Setiap perjalanan memiliki kisahnya sendiri.
Begitu pula perjalanan saya bersama “Koteka” (Komunitas Traveller Kompasiana) ke Gua Gudawang pada hari Sabtu 14 Desember 2019 lalu. Sebuah perjalanan yang menguak kembali rasa ingin tahu akan gua dan misteri yang tersembunyi di balik keindahannya,
Dengan kendaraan yang luas dan lapang ini kami pun memulai perjalanan sekitar pukul 9.30 pagi.
Mobil Elf dengan lancar menuju ke ke jalan tol Tangerang dan kemudian keluar di Karawaci dan setelah terjebak sedikit kemacetan di kawasan Islamic Village, mulai dengan lancar menuju ke kawasan Gua Gudawang di Desa Argapura, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor. Tentu saja setelah melewati daerah Parung Panjang dimana rute nya berupa jalan-jalan beton berdebu yang selalu dipadati dengan truk besar pengangkut pasir dan batu.
Setelah berkendara dua jam lebih, akhirnya mobil pun sampai. Terima kasih kepada telepon pintar yang menjadi petunjuk jalan.
Halaman parkir yang cukup luas nampak lengang di Sabtu siang ini. Beberapa petugas menyambut kami dan bercerita bahwa jumlah pengunjung situs ini memang tidak menentu dan tergolong sepi.
Petugas yang bernama Mas Edo dan mengaku sudah bekerja di sini sejak duduk di SMP mulai menceritakan sekilas sejarah tempat wisata yang pertama kali dibuka sekitar tahun 1990-an ini.
Sementara itu di pojok halaman terdapat sebuah gardu atau pos kecil yang dulunya berfungsi sebagai tempat menjual tiket masuk. Di dalamnya ada sebuah papan keterangan yang menjelaskan sekilas mengenai Gua Gudawang. Ternyata nama Gudawang sendiri berasal dari kata kuda lawang yang berarti ekor kuda yang dikepang.
Belum lama kami tiba, azan lohor (zuhur) menggema dari sebuah masjid tidak jauh dari tempat ini. Kami sempatkan salat dulu sebelum memulai pengembaraan ke beberapa gua yang ada di kompleks Gua Gedawang ini.
"Gua ini dinamakan Simenteng karena dulunya banyak ditemukan pohon Menteng," demikian jelas Mas Edo membuka cerita setelah komplotan Koteka sempat bergaya di depan pintu masuk Gua Simenteng yang berbentuk kepala harimau,
Di depan pintu masuk ini terdapat papan bertuliskan peraturan yang harus diikuti pengunjung, di antaranya dilarang berkata tidak sopan ataupun mengotori kawasan gua.
Selain itu ada juga aturan bahwa pengunjung hanya boleh masuk dengan izin pemandu dan juga hanya diperbolehkan paling lama 30 menit berada di dalam gua dengan jumlah maksimal rombongan sebanyak 20 orang.
Terasa keringat mulai sedikit bercucuran, namun suasana sakral yang ada di dalam gua membuat kita semua tambah semangat menyusuri lorong dan relung di dalam gua.
"Altar ini kadang digunakan untuk bertapa," tambah Mas Edo lagi sambil menjelaskan bahwa Gua Gudawang selalu dibuka 24 jam dan sesekali digunakan untuk pengunjung yang datang untuk bertapa.
"Pada umumnya mereka bertapa selama satu hari satu malam tanpa makan dan minum, namun belum lama ini ada seorang petapa perempuan yang datang dari Sulawesi dan berdiam selama 7 hari 7 malam di dalam gua ini,” tukas Mas Edo sambil sesekali mengambil foto rombongan Koteka yang selalu ceria beraksi di depan kamera dan hp.
Kami terus menuruni puluhan anak tangga lagi sehingga sampai di kedalaman sekitar 100 meter dari permukaan. Dinding gua dan juga langit-langit gua nampak kian indah dan menantang.
Sebenarnya kalau kita mau terus turun masih ada lah puluhan dan bahkan ratusan anak tangga untuk menuju kedalaman sekitar 300 meter dari permukaan.
Setelah sekitar 20 atau 30 menit di dalam perut gua rombongan kemudian memutuskan untuk naik dan kembali menghirup udara segar di permukaan sambil membawa teka-teki tentang misteri pertapa perempuan tadi.
Info ini sesuai dengan plang penunjuk arah yang menunjukan lokasi ketiga gua tersebut.
Tidak sampai 5 menit berjalan di lorong yang sebagian berdinding karang mirip dengan di Gua Sunyiragi di Cirebon, rombongan kami pun sampai di pintu Gua Simasigit.
Kembali ada papan berisi petunjuk bagi pengunjung yang sama persis dengan yang ada di depan Gua Simenteng.
"Gua ini kedalamannya sekitar 40 meter memanjang namun kedalamannya hanya sekitar 1, 5 meter saja," demikian keterangan Mas Edo lagi. Ternyata di depan pintu masuk juga ada papan yang menjelaskan tentang Gua Simasigit ini.
Jadi gua ini bolehlah disebut sebagai masjid dari alam ghaib dan karena itu gua ini disebut dengan nama yang khas yaitu Simasigit.
Bentuk pintu masuknya mirip dengan Gua Simenteng karena berbentuk kepala harimau. Yang membedakannya adalah di Gua Simasigit ini, mulut harimaunya tidak memiliki lidah melainan hanya gigi saja yang terlihat tajam.
Rombongan Koteka kemudian masuk ke dalam perut gua dengan menuruni beberapa anak tangga. Gua ini walau sekilas tidak sama spektakulernya dengan Gua Simenteng namun memmiliki keindahan tersendiri. Bentuk bentuk stalaktit dan stalagmit di sini umumnya lebih indah dan sempurna karena sebagian sudah saling bertemu membentuk tiang nan cantik.
Akhirnya rombongan Koteka keluar dari Gua Simasigit dan melanjutkan perjalanan ke Gua Sipahang.
Mulut gua sebelah kiri mempunyai aliran sungai bawah tanah yang tembus ke Gua Simenteng. Sementara di mulut gua sebelah kanan terdapat beberapa stalaktit dan stalagmit yang indah dan memiliki sungai bawah tanah sepanjang 600 meter .
Untuk menuju gua Sipahang kita harus menuruni puluhan anak tangga yang cukup curam. Namun apa bila kita ingin masuk ke dalamnya, kondisi gua ini adalah yang paling sulit dan menantang karena kita harus berdiri, jongkok, merayap, dan berdiri lagi. dengan panjang gua ini juga mencapai beberapa ratus meter.
“Di musim hujan kita juga harus waspada karena gua ini sering banjir dalam waktu yang singkat bahkan sampai ke pintu atas,” demikian Mas Edo menambahkan ceritanya sambil membantu Mas Rahab bergaya di video.
Setelah sejenak beristirahat dan berfoto bersama, Koteka kemudian melanjutkan perjalanan ke arah Leuwiliang.
Masih ada satu tugas yang belum tuntas, yaitu mencari tempat makan untuk mengisi perut yang sudah keroncongan karena sejak pagi belum diisi.
Selepas makan sore, kawasan sekitar Kota Bogor disirami hujan lebat yang menyebabkan macet dan juga baniir di beberapa tempat.
Hari sudah mulai gelap ketika kendaraan kami tiba di Jakarta dan peserta pulang ke tempat masing-masing dengan membawa kenangan akan misteri petapa, suara azan, dan juga gua-gua di Gudawang.
Desember2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H