Gerombolan 'Sahabat Museum' kembali berkumpul dalam acara 'pintong' alias pindah tongkrongan di Museum Nasional. Kali ini tujuannya adalah blusukan untuk mencari lokasi asli diketemukannya prasasti tugu yang sekarang disimpan di Museum Nasional.
Di Museum Nasional ini, rombongan mampir sebentar untuk melihat prasasti tugu yang asli. Menurut catatan sejarah prasasti ini dipindahkan ke museum pada tahun 1911. Namun sampai saat ini, tidak seorangpun dapat menentukan dengan pasti dimana tepat okasi awal prasasti ini diketemukan.
Dari museum nasional, kami naik 'Trans Jakarta' menuju ke stasiun Kota untuk kemudian berpindah moda angkutan kereta komuter ke stasiun Tanjung Priuk. Rombongan kemudian mencarter angkot menuju lokasi simpang lima semper. Disinilah perjalanan detektif sahabat museum dengan ketua rombongan Ade Purnama bersama penasehat sejarah Arkeilog Dwi Cahyono.
Tujuan pertama adalah lokasi pemakaman Tegal Arum yng dilansir kemungkinan dekat kawasan dimana parasasti ini dulunya diketemukan. Setelah sempat bertanya dengan penduduk setempat, rombongan sahabat museun berhasil menemukan lokasi pemakaman yang tidak terlalu luas. "Kawasan ini dulunya mungkin termasuk tepi laut, terbukti dengan rendahnya permukaan ", komentar Pak Dwi lagi. Namun disini kita tidak menemukan tanda-tanda bekas prasasti.
Blusukan dilanjutkan, setelah sempat beberapa kali bertanya, akhirnya ditemukan sebuah jalan kecil bernama "Jalan Batu Tumbuh". "Sesuai dengan toponomi nama batu tumbuh sangat kuat dengan lokasi prasasti tugu yang dicari", tukas Pak Dwi membesarkan hati semua rombongan yang sudah lumayan lelah dan kelaparan.
Memasuki jalan kecil ini, suasana perkampungan kota Jakarta sangat terasa. Di ujung jalan ada sebuah kantor kecil yang ternyata merupakan Sekretariat RW 04/08 Kelurahan Tugu Selatan Kecamatan Koja Jakarta Utara. Di sebelahnya ada sebuah kali kecil yang membelok dan kemudian bercabang dua, lengkap dengan sebuah jembatan kecil yang hanya bisa dilewati sepeda motor.
Di lokasi ini, Pak Dwi, Adep dan sebagian rombongan juga sempat bertanya dengan penduduk setempat. Ada sebuah rumah besar yang pemiliknya penduduk asli dan kemungkinan besar tahu cerita mengenail lokasi tempat diketemukan prasasti, sayangnya pak haji tersebut sedang tidak di rumah.
Kami kemudian mampir ke tepi kali yang duduga menjadi lokasi prasasti tugu diketemukan. Alasan dan kisahnya akan dikemukakan oleh Pak Dwi sambil nongkrong di warung dekat skretariat RW sementara kopi, dan makanan kecil penggoda cacing terus menemani dengan setia.
"Prasasti Tugu bercerita tentang peresmian Kali Gomati yang dibuat dengan mengalihkan sungai Candrabagha dengan mengorbankan 1000 ekor sapi", tukan Pak Dwi. Diceritakan juga bahwa kemungkinan Sungai Gomati adalah kali yang ada di depan kita ini.
Sambil ngopi dan minum teh hangat obrolan melewatu terwongan waktu lebih dari 1500 tahun terus berlangsung dengan hangat. Banyak istilah arkeologi yang mengalir begitu saja dari mulut Pak Dwi dengan sesekali berkelakar. Daerah ini merupakan tanah oloran dimana terjadi penumpukan aluvial sehingga kawasan yang dulunya airl laut berubah perlahan-lahan menjadi daratan,demikian keterangan tambahan dari Pak Dwi." Secara singkat bisa disebut sebagai reklamasi alamiah.", tambahnya lagi. Ini mungkin keterangan beliau yang berdasarkan paleo ekologi. Sedangkan proses pemindahan prasasti tugu dari lokasi asli diketemukan ke museum nasional adalah suatu proses yang bisa disebut sebagai taponomi.
Pak Dwi kemudian bercerita tentang asumsi mengapa lokasi ini diduga kuat menjadi tempat prasasti diketemukan pada akhir abad ke 19 lalu. Secara geografis lokasi ini tidak jauh dari Gereja Tugu yaitu sekitar 1 kilomter dari sini. Dan biasanya ada kesinambungan kesucian yang dianut olah masyarakat tanpa memandang perubahan agama yang dipeluk. Di lokasi ini juga, dalam memori kolektif masyarakat terdapat "Keramat Batu Tumbuh" yang kemungkinan dulunya adalah prasasti tugu sebelum diketemukan arkeolog Belanda. Dan secara toponimi, nama jalan Baru Tumbuh memperkuat asumsi itu.
Selain itu sesuai isi prasasti, kemungkinan besar di sepanjang sungai Candrabaga ini dulunya terdapat tempat tinggal atau asrama para brahmana dimana ibunda sang raja tinggal sewaktu menjalani hidup sebagai wanaprasta. "Wanaprasta" adalah tingkat kehidupan dengan menjauhkan diri dari nafsu keduniawian . Tahap ini merupakan tingkatan ketiga dalam catursrama, dimana secara filosofis, kehidupan dibagi menjadi empat tahap.
Tidak terasa hari semakin siang, rombongan Sahabat Museum pun meninggalkan lokasi untuk segera mencari warung untuk makan siang. Akhirnya ketemu juga sebuah Warung Betawi dengan menu khas Gabus Pucung. Dan sekali lagi Pak Dwi bercerita bahwa dari kuliner pun kita bisa memperkuat teori bahwa kawasan ini memang merupakan tanah oloran.
Jalan-jalan sepanjang 1500 tahun? Siapa takut!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya