Demi memenuhi undangan Komik Kompasiana saya akhirnya menonton kembali film yang pernah ditonton hampir tiga puluh tahun yang lalu. Sebuah film kolosal yang tidak pelak lagi menimbulkan rasa nasionalisme yang kuat membara. Sebuah film epik yang mempesona dan tetap akan dikenang sepanjang masa.
Film ini menceritakan kembali sejarah tentang Perang Aceh. Tentang kerakusan Belanda yang ingin menduduki negri Serambi Mekah itu. Dan tentang kisah heroik pahlawan-pahlawan yang tidak pantang menyerah dan bila kita ingat pahlawan wanita dari Aceh, sudah pasti Cut Nya' Dhien lah orangnya.
Dalam film ini Christine Hakiem bermain paripurna. Sosok Cut Nya' Dhien digambarkan bukan hanya sebagai pemimpin dalam perang dan ahli siasat, melainkan perannya sebagai seorang istri dan ibu juga ditonjolkan dengan baik.Â
Semangat tidak kenal menyerah Cut Nya' diwariskan kepada anaknya, Cut Gambang, dan segenap pasukannya. Sehingga setelah Cut Nya'Dhien tertangkap, perlawanan tetap diteruskan. Dan Belanda pun harus merasakan alotnya perang di Aceh yang memerlukan waktu lebih 30 tahun ini.
Sebenarnya Cut Nya' Dhien mungkin tidak akan sampai tertangkap seandainya Pang Laot tidak merasa iba terhadap kesehatan Cut Nya' yang sudah rabun dan encok. Maklum usia Cut Nya semaikn tua. Untuk mengakhiri penderitaan Cut Nya', Pang Laot menjadi 'penghianat' dan melaporkan keberadaan Cut Nya' Dhien pada Belanda.
Akhirnya Cut Nya' Dhien pun dibuang ke Sumedang dan menghembuskan nafas terakhirnya di sana.
Film Cut Nya' Dhien menyabet banyak penghargaan di Festival Film Indonesia 1988. Tentu saja karena film ini merupakan salah satu film terbaik yang pernah dibuat di Indonesia hingga saat ini. Selain menyabet delapan penghargaan di FFI 1988, film ini juga merupaka film Indonesia pertama yang ikut memeriahkan festival film Cannes (Prancis) pada tahun 1989.
Hal lain yang menarik dalam film ini adalah banyaknya dialog dalam Bahasa Aceh dan Belanda sehingga membawa penonton kembali ke masa perputaran abad 19 ke 20 dimana Perang Aceh berkecamuk. Dan ada satu kata yang membekas dalam film ini adalah istilah "kape', yang diucapkan berulang kali untuk menggambarkan kebencian rakyat Aceh tehadapa kolonialisme Belanda.
Singkatnya, film ini, walau telah berusia hampir tiga puluh tahun tetaap menarik untuk ditonton kembali bagi yang sempat menontonnya dahulu. Dan bagi kawula muda yang belum pernah menonton, bisa menontonnya sekarang. Dijamin, rasa nasionalisme dan kecintaan kita akan tanah air ini pasti akan mendapatkan siraman yang pas.
Dan untuk menutup tulisan ini ada baiknya dikutip ucapan Cut Nya' Dhien kepada putrinya ketika Teuku Umar mangkat "Hentikan Gambang, Allah Maha Besar. Gambang, sudahlah, ayahmu (Teuku Umar) telah syahid. Gambang, sebagai perempuan Aceh, pantang meneteskan air mata untuk orang yang telah syahid di medan perang. Bangkitlah! Agar arwah ayahmu tenang. Perjuangan kita masih panjang Gambang"
Sutradara       : Eros Djarot
Skenario        : Eros Djarot
Pemain         : Christine Hakim,   Rudy Wowor,   Slamet Rahardjoie, Piet Burnama,  Â
Musik           : Idris Sardi
Bahasa          : Indonesia, Aceh, Belanda
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H