Jalan-jalan di Macau belum berakhir.! Setelah bertandang ke Grotto Luiz Camoes , sang penyair bermata satu yang sangat terkenal, bus berwarna kuning no 18 dengan tujuan akhir Portas de Cerco atau Border Gate mengantar ke destinasi berikutnya: Mesquita e Cemetario de Macau atau Masjid Macau yang dilengkapi dengan kompleks pemakaman. Perjalanan ke Majid Gerbang Empat Bahasa kali ini adalah napak tilas kunjungan ke tempat yang sama , kira-kira delapan atau sembilan tahun lalu. Bedanya dulu perjalanan dilakukan dengan berjalan kaki menyusuri pantai.
Naik bus di Macau memang lumayan asyik. Walau agak ramai dan kurang nyaman dibandingkan di Hongkong, namun melalui jalan-jalan sempit di kota tua semenanjung Macau. Kita akan ditemani suara mesin otomatis yang menyebutkan nama-nama halte dalam empat bahasa, yaitu Portugis, Guangdongwa atau Bahasa Kanton, Mandarin, dan Inggris. Nama-nama halte dalam Bahasa Portugis memang mengasyikan.
Di dalam bus, kami berkenalan dengan tiga orang wanita yang kebetulan memiliki tujuan sama , yatu Masjid Macau. Mereka berusia sekitar dua puluh dan tiga puluh tahunan, berstatus BMI alias Buruh Migran Indonesia yang ternyata cukup banyak ada di Macau ini. Lumayan juga mendapatkan pemandu wisata dadakan.
Kami turun di halte yang bernama Dom Bosco Sport Field yang terletak di
Avenida do Cel Mesquita. Lalu berjalan kaki sekitar 5 menit dan akhirnya sampai di sebuah jalan kecil bernama Ramal Dos Moros. Di kanan jalan ada sebuah pintu gerbang yang sudah terlihat agak kusam. Di bagian atasnya bahkan sebagan sudah tertutup dengan lumut. Namun tulisan “
Bismillahhirahmanirrahim” masih bisa terbaca dengan baik demikian juga dengan tuliasan dalam empat Bahasanya. Daun pintunya terbuat dari pagar besi dicat hijau dengan simbol bulan sabit dan bintang di atasnya yang berwarna kuning pudar.
Melewati pintu gerbang, kami harus menuruni beberapa anak tangga menuju ke halaman masjid yang cukup luas. Langit kota Macau mulai agak redup walau waktu masih menunjukan sekitar pukul 5.20 an. Waktu magrib juga belum tiba. Dan di kejauhan terlihat bangunan utama masjid yang bercat putih dengan beberapa jendela besarnya yang berbentuk lengkungan . beberapa pohon besar yang rindang nampak menaungi masjid ini.
Berjalan perlahan dan berbelok ke kiri, terlihat sebuah bangunan kecil berwarna hijau. Ini adalah kantor ‘
Associacao Islamica de Macau atau Islamic Association of Macau. Terlihat sederhana dengan beberapa bangunan kecil di dekatnya. Di beranada, terletak beberapa buah meja dan kursi panjang dari kayu .
Di salah satu meja, kami berkenalan dengan beberapa perempuan lainnya. Semuanya dari Indonesia. Salah seorang di antaranya mengenakan cadar sehingga hanya matanya saja yang kelihatan.. Perempuan ini ternyata termasuk salah seorang pengurus masjid. “Ini hanya karena kebetuan tempat tinggal saya dekat dari masjid ini”, tambah perepuan itu lagi.
Sambil menunggu waktu magrib, saya melangkahkan kaki ke halaman belakang masjid yang cukup luas. Deretan makam dengan berbagai bentuk nisan ada di hadapan . Sekilas terlihat kurang terawat. Namun kalau diperhatikan makam-makam ini sering juga diziarahi oleh keluarga. Ada beberapa yang makam yang dihiasi bunga-bunga yang diletakkan di jambangan.
“In Loving Memory of Rukan Din Born in 1903 India Died 2-7-1970 in Macau. “
Gone but not forgotten” Demikian tertulis di salah satu batu nisan. Sebuah simbol bulan sabit dan bintang berwarna hijau ada di kepala pusara. Saya baca lagi beberapa nama, sebagian besar nama-nama Pakistan ataupun India, lengkap dengan tempat dan tanggal lahir dan juga tanggal kematian.
““Nurullaha Quburahu”, demikian tertulis dengan huruf Hiiaiyah pada nisan lain yang juga berhiaskan bulan sabit dan bintang warna merah. Tulisan lainnya berwarna hijau dalam aksara Cina. Sebagimana kuburan muslim di Hongkong dengan membaca tulisan yang berarti Cahaya Allah menerangi kuburnya ini kita dapat mengetahui apakah yang dimakamkan lelaki atau perempuan. Cukup membedakan akhiran ha untuk perempuan dan hu untuk lelaki.
“Assalamualaikum”, saya kemudian mengucapkan salam kepada lima atau enam orang perempuan yang sedang duduk di atas tikar di bawa sebuah pohon besar. Tepat di tengah-tengah area pemakaman. Perempuan-perempuan ini juga juga terlihat membawa bekal makanan dan minuman yang masih tergelar di tikar. Rupanya mereka sedaang bersantai sambil bercengkerama sesama teman di hari libur. Asyiknya tempatnya bukan di mal atau taman, melainkan di kuburan.
Lihat Travel Story Selengkapnya