
Sayangnya hingga saat ini, kita tidak pernah tahu siapa sesungguhnya pihak yang bertanggungjawab atas tragedi memilukan yang telah menoreh sejarah kelam bangsaÂ
Mungkin sang waktu yang nanti akan menghapus peristiwa ini dari memori kita , sama seperti peristiwa dan tragedi yang jauh lebih besar yang terjadi di akhir orde lama yang menandai timbulnya orde baru.Â
Kita hanya dapat berdoa dan berharap semoga peristiwa seperti ini jangan terulang kembali .
SemogaÂ
14 Mei 2020
Foto: dokumentasi pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H