“Tetirah Rumah Tuan Besar”, ini adalah tema jalan-jalan komunitas Sahabat Museum dengan Plesiran Tempo Doeloe nya yang selalu menarik untuk dijelajahi. Minggu pagi yang lumayan cerah itu, kami berkumpul di halaman belakang Museum Sejarah Jakarta sekitar pukul 7.30 pagi..
Tujuannya adalah rumah-rumah persitirahatan atau vila yang pada jaman baheula dimiliki oleh tuan besar alias orang kaya pada masa VOC atau kumpeni itu.
Perhentian pertama adalah rumah
Van der Parra yang terletak di kawasan dekat Jalan Jayakarta yang dulunya bernama Jacatraweg. Van der Parra adalah Gubernur Jendral VOC yang ke 29 dan berkuasa dari 1761 sampai 1775.
Disini dibentangkan sketsa rumah persitirahatan yang sangat megah bak istana. Menurut Pak Liliek, di rumah ini dulu sering diadakan pesta-pesta dan di sketsa juga terlihat sosok Van der Parra yang sekilas tampak cukup tambun. Sayangnya rumah ini sekarang sudah tidak ada sisanya lagi karena kawasan ini sudah berubah menjadi hunian padat.
Dari Kawasan Jalan Jakarta, bus kami menuju ke Jalan Hayam Wuruk yang dulunya bernama
Molenvliet Oost. Berhenti sejenak tepat di seberang Gedung Arsip yang terletak di jalan Gajahmada. Jalan Gajahmada sendiri dulunya bernama
Molenvliet West dan di antara kedua jalan ini terdapat kanal lurus yang merupakan sebagian dari jaringan kanal yang membuat kota Batavia seperti kota-kota di negri Belanda.
Gedung Arsip ini dulunya adalah rumah Reiner de Klerk Gubernur Jendral VOC yang ke 31 dan berkuasa pada 1777 sampai 1780. Rumah yang sekarang masih berdiri megah ini dibangun pada 1760 pada saat de Klerk masih menjadi anggota Raad Van Indie. Dari kejauhan, rombongan mengagumi keindahan dan kemegahan rumah peristiahatan yang sekarang menjadi gedung arsip ini.
Kawasan Gunug Sahari adalah perhentian berikutnya. Bus berhenti di sudut jalan Lautze dan rombongan berjalan kaki menyusuri jalan yang agak sempit ini sekitar 5 menit untuk sampai ke sebuah Vihara yang beralamat di Jalan Lautze no 38.
“Vihara Buddahyana”, demikian tertera pada pintu gerbang yang terbuat dari kayu dan berwarna kombinasi merah kuning emas. Warna ini memang khas Vihara ataupun kelenteng Cina. Namun begitu masuk ke dalam halamanya terlihatlah gedung megah dan pendopo dengan pilar-pilar yang besar. Tampak megah dengan warna merah yang menyala. Sekilas arstekturnya merupakan gabungan antara tradisional Jawa dan kolonial.
Di depan selasar menuju bangunan utama juga terdapat nama Vihara ini lengkap dengan nama lamanya yaitu
Wan Kiap Sie. Mirip lorong rumah sakit dilengkapi pilar-pilar langsing warna merah kuning emas yang anggun.
Kami disambut seorang pria berumur 40 tahunan yang dengan ramah bercerita sekilas tentang sejarah Vihara ini. Namun pak Lilik lah yang lebih banyak bercerita bahwa bangunan ini dulunya adalah rumah peristirahatan milik Frederik Julius Coyet. Coyett merupakan cucu dari Gubernur Taiwan (1656-1662) yang juga bernama Frederik Coyett dan merupakan orang yang berasal dari Swedia. Coyett sang cucu sendiri merupakan orang Eropa yang lahir di Asia.
Rumah ini dulunya bernama Rumah Gunung Sari dan konon dibangun pada sekitar tahun 1720 an. Saya mendekati bangunan utama. Lilin-lin raksasa berwarna merah dengan hiasan naga berwarna hijau dengan api yang menyala membuat suasana sedikit sakral.
Di lilin ini juga tertulisa nama jemaah Vihara yang memberikan sumbangan. Lengkap dengan alamat dan juga tulisan dalam aksara mandarin.
Disisi lain, ada sebuah lorong yang kali ini bertuliskan tiga buah aksara Cina dengan terjemahan Latin Wang Kiap Sie. Wah ada sedikit perbedaan dengan yang di halaman depan dimana tertulis Wan Kiap Sie.
Memasuki bangunan vihara, terdpaat beberapa patung Buddha yang di letakkan dalam kaca dan berbalut wana kuning keemasan. Bau asap dupa memenuhi ruang Vihara, sementara di salah satu sudut juga terdapat patung-patung yang konon berasal dari Candi Prambanan.
Yang menarik adalah cerita bahwa bangunan ini sebenarnya memiliki loteng atau lantai atas, ada tangga kayu berukir yang konon masih asli. Tampak diplitur dengan warna coklat tua dengan sedikit kombinasi kuning emas. Namun akses ke lantai atas ternyata ditutup dan hanya digunakan pada waktu tertentu saja.
Kami kembali ke halaman. Sebuah foto tua rumah Coyett ini dipamerkan dan kemudian dibandingkan dengan bangunan yang sekarang. Tampak bahwa bentuknya masih sama kecuali warna dan pilar-pilar merah yang sekarang menandai bahwa rumah tuan besar ini sekarang sudah menjadi Klenteng.
Pak Lilik kembali melanjutkan ceritanya. Coyet menikahi
Geertruida Margareth Groossens pada 1736 di rumah ini. Namun sayang pada saat malam pertama, Coyett meninggal dan Groosens langsung menjadi janda dan mewarisi rumah besar ini.
Rumah ini kemudian beberapa kali (sekitar 4 kali) berpindah tangan sampai akhirnya dibeli oleh Kapten Cina Lim Tjip Ko pada 1761. Sejak saat itu, banungan berubah fungsi menjadi kelenteng. Kelenteng ini kemudian terkenal dengan nama Kelenteng Sentiong atau juga kelenteng Kuburan Batu. Ketika masa orde baru, nama kelenteng berubah menjadi Vihara Buddhayana.
Pelesiran kembali ke tempo doeloe kali ini telah mengungkap kisah sebuah rumah yang menjadi saksi malam pertama maut dan kemudian menjelma menjadi vihara. Dalam perjalanan waktu, kita memang tidak tahu apa yang akan terjadi pada suatu bangunan?
Jakarta, September 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya