Sebenarnya monumen ini adalah tujuan utama saya berkunjung ke Yerevan, ibu kota Armenia yang pernah menjadi salah satu Republik Soviet di Kaukasus. Namun karena senin lalu tutup, baru pada hari kelima di Armenia saya pun sempat bertandang ke sini.Â
Letaknya agak sedikit menjauh dari pusat kota Yerevan dan berada di sebuah bukit di kawasan Tsitsernakaberd tidak jauh dari Yerevan Mall yang saya kunjungi malam sebelumnya.Â
Dengan taksi online Yandex, saya kembali mengembara di kota Yerevan dan ongkosnya pun cukup dengan beberapa keping uang logam Dram.Â
Matahari siang yang membakar terik disertai hembusan angin nan sejuk menyambut kedatangan saya di kompleks memorial dan museum paling kondang di Armenia.Â
Dari kejauhan sudah terlihat sebuah tugu yang mirip anak panah menjulang.Â
Ini adalah Armenian Genocide Memorial yang sekilas cocok dengan gambaran saya akan monumen gaya Soviet yang dingin dan muram. Hampir sama dengan monumen yang pernah saya kunjungi di St Petersburg atau bahkan Minsk  di Belarus.
Sekilas mirip dengan dinding nama-nama pahlawan yang ada di Kalibata namun dalam ukuran kolosal karena dinding ini panjang nya sekitar 100 meter dan terbuat dari batu basal yang hitam dan anggun berwibawa.Â
Suasana hening dan sepi di siang itu  hanya kami bertiga pengunjungnya dan di dinding itu diukir nama-nama yang saya tidak kenal seperti Armin Wegner, Hedvig Bull, Henry Morgenthau, Franz Werfel, Yohannes Lepsius, James Bryce, Anatol France, Jakomo Gorini, dan Benedict XV.Â
Kemudian saya ketahui bahwa mereka adalah tokoh yang berani melawan pemerintahan Ottoman sewaktu peristiwa tragis Genosida Armenia pada 1915.
Di dinding ini pula dipahat nama-nama kota beserta estimasi jumlah penduduk yang menjadi korban peristiwa memilukan tersebut.
Melewati Memorial Wall, kita sampai ke pusat monumen yang berbentuk lingkaran yang disebut dengan Memorial Sanctuary. Ada dua belas dinding yang terbuat dari batu basal yang miring ke dalam membentuk lingkaran.Â
Ternyata alasan dinding ini dibuat miring adalah untuk mewakili rasa duka dan bekabung bagi siapa pun yang berkunjung ke memorial ini,Â
Untuk masuk ke pusat monumen yang memiliki ketinggian sekitar satu setengah meter lebih rendah, Â kita harus menuruni beberapa anak tangga yang curam. Rupanya memang sengaja dirancang demikian agar pengunjung menundukan kepala sebagai tanda hormat dan respek.Â
Di sekitar api abadi itu ada deretan kuntum bunga yang dibawah Penziarah. Walau saya tidak membawa bunga biarlah hati dan kalbu kemanusiaan saya yang menemui arwah para korban.
Di tempat ini, sambil bersimpuh di tepian dinding dan memandang kobaran api abadi saya pun merenung akan arti kehidupan. Betapa rapuh nya jiwa jiwa itu menghadapi angkara sangat pemenang.
Dari sini saya melangkah keluar dari lingkaran 12 tiang yang disebut sanctuary tadi dan melihat lagi menara setinggi 44 meter yang berbentuk anak panah terbuat dari batu granit menjulang tinggi ke angkasa.
Tugu ini melambangkan kebangkitan spiritual rakyat dan bangsa Armenia yang telah banyak menderita di bawah kekuasaan dinasti Ottoman.Â
Dimulai sejak April 1965, ketika diadakan kompetisi di Armenia untuk rancangan monumen yang paling baik untuk memperingati jutaan korban genosida 1915.
Dari 69 peserta ternyata pemenangnya adalah Arthur Tarkhanyan dan Sashur Kalashyan. Keduanya diberi hadiah masing-masing 100 Ruble Soviet.  Mereka berdua lah yang kemudian memilih lokasi monumen di bukit ini.Â
Pada 29 November 1967, upacara peresmian tugu yang bertepatan dengan ulang tahun ke 47 republik Soviet Armenia menjadi hari yang bersejarah di mana puluhan ribuan orang berkumpul di bukit Tsitsernakaberd untuk memperingati korban genosida.Â
Sejak itu, setiap tanggal 24 April ribuan orang berziarah ke tempat ini, termasuk saya yang datang bukan di bulan April.Â
Kunjungan ke bukit ini pun akan dilanjutkan dengan mampir ke museum yang dibangun kemudian setelah Armenia menjadi republik yang merdeka menyusul runtuhnya Uni Soviet.Â
Dari tugu kebangkitan Armenia saya berjalan menuju museum sambil terus termenung dan menduga fakta apalagi yang akan saya temukan kemudian.Â
Yerevan, akhir Juli 2019.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H